Rabu, 08 April 2020

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19


DENGARKANLAH JERITANNYA:
Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19

PANDEMIK COVID-19
Sejak World Health Organitation (WHO) menyatakan status darurat global terhadap wabah Covid-19 pada tanggal 30 Januari 2020, perhatian dunia tertuju kepada fenomena tersebut. Wabah Covid-19 muncul dan menewaskan korbannya pertama kali di Wuhan, China. Paranoid yang ditimbulkan oleh wabah ini salah satunya karena penyebaran Covid-19 begitu mudah. Akibat dari mudahnya penyebaran Covid-19 berujung pada pesatnya jumlah korban. Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menyatakan pandemik global terhadap wabah Covid-19 yang akhirnya menambah kepanikan warga dunia. Bahkan, sampai saat ini jumlah negara yang terjangkit Covid-19 sebanyak 212 negara.
Menurut Prof. Dr. Soewarno, drh, M.Si, Covid-19 merupakan jenis penyakit yang bermutasi dari virus corona SARS-Cov-2. Virus SARS juga ditemukan di China dan mewabah pada tahun 2002 sampai 2003. Virus Corona bermutasi dan beradaptasi lagi menjadi virus MERS-Cov yang mewabah di daerah Timur Tengah pada tahun 2012.[1] Berdasarkan hasil riset ini, para pakar virologi menyatakan bahwa virus corona bukanlah virus yang stabil dan merupakan virus yang mematikan.
Selain dari dampak kematian yang ditimbulkan oleh Covid-19, terdapat dampak negatif lain. Salah satu yang paling mendapat atensi adalah dampak terhadap perekonomian sebuah negara yang juga berimbas pada perekonomian individu atau keluarga. Dampak negatif terhadap ekonomi memang mendapat atensi sangat serius. Apabila stabilitas ekonomi sebuah negara tidak dapat dipertahankan maka tentu akan berakibat pada krisis ekonomi yang berujung pada chaos sebuah negara. Namun, tidak dapat disangkal bahwa hampir seluruh aspek kehidupan manusia atau sebuah negara mendapat dampak dari kehadiran Covid-19.
Pandemik Covid-19 tidak hanya melulu mendapat atensi karena dampak negatif yang ditimbulkannya. Di samping dampak negatif yang sangat besar, pandemik Covid-19 pada sisi lain memberi dampak positif dalam aspek sosial, lingkungan alam dan sebagainya. Dalam aspek sosial, sebagai dampak dari adanya pandemik Covid-19, dunia menggalakkan solidaritas global seperti yang telah ditulis oleh Yuval Noah Harari. Negara-negara di dunia, bersatu saling bahu-membahu menemukan solusi untuk menghadapi wabah terbesar yang dialami oleh generasi yang hidup di tahun-tahun ini. Bantuan-bantuan berupa gagasan analisis dan cara memerangi Covid-19 terus digalakkan. Bahkan, bantuan-bantuan berupa tenaga medis dan Alat Pelindung Diri (APD) terus diupayakan. Inilah yang disebut sebagai bentuk solidaritas global yang sebelumnya belum terjadi secara massif di antara negara-negara.
Beberapa cara untuk menekan dan melawan Covid-19 adalah dengan penerapan lockdown dan social distancing. Upaya ini dilakukan agar masyarakat mengisolasi diri di kediaman masing-masing. Dengan berdiam diri di kediaman masing-masing maka rantai penyebaran Covid-19 dapat diputuskan. Kebijakan ini mau tidak mau mengubah budaya kerja dan aktivitas masyarakat. Semua aktivitas baik itu pekerjaan, pendidikan, ibadah dan lain-lain, dilakukan di kediaman masing-masing.
Upaya pemerintah yang dilakukan di masing-masing negara menjadi angin segar dalam kepanikan pandemik Covid-19. Dengan diterapkannya lockdown dan social distancing, jumlah kadar nitrogen dioksida di langit bumi lambat laun menurun karena pembatasan aktivitas udara dan kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil.[2] Selain itu, NASA menyebutkan bahwa lapisan ozon yang merupakan pelindung bumi dari radiasi sinar ultraviolet matahari, semakin tertutup.[3] Bumi seakan beristirahat dari hiruk pikuk aktivitas manusia yang telah merusak keseimbangannya. Tentu fakta ini memberi dampak yang positif bagi bumi dan penghuninya.
Aktivitas manusia di bumi sudah sangat eksploitatif. Realitas ini menimbulkan pertanyaan penting bagi manusia: Seperti apa pandangan manusia terhadap bumi dan ciptaan lain yang hadir di dalamnya? Apakah manusia memandang bumi dan ciptaan lain hanya sebagai objek yang dengan bebas dapat dieksploitasi? Bagaimana manusia harus memandang bumi dan ciptaan lainnya? Bagaiamana manusia harus menempatkan dirinya di antara ciptaan yang lain? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyan diatas, saya akan berangkat dari kearifan lokal Toraja yang menjadi ajaran Aluk Todolo.
SANGSEREKAN: Konsep Ekologi Aluk Todolo
Aluk Todolo merupakan kepercayaan animisme yang dianut oleh masyarakat suku Toraja sebelum agama-agama besar (Kristen dan Islam) masuk ke Toraja. Dalam kepercayaan Aluk Todolo, Puang Matua diyakini sebagai pencipta langit dan bumi. Di dalam sastra religius utama Aluk Todolo, yakni Passomba Tedong, dikisahkan bahwa proses penciptaan dilangsungkan oleh Puang Matua di dunia atas (langit). Bahan yang digunakan untuk menciptakan tumbuhan, hewan, benda mati (besi) dan manusia adalah emas murni yang diambil dari sebelah barat. Emas murni itu dimasukkan ke dalam sauan sibarrung (puputan kembar) sehingga terciptalah tumbuh-tumbuhan, hewan, benda mati (besi) dan manusia.[4] Berdasarkan kisah penciptaan ini, ada makna secara intrinsik dan filosofis yang menegaskan relasi antara manusia dengan ciptaan lain. Relasi makhluk-makhluk ciptaan tersebut disebut sangserekan.
Kata sangserekan berasal dari akar kata serek berarti mencabikkan, merobekkan; diberi awalan sang- = se-(sama); dan diberi akhiran –an yang menjadikan kata kerja menjadi kata benda. Jadi, secara harafiah sangserekan artinya secabikan, serobekan. Maksudnya, para makhluk ciptaan merupakan bagian yang sama dari satu kesatuan utuh (segolongan). Oleh karena itu, merupakan sebuah pemali (larangan atau pantangan) apabila manusia membunuh hewan atau menebang pohon (termasuk memanen hasil tanaman) tanpa meminta izin kepadanya.[5] Berdasarkan makna filosofis dan aturan-aturan di atas, dapat dipahami makna relasi manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan lainnya. Paham antroposentrisme tidak dikenal dalam falsafah religius Aluk Todolo (orang Toraja). Manusia Toraja tidak memandang dirinya sebagai pusat dari seluruh ciptaan atau dengan kalimat lain, manusia bukanlah pusat dari alam semesta. Relasi manusia dengan ciptaan lain bukan sekadar relasi fungsional. Ciptaan lain bukanlah objek bagi manusia. Relasi manusia dengan ciptaan lain bukan relasi subjek dengan objek, tetapi relasi subjek dengan subjek. Relasi manusia dengan makhluk-makhluk merupakan relasi persaudaraan.
PARADIGMA MANUSIA TERHADAP ALAM
Pada zaman pencerahan di Eropa, paham manusia yang sebelumya teosentris/ ekklesiosentris bergeser menjadi antroposentris. Manusia merupakan pusat dari kehidupan. Manusialah yang menjadi tolok ukur segala sesuatu. Pada zaman pencerahan, rasionalitas sangat diagungkan. Segala sesuatu harus dapat dipahami secara rational. Di satu sisi, zaman pencerahan memang berdampak positif dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi, pada sisi yang lain, zaman pencerahan memiliki dampak negatif karena manusia memandang di luar dari dirinya tidak lebih dari sekadar objek. realitas di luar dari manusia seperti makhluk hidup lain, hadir untuk menunjang kehidupan manusia. Oleh karena ciptaan lain hanya dipandang sebagai objek, manusia dengan rasionalitas dan paham antroposentrisnya mengeksploitasi mereka habis-habisan demi pemuasan hasrat dan nafsu manusia. Paradigma ini langgeng bahkan sampai pada zaman postmodern. Namun, dengan tidak menutup mata, memang perlu diakui telah ada suara-suara yang menentang ketamakan dan sikap eksploitatif manusia terhadap alam.
Dampak dari perlakuan eksploitatif dan ketamakan manusia terhadap alam – sadar atau tidak – dirasakan oleh manusia juga seluruh makhluk hidup di bumi. Sikap eksploitatif manusia berakibat pada global warming yang berdampak sangat buruk bagi keseimbangan bumi. Siklus iklim bumi menjadi tidak menentu sehingga menyebabkan terjadinya banjir dan tanah longsor, terjadi penipisan bahkan kebocoran pada lapisan ozon yang menyebabkan suhu bumi meningkat, polusi udara tak terkendali, dan masih banyak dampak-dampak buruk yang disebabkan oleh sikap eksploitatif manusia. Bukankah dampak ini dirasakan juga oleh manusia? Menurut para ahli, Covid-19 merupakan virus yang bermutasi karena banyak faktor, salah satunya global warming.[6] Berdasarkan fakta ini, maka tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa manusia adalah salah satu faktor kehadiran Covid-19. Ketamakan manusia-lah yang membuat keseimbangan alam atau bumi ini rusak, yang menyebabkan kesengsaraan bagi dirinya sendiri.
KESIMPULAN
Oleh karena itu, sudah saatnya manusia (kita) mendengar ‘jeritan’ bumi atau alam. Manusia mesti mengubah pradigma terhadap alam (ciptaan lain). Kearifan lokal Nusantara, seperti Aluk Todolo, tidak kurang memberi manusia Indonesia (bahkan dunia) pemahaman tentang pandangan ideal dalam membangun relasi dengan alam. Paham antroposentris mesti diubah menjadi paham ekosentris. Pendangan manusia yang menganggap kehadiran alam hanya sekadar fungsional mesti beranjak ke relasional. Keangkuhan manusia sebagai subjek dan ciptaan lain menjadi objek mesti diubah. Manusia mesti berbenah dari pandemik Covid-19 untuk memandang alam setara dengan dirinya sebagai subjek. Bahkan relasi manusia mesti diarahkan untuk memandang alam sebagai saudara yang harus saling memerhatikan dan menghargai. Manusia dan alam setara karena keduanya merupakan hasil cipta. Dengan ini, selain solidaritas global, solidaritas ekosistem juga perlu digalakkan dalam menghadapi pandemik Covid-19.
Terlalu naif pula apabila manusia lantas tidak boleh lagi mengelola alam. Tetapi, diksi yang penting untuk ditekankan sebagai tolok ukur pengelolaan alam adalah proporsional. Inilah yang disebut Mahatma Gandi bahwa: “bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk ketamakannya”. Bukankah salah satu cara menyembuhkan orang positif Covid-19 dengan menjaga imunitas tubuh tetap kuat? Salah satu cara menjaga imunitas tubuh tetap kuat adalah apabila bumi dan hasilnya juga sehat. Jadi, manusia menjadi sehat apabila bumi atau alam sehat. Relasi yang harmonis antara manusia dan alam akan menjaga keseimbangan kehidupan tetap baik.


