DOA YESUS
DAN TONGKONAN SEBAGAI ALAT PEMERSATU
“Ketika gereja berhasil
menjalankan ajaran Yesus dengan baik, tetap saling mengasihi dan gereja mampu
menganggap gereja yang lain sebagai kawan yang harus saling memerdulikan, maka
di situlah terwujud gereja yang oikumenis dan berarti doa Yesus terjawab.”
Abstraksi:
Oikumene merupakan harapan utama bagi gereja-gereja dalam relasi
inter-denominasi. Demi mencapai harapan itu, ada pelbagai usaha yang telah
dilakukan oleh gereja. Namun, perlu diakui bahwa usaha-usaha yang dilakukan itu
belum mencapai hasil yang maksimal. Tulisan ini bermaksud untuk memberi
sumbangan pemikiran demi mencapai harapan gereja untuk menjadi gereja yang
oikumenis. Penulis berusaha mengkaji makna dari apa yang disebut dalam tulisan
ini sebagai alat pemersatu, yaitu: doa Yesus dalam Injil Yohanes 17:21 dan
Tongkonan sebagai simbol pemersatu dan keharmonisan orang/suku Toraja. Dalam
usaha mencapai harapan dan tujuan gereja, penulis mendeskripsikan secara
singkat sejarah gereja mulai dari terbentuknya sampai tiba pada sebuah realitas
kemajemukan aliran dan denominasi dalam tubuh gereja. Selanjutnya, penulis
memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemajemukan dalam tubuh gereja.
Usaha melihat konteks dan kemudian melakukan kajian terhadap teks, menjadi
metode penulis dalam penyajian tulisan ini. Pada akhirnya, penulis memberikan
beberapa sumbangsi pemikiran bagi gereja dan usaha mencapai harapan untuk
menjadi gereja yang oikumenis.
Kata-kata kunci: gereja,
oikumene, doa Yesus, tongkonan.
1.
PENDAHULUAN
Gereja berasal dari bahasa
Portugis, yaitu: “Igreja” dan juga berasal dari bahasa Yunani, yaitu: “Ekklesia”
yang berarti jemaat “yang dipanggil keluar” dari dunia untuk menjadi milik
Tuhan.
Gereja merupakan sebuah lembaga yang fungsi dan nilainya memiliki perbedaan
dengan lembaga atau institusi-institusi yang lain. Diyakini seperti itu karena
lembaga gereja merupakan lembaga yang diutus oleh Allah untuk menjalankan missio
Dei
di tengah-tengah dunia ini. Gereja dalam pelbagai eksistensinya masih ada
sampai saat ini sebagai sebuah lembaga keagamaan sekaligus sebagai mitra Allah
merupakan sebuah hal yang patut kita syukuri dengan melihat kenyataan-kenyataan
yakni pergumulan ataupun permasalahan yang dihadapi mulai pra-eksistensinya
sampai sekarang.
Perjalanan kehidupan gereja mulai
dari awal terbentuknya sampai saat ini, tidaklah berjalan dengan mudah.
Perjalanan yang panjang itu menyajikan ribuan pengalaman mulai dari pengalaman
yang paling menyakitkan sampai pengalaman yang sangat membahagiakan. Salah satu
pengalaman gereja yang juga dapat dikategorikan sebagai permasalahan klasik gereja,
yang masih tetap eksis sampai sekarang adalah perpecahan yang berakibat pada
kemajemukan aliran bahkan denominasi di dalam tubuh gereja.
Pada awal terbentuknya,
hanya ada satu gereja yang disebut Gereja Kristen. Kemudian terpisah menjadi
Gereja Barat dan Gereja Timur (ortodoks Timur). Gereja Barat biasa disebut
Gereja Katolik Roma yang karena sesuatu hal pada abad reformasi terpecah
menjadi dua, yaitu: Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan. Dari Gereja
Protestan inilah dalam perkembangannya, gereja terpecah-pecah sehingga terdapat
begitu banyak denominasi serta aliran dalam tubuh gereja.
Masalah ini membuat penulis
prihatin terhadap pengalaman serta realita yang terjadi dalam tubuh gereja.
Penulis melihat bahwa masalah ini tidak pernah berhenti terjadi. Bahkan,
masalah atau pergumulan yang dihadapi oleh gereja ini belum mendapat titik terang
yang secara pasti dapat dikatakan sebagai jawaban atas pergumulan tersebut.
Inilah yang menjadi alasan penulis tertarik untuk memberikan sumbangsi
pemikiran terhadap permasalahan gereja yang juga merupakan bagian dari
permasalahan yang harus dipikirkan bersama sebagai warga gereja bahkan gereja itu
sendiri.