[2] https://jatman.or.id/dampak-positif-pandemi-corona-bagi-planet-bumi/. Diakses pada tanggal 9 April 2020, pukul 01.56 WITA.
[4] Van der Veen, The Merok Feast of Sa’dan Toradja, (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde, The Hague: Martinud Nijhoff, 1965), 88-90.
[5] John Liku Ada’, Aluk Todolo Menantikan Kristus: Ia Datang agar Manusia Mempunyai Hidup dalam Segala Kelimpahan, (Yogyakarta: Penerbit Gunung Sopai dan Batu Silambi’ Publising, 2014), 83-84.
[6] https://kompas.id/baca/opini/2020/03/20/jangan-korbankan-kelelawar/. Diakses pada tanggal 9 April 2020, pukul 06.03 WITA.

Kamis, 31 Januari 2019

DOA YESUS DAN TONGKONAN SEBAGAI ALAT PEMERSATU (Oleh Sepson Sambara)


DOA YESUS DAN TONGKONAN SEBAGAI ALAT PEMERSATU

Ketika gereja berhasil menjalankan ajaran Yesus dengan baik, tetap saling mengasihi dan gereja mampu menganggap gereja yang lain sebagai kawan yang harus saling memerdulikan, maka di situlah terwujud gereja yang oikumenis dan berarti doa Yesus terjawab.”

Sepson Sambara[1]

Abstraksi: Oikumene merupakan harapan utama bagi gereja-gereja dalam relasi inter-denominasi. Demi mencapai harapan itu, ada pelbagai usaha yang telah dilakukan oleh gereja. Namun, perlu diakui bahwa usaha-usaha yang dilakukan itu belum mencapai hasil yang maksimal. Tulisan ini bermaksud untuk memberi sumbangan pemikiran demi mencapai harapan gereja untuk menjadi gereja yang oikumenis. Penulis berusaha mengkaji makna dari apa yang disebut dalam tulisan ini sebagai alat pemersatu, yaitu: doa Yesus dalam Injil Yohanes 17:21 dan Tongkonan sebagai simbol pemersatu dan keharmonisan orang/suku Toraja. Dalam usaha mencapai harapan dan tujuan gereja, penulis mendeskripsikan secara singkat sejarah gereja mulai dari terbentuknya sampai tiba pada sebuah realitas kemajemukan aliran dan denominasi dalam tubuh gereja. Selanjutnya, penulis memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemajemukan dalam tubuh gereja. Usaha melihat konteks dan kemudian melakukan kajian terhadap teks, menjadi metode penulis dalam penyajian tulisan ini. Pada akhirnya, penulis memberikan beberapa sumbangsi pemikiran bagi gereja dan usaha mencapai harapan untuk menjadi gereja yang oikumenis.

Kata-kata kunci: gereja, oikumene, doa Yesus, tongkonan.


1. PENDAHULUAN
Gereja berasal dari bahasa Portugis, yaitu: “Igreja” dan juga berasal dari bahasa Yunani, yaitu: “Ekklesia” yang berarti jemaat “yang dipanggil keluar” dari dunia untuk menjadi milik Tuhan.[2] Gereja merupakan sebuah lembaga yang fungsi dan nilainya memiliki perbedaan dengan lembaga atau institusi-institusi yang lain. Diyakini seperti itu karena lembaga gereja merupakan lembaga yang diutus oleh Allah untuk menjalankan missio Dei[3] di tengah-tengah dunia ini. Gereja dalam pelbagai eksistensinya masih ada sampai saat ini sebagai sebuah lembaga keagamaan sekaligus sebagai mitra Allah merupakan sebuah hal yang patut kita syukuri dengan melihat kenyataan-kenyataan yakni pergumulan ataupun permasalahan yang dihadapi mulai pra-eksistensinya sampai sekarang.
Perjalanan kehidupan gereja mulai dari awal terbentuknya sampai saat ini, tidaklah berjalan dengan mudah. Perjalanan yang panjang itu menyajikan ribuan pengalaman mulai dari pengalaman yang paling menyakitkan sampai pengalaman yang sangat membahagiakan. Salah satu pengalaman gereja yang juga dapat dikategorikan sebagai permasalahan klasik gereja, yang masih tetap eksis sampai sekarang adalah perpecahan yang berakibat pada kemajemukan aliran bahkan denominasi di dalam tubuh gereja.
Pada awal terbentuknya, hanya ada satu gereja yang disebut Gereja Kristen. Kemudian terpisah menjadi Gereja Barat dan Gereja Timur (ortodoks Timur). Gereja Barat biasa disebut Gereja Katolik Roma yang karena sesuatu hal pada abad reformasi terpecah menjadi dua, yaitu: Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan. Dari Gereja Protestan inilah dalam perkembangannya, gereja terpecah-pecah sehingga terdapat begitu banyak denominasi serta aliran dalam tubuh gereja.
Masalah ini membuat penulis prihatin terhadap pengalaman serta realita yang terjadi dalam tubuh gereja. Penulis melihat bahwa masalah ini tidak pernah berhenti terjadi. Bahkan, masalah atau pergumulan yang dihadapi oleh gereja ini belum mendapat titik terang yang secara pasti dapat dikatakan sebagai jawaban atas pergumulan tersebut. Inilah yang menjadi alasan penulis tertarik untuk memberikan sumbangsi pemikiran terhadap permasalahan gereja yang juga merupakan bagian dari permasalahan yang harus dipikirkan bersama sebagai warga gereja bahkan gereja itu sendiri.
Indonesia adalah sebuah negara yang sangat plural. Bukan hanya kepercayaannya tetapi juga plural dalam etnis. Indonesia merupakan negara dengan penduduk pemeluk agama Islam terbanyak di dunia yaitu 85,6% dari jumlah penduduk Indonesia.[4] Meskipun begitu menarik bahwa Indonesia bukan negara Islam. Dari keberagaman Indonesia, penulis tertarik dengan salah satu keragaman budaya lokal yang ada di daerah Toraja, Sulawesi Selatan. Dalam masyarakat Toraja, terdapat suatu rumah adat yang disebut Tongkonan. Tongkonan selain merupakan rumah adat, juga merupakan simbol dari persatuan dan keharmonisan ataupun persekutuan dalam masyarakat Toraja.[5]
Yohanes 17:21 juga menjadi salah satu inspirasi bagi penulis dalam memikirkan permasalahan yang dihadapi oleh gereja. Ayat ini berisi tentang Doa Tuhan Yesus bagi murid-murid-Nya: “supaya mereka semua menjadi satu”. Ayat ini juga menjadi titik berangkat ataupun landasan Alkitabiah bagi gereja untuk mewujudkan keoikumenisan yang masih dalam tahapan proses sampai saat ini.
Ada banyak simbol-simbol khususnya di Indonesia yang dapat menjadi acuan untuk melakukan pendekatan dalam mewujudkan ataupun sekadar melihat dan memahami gereja yang oikumenis. Namun, dalam tulisan ini akan lebih difokuskan pada pembahasan tentang gereja yang oikumenis dengan merujuk pada makna doa Yesus dalam Yohanes 17:21 dan makna Tongkonan sebagai simbol pemersatu dan keharmonisan bagi orang Toraja.
Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah demi mencapai tujuan dari penulisan karya ilmiah ini, yaitu sebagai berikut: Apa makna doa Yesus dalam Yohanes 17:21 dan makna Tongkonan sebagai simbol pemersatu dalam kaitannya dengan gereja yang oikumenis? Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk memahami makna doa Yesus dalam Yohanes 17:21 dan makna Tongkonan sebagai simbol pemersatu dalam kaitannya dengan gereja yang oikumenis.

2. GEREJA SEBAGAI REALITAS SOSIAL
Pada bagian pendahuluan telah dibahas sekilas tentang pengertian gereja secara harafiah. Gereja dalam arti yang sejajar dengan pengertian di atas adalah jemaat atau orang-orang yang dipangil keluar dari kegelapan menuju terang yang ajaib.[6] Gereja sendiri dipahami secara beragam, yaitu: pribadi manusia sebagai individu[7], kumpulan orang percaya atau jemaat[8] dan juga sebagai sebuah lembaga. Namun, dalam tulisan ini, penulis akan lebih fokus untuk membahas gereja dalam artian kumpulan orang percaya atau jemaat.
Sekali lagi bahwa gereja merupakan kumpulan orang-orang yang percaya kepada Allah yang telah memanggil umat-Nya. Namun, pengertian ini sangat bertolak belakang dengan realita gereja yang sudah dideskripsikan di atas. Gereja justru terpecah dan saling menjatuhkan satu dengan yang lain. Masing-masing mengklaim bahwa ajaran yang mereka terapkan dan cara mereka beribadahlah yang paling benar sedangkan yang lain keliru. Pertanyaannya, mengapa gereja yang tadinya merupakan kumpulan orang percaya harus terpecah dan menganggap diri lebih dari yang lain? Kemungkinan alasannya karena pemahaman ajaran yang berbeda dan kemungkinan ada kepentingan pribadi yang disuarakan serta dipaksakan untuk diwujudkan. Dalam usaha pengamatan yang lebih komprehensif tentang faktor-faktor penyebab perpecahan gereja, maka di bawah akan diuraikan lebih jelas.