Indonesia adalah sebuah
negara yang sangat plural. Bukan hanya kepercayaannya tetapi juga plural dalam
etnis. Indonesia merupakan negara dengan penduduk pemeluk agama Islam terbanyak
di dunia yaitu 85,6% dari jumlah penduduk Indonesia.
Meskipun begitu menarik bahwa Indonesia bukan negara Islam. Dari keberagaman
Indonesia, penulis tertarik dengan salah satu keragaman budaya lokal yang ada
di daerah Toraja, Sulawesi Selatan. Dalam masyarakat Toraja, terdapat suatu
rumah adat yang disebut Tongkonan. Tongkonan selain merupakan rumah
adat, juga merupakan simbol dari persatuan dan keharmonisan ataupun persekutuan
dalam masyarakat Toraja.
Yohanes 17:21 juga menjadi
salah satu inspirasi bagi penulis dalam memikirkan permasalahan yang dihadapi
oleh gereja. Ayat ini berisi tentang Doa Tuhan Yesus bagi murid-murid-Nya:
“supaya mereka semua menjadi satu”. Ayat ini juga menjadi titik berangkat
ataupun landasan Alkitabiah bagi gereja untuk mewujudkan keoikumenisan yang
masih dalam tahapan proses sampai saat ini.
Ada banyak simbol-simbol
khususnya di Indonesia yang dapat menjadi acuan untuk melakukan pendekatan
dalam mewujudkan ataupun sekadar melihat dan memahami gereja yang oikumenis.
Namun, dalam tulisan ini akan lebih difokuskan pada pembahasan tentang gereja yang
oikumenis dengan merujuk pada makna doa Yesus dalam Yohanes 17:21 dan makna Tongkonan sebagai simbol pemersatu dan
keharmonisan bagi orang Toraja.
Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan masalah yang
telah diuraikan di atas,
maka penulis merumuskan beberapa masalah demi mencapai
tujuan dari penulisan karya ilmiah ini, yaitu sebagai
berikut: Apa makna doa Yesus dalam
Yohanes 17:21 dan makna Tongkonan sebagai simbol pemersatu dalam kaitannya
dengan gereja yang oikumenis? Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah
untuk memahami makna doa Yesus dalam Yohanes 17:21 dan makna Tongkonan sebagai
simbol pemersatu dalam kaitannya dengan gereja yang oikumenis.
2. GEREJA SEBAGAI REALITAS SOSIAL
Pada bagian pendahuluan
telah dibahas sekilas tentang pengertian gereja secara harafiah. Gereja dalam
arti yang sejajar dengan pengertian di atas adalah jemaat atau orang-orang yang
dipangil keluar dari kegelapan menuju terang yang ajaib.
Gereja sendiri dipahami secara beragam, yaitu: pribadi manusia sebagai individu,
kumpulan orang percaya atau jemaat
dan juga sebagai sebuah lembaga. Namun, dalam tulisan ini, penulis akan lebih
fokus untuk membahas gereja dalam artian kumpulan orang percaya atau jemaat.
Sekali lagi bahwa gereja merupakan
kumpulan orang-orang yang percaya kepada Allah yang telah memanggil umat-Nya.
Namun, pengertian ini sangat bertolak belakang dengan realita gereja yang sudah
dideskripsikan di atas. Gereja justru terpecah dan saling menjatuhkan satu
dengan yang lain. Masing-masing mengklaim bahwa ajaran yang mereka terapkan dan
cara mereka beribadahlah yang paling benar sedangkan yang lain keliru.
Pertanyaannya, mengapa gereja yang tadinya merupakan kumpulan orang percaya
harus terpecah dan menganggap diri lebih dari yang lain? Kemungkinan alasannya
karena pemahaman ajaran yang berbeda dan kemungkinan ada kepentingan pribadi
yang disuarakan serta dipaksakan untuk diwujudkan. Dalam usaha pengamatan yang
lebih komprehensif tentang faktor-faktor penyebab perpecahan gereja, maka di
bawah akan diuraikan lebih jelas.
2.1. Fakta
dan Faktor Perpecahan Gereja
Sebelum membahas tentang
faktor-faktor yang menjadi penyebab perpecahan gereja, terlebih dahulu ada
baiknya untuk menjelaskan sedikit tentang sejarah gereja.
Hari kelahiran gereja adalah hari keturunan Roh Kudus pada saat pesta
Pentakosta. Murid-murid dipenuhi dengan Roh Kristus, sehingga mereka berani
bersaksi tentang kelepasan yang dikaruniakan Tuhan kepada dunia. Di mana orang
menyambut Injil dengan percaya kepada Yesus Kristus, di sana terbentuklah
jemaat-jemaat kecil.