2.1. Fakta dan Faktor Perpecahan Gereja
Sebelum membahas tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab perpecahan gereja, terlebih dahulu ada baiknya untuk menjelaskan sedikit tentang sejarah gereja.[9] Hari kelahiran gereja adalah hari keturunan Roh Kudus pada saat pesta Pentakosta. Murid-murid dipenuhi dengan Roh Kristus, sehingga mereka berani bersaksi tentang kelepasan yang dikaruniakan Tuhan kepada dunia. Di mana orang menyambut Injil dengan percaya kepada Yesus Kristus, di sana terbentuklah jemaat-jemaat kecil.[10] Di dalam sejarah mula-mula ini ada banyak hal yang dihadapi oleh gereja. Mulai penghambatan-penghambatan dari orang Yahudi dan pemerintah, pertikaian antara jemaat muda dan tua, sampai perbedaan pendapat oleh rasul Paulus dan Petrus. Sesudah masa rasul, pertumbuhan gereja sangat pesat terlebih ketika gereja diakui (Agama Kristen telah merdeka) pada tahun 313 oleh pemerintah kekaisaran Romawi.[11] Hal ini disebabkan karena usaha pekabaran Injil didukung oleh pemerintah Romawi. Pada abad pertengahan, khususnya tahun 910 sampai ± tahun 1300, gereja mengalami masa kejayaan.[12]
Memasuki abad reformasi, karena beberapa ajaran yang tidak memiliki landasan Alkitabiah yang jelas, menjadi landasan Martin Luther[13] dan menyusul John Calvin menyuarakan suara pembaruan yang berujung pada pemisahan Gereja Barat atau Gereja Katolik Roma sehingga lahirlah Gereja Protestan. Dari Gereja Protestan ini, pada tahun 1600-an lahir gerakan Pietisme. Dari sinilah lahir berbagai aliran dan denominasi Gereja.
Menurut penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam Gereja, yaitu:

2.1.1. Faktor Ajaran
Sebelum Gereja Protestan lahir, Martin Luther telah menentang ajaran dan sistem tata kelola Gereja Katolik Roma. Ajaran yang paling ditentangnya adalah surat Indulgensi.[14] Menurutnya, surat itu tidak memiliki landasan Alkitabiah yang jelas untuk dijadikan sebuah sistem ajaran. Ajaran itu justru menyengsarakan warga gereja khususnya mereka yang perekonomiannya dibawah rata-rata. Protes dari Martin Luther ini disuarakan melalui 95 tesis yang disebarkan dan ditempelkan pada pintu Gereja di Wittenberg.
Menyusul setelah itu John Calvin kemudian menyuarakan reformasi di Jenewa. Sama halnya dengan Luther, Calvin juga menentang beberapa ajaran dari Gereja Katolik Roma. Salah satu ajaran yang direformasi adalah, dari tujuh sakramen yang diakui oleh Gereja Katolik Roma, Calvin menghapus lima sakramen dan menetapkan hanya ada dua sakramen, yaitu: Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus.[15] Masih ada beberapa ajaran lagi yang direformasi oleh para tokoh reformasi yang selalu dikaji menurut kebenaran Alkitab. Oleh karena itu, slogan zaman reformasi yang terus digaungkan dalam usaha untuk mereformasi ajaran gereja adalah back to Bible atau dalam bahasa latin disebut sola scriptura[16]. Ini berarti bahwa semua ajaran gereja harus memiliki landasan Alkitab yang jelas. Berbeda dengan Luther, Calvin membentuk Gereja baru atau aliran baru, yaitu Protestan[17] berdasarkan ajaran yang telah direformasi.
Pada tahun 1950, muncullah gerakan rohani yang lain di samping dari Reformasi Luther dan Calvin. Gerakan ketiga ini mendapat banyak pengikut. Gerakan ini diberi nama gerakan orang Baptis atau Anabaptis (yang membaptiskan kembali).[18] Aliran ini mengatakan bahwa baptisan yang sah itu ketika diselam dan dilayankan bagi orang dewasa. Jika ada anak kecil yang telah dibaptis, maka akan dibaptis kembali saat ia dewasa. Mereka menolak baptisan yang dilayankan bagi anak-anak dengan alasan belum mengerti makna baptisan (seperti Yesus yang dibaptis saat Ia sudah dewasa).
Pada akhir abad ke-17, Gereja-gereja Reformed di Eropa oleh banyak orang dilihat sudah semakin kaku, dingin, tidak bergairah dan kurang menghargai manusia sebagai pribadi. Padahal masyarakat merindukan ungkapan-ungkapan yang lebih mesra, hangat, spontan dan personal. Inilah yang mendorong lahirnya gerakan Pietisme yang kemudian melahirkan tiga rumpun gereja: Gereja-gereja Moravia, Swedia Injili dan Metodis.[19] Perpecahan inipun dikarenakan ajaran gereja. Kemudian, gereja terpecah lagi dan lahirlah gerakan atau Gereja Pentakosta maupun Kharismatik yang menekankan tentang kehadiran Roh Kudus dalam peribadahan, glosolalia dan penyembuhan-penyembuhan Illahi. Setelah itu, gereja terpecah-pecah dan lahirlah aliran-aliran yang baru seperti Injili, Bala Keselamatan, Adventis, Saksi Jehova, Mormon dan lain sebagainya. Aliran-aliran ini lahir karena perbedaan pemahaman tentang ajaran gereja yang ditafsirkan dari Alkitab. Beberapa aliran ini seperti Saksi Jehovah dan Mormon dianggap sekte “sesat” oleh warga jemaat Gereja Mainstrim karena ajaran yang mereka praktikkan dan percayai. Contohnya aliran Saksi Jehovah yang tidak menyakini bahwa Yesus adalah Tuhan, melainkan Saksi dan Pelayan utama Jehovah.[20]

2.1.2. Faktor Suku
Dalam kaitannya dengan latar belakang sejarah gereja masing-masing, maka secara sepintas gereja-gereja yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni: Pertama, gereja-gereja yang tidak berdasar pada relasi kesukuan, misalnya: Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Selain itu,  Gereja-gereja Pentakosta dan Gereja-gereja Baptis juga masuk dalam kategori ini. Kedua, gereja-gereja yang berakar, bertumbuh dan berkembang berlandaskan relasi kesukuan, seperti: Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Gereja Toraja (GT), di samping sejumlah besar Gereja suku lainnya. Perlu dicatat bahwa antara kelompok pertama dan kedua terdapat perbedaan kadar pengaruh budaya suku.[21] Jika dibandingkan tentu gereja-gereja yang tidak berdasar pada ikatan kesukan lebih majemuk dalam etnis atau budayanya.
Realitas di atas dapat menjadi landasan berpikir bahwa kedekatan emosional sebagai orang-orang yang memiliki latar belakang etnis atau suku yang sama juga menjadi salah satu faktor perpecahan ataupun pembentukan gereja baru dalam hal ini gereja yang bercorak suku. Sudah menjadi fakta lazim bahwa setiap manusia yang  ada dalam komunitas suku, memiliki ikatan emosional yang sangat kuat. Bahkan banyak ditemui konflik-konflik yang terjadi akibat dari intimidasi terhadap anggota suku tertentu yang akhirnya membangkitkan semangat militansi dari rekan sesuku yang lain (salah satu contohnya adalah perang sampit, yang melibatkan perang antara suku Madura melawan suku Dayak, pada tahun 2001 di daerah Sampit).
Kebebasan dalam mengekspresikan ekspresi budaya lokal menjadi salah satu pendorong utama, di samping konteks masyarakat suku yang masih hidup dalam wilayah yang sama saat para misionaris melakukan pekabaran Injil. Selain itu, diyakini akan lebih mudah memahami dan membangun gereja jika memiliki paradigma berpikir yang sama khususnya dalam menghadapi hal-hal yang berbau adat ataupun tradisi-tradisi yang mesti dipikirkan dan disikapi oleh Gereja.

2.1.3. Faktor Ego atau Kepentingan Pribadi
Pada masa kini, selain dari kedua faktor di atas, faktor egoisme dan kepentingan dari orang-orang tertentu juga turut memicu perpecahan dalam gereja. Jika seseorang menganggap dirinya  punya power dalam gereja tetapi kehendaknya tidak dituruti, maka ia akan mencari cara menghasut anggota jemaat untuk membentuk gereja yang lain. Salah satu contohnya adalah ketegangan-ketegangan di antara para presbiter di gereja. Jika ada yang merasa kecewa maka langkah yang biasa dilakukan adalah berpindah gereja ataupun membentuk gereja baru.[22]
Selain itu, pemimpin-pemimpin jemaat dalam hal ini pendeta yang merasa diri cukup berkualitas dan memiliki kemampuan yang mumpuni untuk memimpin sebuah gereja dalam cakupan Sinodal, tetapi karena kurang dukungan akhirnya membentuk denominasi gereja yang lain. Usaha yang dilakukan memang berusaha menyembunyikan kepentingan pribadi itu dengan langkah-langkah politis. Manipulasi tanda dikedepankan untuk pemuasan hasrat dan sikap hedonis.
Perpecahan-perpecahan di atas membuat penulis “gelisah” sehingga kembali bercermin atau berefleksi dengan merujuk pada doa Yesus yang sering digunakan sebagai acuan atau landasan teologis untuk mendeskripsikan gereja yang oikumenis. Doa Yesus ini dikenal dengan sebutan ut omnes unum sint, khususnya di kalangan GMKI.[23] Bersamaan dengan itu, sebagai seorang yang bangga terhadap kekayaan budaya lokal yang dimiliki oleh Indonesia, penulis terinspirasi untuk menjadikan Tongkonan sebagai salah satu acuan dalam usaha untuk membangun gereja yang oikumenis. Penulis memilih Tongkonan karena simbol inilah yang paling dekat dengan kehidupan penulis.

2.2. Ut Omnes Unum Sint
Yesus pernah berdoa untuk murid-muridnya yang dituliskan di dalam Alkitab khususnya Injil Yohanes 17:21:

Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”.

            Ayat ini menjadi salah satu ayat yang dijadikan landasan Alkitabiah menyangkut keoikumenisan. Kata kuncinya ialah “supaya mereka menjadi satu.” Namun, muncul sebuah pertanyaan bahwa apakah doa Tuhan Yesus ini diperuntukkan hanya kepada murid-murid-Nya pada waktu itu? Jawaban dari pertanyaan ini terdapat pada ayat sebelumnya, yaitu ayat 20:
“Dan bukan hanya untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka.”
Pertanyaan selanjutnya adalah kesatuan seperti apa yang Yesus maksudkan dalam doa-Nya? Kata satu dalam teks aslinya menggunakan kata “εν” dari kata dasar “ɛɩζ” yang berarti satu, yang satu, hanya satu, sendiri, seseorang, tertentu. Kata “εν” yang digunakan menunjuk kepada sifat dan bukan kuantum matematika. Jadi, kata satu di sini berarti kesatuan (esa) yang tidak terpisahkan satu sama lain. Meskipun satu tetapi tetap menjunjung perbedaan yang ada.[24] Sama halnya dengan pernyataan bahwa “bukan lagi dua melainkan satu”. Lalu kesatuan seperti apakah yang dimaksud oleh Yesus? Kesatuan yang dimaksud bukan kesatuan administrasi atau organisasi dan bukan sekali-kali kesatuan gerejawi.[25] Kesatuan yang dimaksudkan adalah kesatuan hati dan kesatuan kasih.[26] Ikatan kesatuan ialah kasih dan inilah yang didoakan oleh Yesus. Yesus menggambarkan kesatuan itu seperti hubungan-Nya dengan Allah. Orang-orang Kristen adalah satu, satu dengan yang lain jika mereka diikat oleh kasih dan menuruti perintah Kristus. Kesatuannya dengan Allah merupakan suatu kesatuan kasih yang sempurna yang mengakibatkan penurutan yang sempurna.[27] Jika Yesus mengatakan: “Aku dan Bapa adalah satu”, Dia tidak masuk ke dalam dunia Filsafat atau metafisika, melainkan Dia memasuki dunia hubungan secara pribadi. Mungkin agak sulit untuk memahami secara benar arti ungkapan seperti “kesatuan hakikat”, tetapi siapapun dapat mengerti apa artinya “kesatuan hati”.[28] Jadi, orang Kristen harus menjadi satu di dalam hidup Kristus, satu di dalam terang Kristus dan satu di dalam kasih Kristus.[29]

3. TONGKONAN SEBAGAI SIMBOL PEMERSATU DAN KEHARMONISAN
Selain memiliki keindahan alam yang asri dan indah, Toraja juga terkenal dengan kekayaan budaya dan tradisi masyarakatnya. Tradisi dan budaya yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Toraja merupakan kekayaan tersendiri yang menjadi daya tarik para turis baik lokal maupun mancanegara untuk datang berkunjung ke Toraja. Budaya dan tradisi yang terdapat dalam masyarakat Toraja, telah mengakar selama bertahun-tahun dari para leluhur dan nenek moyang orang Toraja yang kemudian diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Budaya dan tradisi serta adat istiadat masyarakat Toraja diyakini telah hadir sebelum agama (kekristenan) hadir di Toraja. Namun, meskipun kekristenan kemudian hadir dan menjadi keyakinan yang dianut juga oleh orang Toraja, akan tetapi kehidupan masyarakat Toraja tidak akan pernah terlepas dari budaya, tradisi dan adat istiadatnya sebagai orang Toraja. Secara personal, menjadi orang Toraja diibaratkan hidup seperti ”dua sisi mata uang” yang tidak terpisahkan antara menjadi orang Toraja dan menjadi orang Kristen Toraja. Toraja memiliki rumah adat yang disebut Tongkonan.
Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Namun, pengertian sesungguhnya tidaklah sedangkal itu. Tongkonan berasal dari kata “tongkon” yang berarti duduk bersama. Jadi, dari sini dapat dilihat ada dua arti Tongkonan, yaitu: pertama adalah bangunan rumah marga atau rumah adat. Kedua, Tongkonan adalah persekutuan atau persatuan.[30] Dasar persekutuan Toraja adalah hubungan darah daging, yang disimbolkan dengan Tongkonan. Tongkonan pertama yang dikenal adalah banua puan di Marinding, yang didirikan oleh Tangdilino’.[31] Tangdilino’ memiliki delapan orang anak yang tersebar baik di Toraja maupun di luar Toraja. Mereka masing-masing membangun Tongkonan dan menjadi pangala tondok.[32]
Dasar Tongkonan adalah setiap pasangan suami-isteri harus membangun rumah sendiri, yang kemudian dipelihara oleh keturunannya. Rumah itu menjadi pusat persekutuan bagi setiap orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan pendirinya, khususnya keturunan dalam hubungan vertikal. Hal ini juga bisa diartikan bahwa jika pa’rapuan[33] telah berkeluarga maka harus membangun Tongkonan-nya sendiri. Itu berarti ada pembentukan Tongkonan yang baru. Meskipun terjadi pembentukan Tongkonan yang baru, menarik bahwa pa’rapuan yang membangun Tongkonan yang baru itu tidak lepas tangan terhadap Tongkonan layuk.[34] Mereka masih tetap mendukung Tongkonan layuk karena itu menjadi kewajiban dan tanggungjawab dari seluruh persekutuan Tongkonan, seluruh pa’rapuan. Jadi, jika dalam hal ini Tongkonan layuk hendak direnovasi maka semua anak Tongkonan akan diundang untuk berembuk membicarakan anggarannya dan biaya renovasi dibagi di antara anak Tongkonan. Hal yang paling menarik adalah setiap orang yang termasuk pa’rapuan berhak untuk ikut berpesta, dari yang paling kaya sampai yang paling miskin. Tidak seorangpun dapat dikucilkan dari Tongkonan, kecuali jika ia melanggar Aluk Sanda Pitunna.[35]
Fungsi pertama dan utama Tongkonan adalah membina persatuan pa’rapuan. Tongkonan menciptakan dan memelihara persekutuan. Ada beberapa cara yang dilakuakan untuk membina atau memperkuat persekutuan misalnya bahu-membahu dalam perkerjaan ataupun dalam upacara-upacara adat (Rambu Tuka’[36], Rambu Solo’[37], Rampanan Kapa’[38], Mangrara Banua[39]). Perlu diketahui bahwa dalam persiapan pelaksanaan upacara-upacara di atas, setiap anggota keluarga diharuskan memberikan bantuan. Jika tidak mampu dalam hal materi, maka ia harus menyumbangkan tenaganya ataupun juga pikirannya sebagai bentuk partisipasi dalam  memberi sumbangsinya. Jadi, tidak ada alasan bagi keluarga untuk tidak membantu. Kemudian ketika upacara-upacara adat berlangsung, tinggi-rendahnya kemampuan ekonomi hingga perbedaan agama yang kini dianut oleh masyarakat Toraja, tidak menjadi halangan dalam melaksanakan upacara-upacara tersebut. Semua melebur menjadi satu.[40] Dalam usaha ini, bukan nilai ekonomi yang dipentingkan atau diutamakan tetapi nilai partisipasi. Dalam masyarakat tradisional selalu ada kecenderungan untuk menomor-duakan kepentingan individu terhadap kepentingan bersama. Oleh sebab itu, dengan fakta di atas dapat dilihat bahwa nilai dalam budaya Toraja yang terkandung dalam Tongkonan, mengedepankan kepentingan bersama (persekutuan) di atas kepentingan diri sendiri.[41] Selain itu, Tongkonan juga berfungsi sebagai pusat adat, tempat persekutuan Tongkonan membicarakan soal-soal adat. Dari asal katanya yaitu duduk bersama, maka Tongkonan juga berfungsi sebagai tempat membicarakan jika terjadi konflik dalam keluarga.
Sebagai informasi yang juga penting bahwa Tongkonan juga merupakan sebuah proyeksi dari kehidupan di alam selanjutnya. Para keluarga atau pa’rapuan berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan persatuan dan keharmonisan di dalam Tongkonan dengan harapan bahwa di kehidupan selanjutnya mereka juga akan dipersatukan kembali dalam satu Tongkonan. Orang Toraja meyakini bahwa dunia ini hanya sebuah proses atau persinggahan untuk menuju pada kehidupan selanjutnya atau kehidupan di dunia atas. Berdasarkan beberapa hal di atas, maka menjadi sangat jelas bahwa seluruh aspek menyangkut Tongkonan memiliki satu nilai yang mutlak yaitu persatuan ataupun keharmonisan.[42]
Berdasarkan ketiga pembahasan di atas maka kita memiliki beberapa informasi yaitu, faktor-faktor penyebab terjadinya perpecahan gereja karena tiga hal yakni: faktor ajaran, faktor suku dan faktor ego. Kemudian menjadi jelas maksud dari doa Yesus dalam Yohanes 17:21 tentang kata kuncinya yaitu kesatuan. Kesatuan yang dimaksudkan bukan kesatuan lembaga, melainkan kesatuan dalam kasih dan kesatuan hati dengan meneladani teladan yang telah diberikan oleh Yesus Kristus. Selanjutnya, dari budaya lokal yang dimiliki Indonesia yaitu Tongkonan di daerah Toraja, memberikan informasi bahwa persatuan itu harus selalu diusahakan. Persatuan itu dapat diwujudkan dengan hal-hal praksis seperti gotong royong yang tidak harus menuntut sesuatu yang bernilai mahal tetapi hal-hal kecilpun akan sangat berarti jika dilakukan dengan tulus. Mengacu pada kedua alat pemersatu ini, yaitu doa Yesus dan Tongkonan, maka muncul sebuah pertanyaan bahwa apa yang harus dilakukan oleh gereja dengan bercermin dari kedua hal tersebut?


4. PENUTUP
            Pada bagaian kedua tulisan ini, penulis telah menjelaskan tentang faktor-faktor pemecah gereja, makna doa Yesus dan makna Tongkonan yang merupakan simbol pemersatu dan keharmonisan masyarakat Toraja. Selanjutnya poin-poin di atas akan disimpulkan secara singkat pada bagian ini. Pertanyaan yang terakhir yang akan dijawab adalah dengan belajar dari doa Yesus dan Tongkonan sebagai simbol pemersatu atau lambang keharmonisan orang Toraja, apa yang harus dilakukan gereja dalam usahanya mewujudkan gereja yang oikumenis?
Dari karya tulis ini kita bisa melihat dengan jelas faktor-faktor yang menjadi penyebab perpecahan ataupun keberagaman dalam tubuh gereja. Faktor-faktor itu yakni, pertama ajaran yang adalah faktor paling utama yang menjadikan gereja terpecah-pecah. Awalnya gereja hanya satu. Namun, dalam perkembangannya terbagi menjadi dua dan selanjutnya pada zaman reformasi, Luther, Calvin dan tokoh-tokoh lainnya menyuarakan suara pembaruan dalam Gereja karena dinilai menjalankan beberapa ajaran yang tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Lalu, lahirlah Gereja/aliran Protestan yang dari dalamnya gereja terpecah-pecah.
Penulis kemudian berusaha memberikan sumbangsih pemikiran dalam pergumulan yang dihadapi oleh gereja dengan mengkaji kembali apa makna dari Doa serta harapan Yesus yang dicatat Alkitab dalam Injil Yohanes 17:21. Makna kesatuan yang dimaksud Yesus tidak menunjuk pada jumlah bilangan, tetapi menunjuk kepada keesaan. Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan hati dan kesatuan kasih. Ketika gereja berhasil menjalankan ajaran Yesus dengan baik dan tetap saling mengasihi dan bukan menjatuhkan satu dengan yang lain, serta ketika gereja mampu menganggap gereja yang lain sebagai kawan yang harus saling memerdulikan, maka di situlah terwujud gereja yang oikumenis dan berarti doa Yesus terjawab.
Selain dari usaha untuk mengkaji makna dari doa Yesus, penulis juga melihat bahwa ada kearifan dan nilai-nilai yang diajarkan Tongkonan bagi usaha gereja untuk mewujudkan harapannya menjadi gereja yang oikumenis. Nilai yang paling utama dalam Tongkonan adalah nilai persatuan dan keharmonisan. Tidak ada nilai yang lebih penting dari hal ini, sehingga semua usaha atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan serta meningkatkan persatuan di antara anggota keluarga. Bahkan, persatuan yang diinginkan oleh orang Toraja, bukan hanya tercipta di dunia ini melainkan persatuan dirindukan dan diharapkan sampai selama-lamanya. Artinya bahwa kelak dikehidupan selanjutnya mereka berharap bisa kembali dipersatukan. Hal ini sejajar dengan harapan atau cita-cita penganut Agama Kristen. Orang Kristen atau gereja hidup dalam pengharapan bahwa kelak mereka akan dikumpulkan dalam satu tempat yang sama, yang sudah disediakan oleh Yesus Kristus.[43]
Secara teologi praktis, penulis memberikan alternatif ataupun saran kepada gereja agar dapat mewujudkan kerinduannya akan keesaan ataupun mewujudkan gereja yang oikumenis. Alternatif atau solusi ini diberikan berdasarkan hasil kajian dari kedua alat pemersatu di atas yaitu doa Yesus dan Tongkonan. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa Gereja tidak perlu lagi “menyalahkan” dirinya atas realita keberagaman di dalam tubuhnya sendiri. Gereja baiknya bangkit dari kenyataan dan mengusahakan cara agar gereja-gereja ini hidup dalam persatuan dan keharmonisan serta merasa senasib sepenanggungan. Keberagaman gereja tidak menjadi masalah jika antara satu dengan yang lain hidup rukun dan berjalan dalam keharmonisan serta menjalin hubungan kepemilikan. Berikut akan dipaparkan aksi pastoral bagi gereja dalam usaha mewujudkan gereja yang oikumenis.
Pertama, belajar dari kajian tentang makna doa Yesus, gereja harus menyadari bahwa ternyata yang dimaksud Yesus tentang kata ‘satu’ adalah kesatuan gereja dalam ikatan kasih yang saling menghidupkan satu dengan yang lain. Dengan menyadari hal ini, maka gereja harus optimis bahwa keesaan dalam tubuhnya bukanlah hanya sebatas angan-angan, bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan melainkan bisa dijewantahkan dengan usaha bersama anggota-anggotanya.
Kedua, gereja yang satu tidak boleh menganggap diri lebih baik atau lebih benar dari gereja yang lain. Gereja-gereja harus menyadari bahwa mereka berasal dari satu Kepala yang sama sehingga antara satu dengan yang lain memiliki ikatan yang sangat erat yaitu ikatan persaudaraan. Sangat penting untuk membangun hubungan kepemilikan. Ketika yang suatu gereja mengalami pergumulan maka itu juga adalah pergumulan gereja yang lain sehingga setiap gereja berusaha memikirkan pergumulan bersama itu untuk menemukan solusi yang tepat.
Ketiga, belajar dari Tongkonan bahwa ketika ada anggota di dalamnya telah berkeluarga maka mereka harus membangun Tongkonan yang baru. Namun, pembangunan ini bukan dimaksudkan untuk memisahkan diri seutuhnya, melainkan tetap menjalankan kewajiban bersama seperti yang sudah dijelaskan di atas. Gereja juga harus seperti ini, bahwa ada tanggungjawab bersama yang harus dijalankan yaitu membawa damai sejahtera. Gereja pun harusnya bekerja sama untuk mewujudkan tanggungjawab bersama ini. Sesuatu yang dilakukan bersama-sama tentu akan lebih ringan daripada harus dilakukan sendiri-sendiri. Menarik bahwa dalam Tongkonan tidak ada alasan bagi anggotanya untuk tidak berpartisipasi dalam melakukan sebuah upacara. Jika materi tidak bisa, maka boleh dengan pikiran. Jika pikiran pun tidak bisa maka boleh melalui tenaga. Gereja pun harusnya seperti ini bahwa sekecil apapun peran yang dilakukan dalam menjalankan tanggungjawab bersama, itu pasti akan sangat berguna. Jadi, tidak ada alasan gereja mengatakan tidak mampu.
Keempat, belajar dari Tongkonan bahwa ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan persatuan antar anggota (Rambu Tuka’, Rambu Solo’, Rampanan Kapa’, Mangrara Banua). Gereja dapat belajar bahwa ternyata kegiatan-kegiatan yang dilakuakan bersama akan menciptakan persatuan dan membuat hubungan semakin harmonis.


DAFTAR PUSTAKA

Andronikus. 2016. “Keesaan Tuhan dalam Kemajemukan Agama: Tinjauan Teologis tentang Tuhan dari Agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen serta Sumbangsihnya bagi Kerukunan NKRI”. Skripsi Sarjana Theologi. Makassar: STT INTIM Makassar.
Aritonang, Jan S. (Ed). 2018. Teologi-teologi Kontemporer. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Barclay, William. 1996. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Yohanes Pasal 8-21. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Berkhof, H., dan H.I. Enklaar. 1988. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Brill, J. Wesley. 1976. Tafsiran Injil Yohanes. Bandung: Kalam Hidup.
Graham, Allan Billy. 2014. “Yang Semakin Hilang di Antara Kita: Suatu Kajian Teologis Terhadap Nilai Persatuan Pancasila-Tongkonan Sebagai Wadah Pemersatu Bangsa”. Skripsi Sarjana Theologi. Makassar: STT INTIM Makassar.
Jonar S. 2016. Ekklesiologi, Gereja yang Kelihatan dan Tak Kelihatan: Dipanggil dan Dikuduskan untuk Memberitakan Karya Penyelamatan Kristus. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Jonge, Christian de dan Jan S. Aritonang. 2016. Apa dan Bagaimana Gereja?: Pengantar Sejarah Ekklesiologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Jonge, Christian de. 1986. Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kabanga’, Andarias. 2002. Manusia Mati Seutuhnya. Yogyakarta: Media Pressindo.
Kobong, Theodorus. 2008. Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, Kontekstualisasi, Transformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Internet
“Gereja di Indonesia Dalam Era Globalisasi”. Jurnal Pelita Zaman 8, No. 2 (1993):3. Dalam https://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=373&res=jpz. Diakses 13 Nopember 2018, pukul 23.03 WITA.


[1] Mahasiswa Pascasarjana STT INTIM Makassar, utusan Gereja Toraja.
[2] H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), 376.
[3] Missio Dei berasal dari bahasa Latin yang secara harafiah diartikan sebagai tugas dari Allah. Lebih lanjut, Jusni Saragih dan Harriman Pantianakotta menjelaskan bahwa misso sama dengan apostolos dalam bahasa Yunani yang berarti pengutusan. Missio memiliki kesamaan arti dengan istilah pengutusan yang biasa diartikan sebagai “karya Allah” (God’s Mission). Selain itu, kata mission juga berkaian dengan mission ecclesiae yang berarti tugas pengutusan gereja. Lihat Jusni Saragih dan Harriman Pantianakotta, “Teologi Misi (dan) Ekumenisme”, dalam Jan S. Aritonang (Ed), Teologi-teologi Kontemporer, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 146.
[4] Data ini dasampaikan pada mata kuliah PPKN yang diampu oleh Ny. Johanna W. Jacob, M.H pada tanggal 8 September tahun 2016.
[5] Andarias Kabanga’, Manusia Mati Seutuhnya, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2002), 46-47.
[6] Jonar S., Ekklesiologi, Gereja yang Kelihatan dan Tak Kelihatan: Dipanggil dan Dikuduskan untuk Memberitakan Karya Penyelamatan Kristus, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2016), 4.
[7] “Gereja: Institusi Sosial dan Persekutuan”, dalam https://ruth712.wordpress.com/2010/08/11/gereja-institusi-sosial-dan-persekutuan-bab-1-kelas-12/, diakses 13 Nopember 2018, pkl. 01.57 WITA.
[8] Jonar S., Ekklesiologi, Gereja yang Kelihatan dan Tak Kelihatan, 6-7.
[9] Untuk belajar tentang permulaan sejarah gereja, kita dapat mendapatkan informasi dalam Kitab Kisah Para Rasul. Di dalamnya digambarkan bagaimana gaya hidup jemaat mula-mula yang hidup dalam kasih, persatuan dan keharmonisan.
[10] Berkhof dan Enklaar, Sejarah Gereja, 7.
[11] Dikutip dari kelas Teologi Biblika Kontekstual yang diampu oleh Pdt. Tertius Y. Latigimo, pada tanggal 2 Nopember 2018.
[12] Christian de Jonge, Pembimbing ke Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), pada Tabel 1: Sejarah Abad Pertama Sampai Kesembilanbelas.
[13] Menarik bahwa sampai akhir hidupnya, Martin Luther tidak membentuk Gereja Protestan. Ia tetap melayani di Gereja Katolik Roma.
[14] Surat indulgensi adalah surat yang diperjualbelikan oleh Gereja Katolik Roma. Fungsi surat ini dapat dipahami melalui skema yang penulis kutip dari materi perkuliahan Ekumenika yang diampu oleh Pdt. Roberto J.M. Wagey, M.Th, pada hari kamis, 8 Desember 2016: “Manusia Katholik => Menerima Pengampunan Dosa (Sakramen Rekonsiliasi) => Kematian => Api Penyucian (proses pemurnian dan penyucian dari segala dosa)=> Sorga”. Pada tahapan Api Penyucian itulah surat indulgensi berfungsi untuk mempercepat proses seseorang berada di api penyucian / Purgatorium. Surat ini diperjualbelikan dengan maksud untuk membiayai pembangunan gereja atau basilika St. Petrus pada saat itu.
[15] Alasan calvin hanya menerima dua sakramen karena hanya kedua sakramen tersebut yang diperintahkan secara langsung oleh Yesus Kristus.
[16] Ada lima semboyan para reformator pada saat itu, yakni: sola gratia, sola scriptura, sola fide, solus Christo dan soli Deo Gloria. Dikutip dari perkuliahan pasca sarjana STT INTIM Makassar, mata kuliah “Teologi Agama-agama”, yang diampuh oleh Pdt. Indu Y. Panggalo, pada tanggal 27 Oktober 2018.
[17] Protestan berasan dari kata “pro testanum” yang berarti kembali kepada Injil atau kembali kepada ajaran Yesus Kristus. Dikutip dari materi perkuliahan Ekumenika yang diampu oleh Pdt. Roberto J.M. Wagey, M.Th, pada hari kamis, 8 Desember 2016.
[18] Berkhof dan Enklaar, Sejarah Gereja, 152. Beberapa jemaat dari aliran Baptis yang menganut teori “Yerusalem-Yordan-Yohanes Pembaptis”, berpendapat bahwa Gereja Baptis bermula pada pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan. Kelompok ini mengklaim bahwa gereja yang paling pertama dan asli adalah Gereja Baptis. Jadi menurut mereka Gereja Baptis bukan lahir pada tahun 1522 tetapi pada waktu Yesus dibaptis. Namun, ada pula yang tetap mempertahankan bahwa aliran Baptis lahir di Munster. Lihat Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 127.
[19] Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 146.
[20] Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 334.
[21] “Gereja di Indonesia Dalam Era Globalisasi”, Jurnal Pelita Zaman 8, No. 2 (1993):3, diakses pada tanggal 13 Nopember 2018, pukul 23.03, https://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=373&res=jpz.
[22] Contoh kasus ini dialami langsung oleh penulis pada Orientasi dan Observasi jemaat pada tahun 2016 di Daerah Rembon, Kab. Tana Toraja. Majelis yang sekaligus tua-tua adat bertentangan dan akhirnya salah satu dari mereka memilih untuk membangun gereja yang baru.
[23] Ut Omnes Unum Sint adalah bahasa Latin yang artinya “supaya semua menjadi satu”. Ini juga merupakan semboyan dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
[24] Andronikus, “Keesaan Tuhan dalam Kemajemukan Agama: Tinjauan Teologis Tentang Keesaan Tuhan dari Agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen serta Sumbangsihnya bagi Kerukunan NKRI”, Skripsi Sarjana Teologi, (Makassar: STT INTIM Makassar, 2016), 72-73.
[25] William Barclay, Pemahaman Alkitab Sehari-hari: Yohanes pasal 8-21, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 119.
[26] Barclay, Pemahaman Alkitab Sehari-hari, 119.
[27] Barclay, Pemahaman Alkitab Sehari-hari, 119.
[28] Barclay, Pemahaman Alkitab Sehari-hari, 120.
[29] J. Wesley Brill, Tafsiran Injil Yohanes, (Bandung: Kalam Hidup, 1976), 172.
[30] Kabanga’, Manusia Mati Seutuhnya, 46-47.
[31] Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, Kontekstualisasi, Transformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 88. Lebih lanjut dijelaskan bahwa meskipun sepasang suami-isteri hanya membangun rumah biasa, namun pada prinsipnya sebuah Tongkonan telah lahir saat mereka telah resmi menjadi suami-isteri.
[32] Pangala tondok berarti orang yang pertama membangun rumah di suatu tempat atau kampung.
[33] Pa’rapuan berarti anggota keluarga yang terhimpun dalam tongkonan.
[34] Tongkonan layuk berarti Tongkonan yang paling tua dalam klan.
[35] Kobong, Injil dan Tongkonan, 91. Aluk Sanda Pitunna yang merupakan hukum atau tata hidup dan juga ajaran dari agama lokal masyarakat Toraja, yaitu Aluk Todolo.
[36] Rambu tuka’ merupakan upacara atau acara pengucapan syukur.
[37] Rambu solo’ adalah upacara kematian orang Toraja.
[38] Rampanan Kapa’ adalah acara pernikahan.
[39] Mangrara Banua adalah upacara penahbisan rumah adat atau Tongkonan.
[40] Allan Billy Graham, “Yang Semakin Hilang di Antara Kita: Suatu Kajian Teologis Terhadap Nilai Persatuan Pancasila-Tongkonan Sebagai Wadah Pemersatu Bangsa”, Skripsi Sarjana Teologi, (Makassar: STT INTIM Makassar, 2014), 50.
[41] Graham, “Yang Semakin Hilang di Antara Kita”, 47. Rasa senasib sepenanggungan yang dimiliki oleh masyarakat Toraja dilatarbelakangi oleh perang melawan orang Bone, di mana semua pemimpin Toraja mempersatukan diri untuk melawan orang Bone dan akhirnya berhasil mengalahkan dan mengusir orang Bone. Dari sini muncul ungkapan yang menjadi falsafah hidup orang Toraja, yaitu: “Misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate”, yang memiliki makna sejajar dengan slogan bangsa Indonesia, yaitu: “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.
[42] Paragraf ini berdasarkan informasi dan hasil diskusi dengan Sdr. Elim Wilsen Taruk, S.Th., M.A.
[43] Hasil diskusi dengan Sdr. Elim Wilsen Taruk.

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19 PANDEMIK COVID-19 Sejak World Health Or...