Di dalam sejarah mula-mula ini ada banyak hal yang dihadapi oleh gereja. Mulai
penghambatan-penghambatan dari orang Yahudi dan pemerintah, pertikaian antara
jemaat muda dan tua, sampai perbedaan pendapat oleh rasul Paulus dan Petrus.
Sesudah masa rasul, pertumbuhan gereja sangat pesat terlebih ketika gereja diakui
(Agama Kristen telah merdeka) pada tahun 313 oleh pemerintah kekaisaran Romawi.
Hal ini disebabkan karena usaha pekabaran Injil didukung oleh pemerintah
Romawi. Pada abad pertengahan, khususnya tahun 910 sampai ± tahun 1300, gereja mengalami
masa kejayaan.
Memasuki abad reformasi,
karena beberapa ajaran yang tidak memiliki landasan Alkitabiah yang jelas,
menjadi landasan Martin Luther
dan menyusul John Calvin menyuarakan suara pembaruan yang berujung pada
pemisahan Gereja Barat atau Gereja Katolik Roma sehingga lahirlah Gereja
Protestan. Dari Gereja Protestan ini, pada tahun 1600-an lahir gerakan
Pietisme. Dari sinilah lahir berbagai aliran dan denominasi Gereja.
Menurut penulis ada beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam Gereja, yaitu:
2.1.1. Faktor Ajaran
Sebelum Gereja Protestan
lahir, Martin Luther telah menentang ajaran dan sistem tata kelola Gereja
Katolik Roma. Ajaran yang paling ditentangnya adalah surat Indulgensi.
Menurutnya, surat itu tidak memiliki landasan Alkitabiah yang jelas untuk
dijadikan sebuah sistem ajaran. Ajaran itu justru menyengsarakan warga gereja
khususnya mereka yang perekonomiannya dibawah rata-rata. Protes dari Martin
Luther ini disuarakan melalui 95 tesis yang disebarkan dan ditempelkan pada
pintu Gereja di Wittenberg.
Menyusul setelah itu John Calvin
kemudian menyuarakan reformasi di Jenewa. Sama halnya dengan Luther, Calvin
juga menentang beberapa ajaran dari Gereja Katolik Roma. Salah satu ajaran yang
direformasi adalah, dari tujuh sakramen yang diakui oleh Gereja Katolik Roma,
Calvin menghapus lima sakramen dan menetapkan hanya ada dua sakramen, yaitu:
Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus.
Masih ada beberapa ajaran lagi yang direformasi oleh para tokoh reformasi yang
selalu dikaji menurut kebenaran Alkitab. Oleh karena itu, slogan zaman reformasi
yang terus digaungkan dalam usaha untuk mereformasi ajaran gereja adalah back
to Bible atau dalam bahasa latin
disebut sola scriptura.
Ini berarti bahwa semua ajaran gereja harus memiliki landasan
Alkitab yang jelas. Berbeda dengan Luther, Calvin membentuk Gereja baru atau
aliran baru, yaitu Protestan
berdasarkan ajaran yang telah direformasi.
Pada tahun 1950, muncullah
gerakan rohani yang lain di samping dari Reformasi Luther dan Calvin. Gerakan
ketiga ini mendapat banyak pengikut. Gerakan ini diberi nama gerakan orang
Baptis atau Anabaptis (yang membaptiskan kembali).
Aliran ini mengatakan bahwa baptisan yang sah itu ketika diselam dan dilayankan
bagi orang dewasa. Jika ada anak kecil yang telah dibaptis, maka akan dibaptis
kembali saat ia dewasa. Mereka menolak baptisan yang dilayankan bagi anak-anak
dengan alasan belum mengerti makna baptisan (seperti Yesus yang dibaptis saat
Ia sudah dewasa).
Pada akhir abad ke-17, Gereja-gereja
Reformed di Eropa oleh banyak orang dilihat sudah semakin kaku, dingin, tidak
bergairah dan kurang menghargai manusia sebagai pribadi. Padahal masyarakat
merindukan ungkapan-ungkapan yang lebih mesra, hangat, spontan dan personal.
Inilah yang mendorong lahirnya gerakan Pietisme yang kemudian melahirkan tiga
rumpun gereja: Gereja-gereja Moravia, Swedia Injili dan Metodis.
Perpecahan inipun dikarenakan ajaran gereja. Kemudian, gereja terpecah lagi dan
lahirlah gerakan atau Gereja Pentakosta maupun Kharismatik yang menekankan
tentang kehadiran Roh Kudus dalam peribadahan, glosolalia dan penyembuhan-penyembuhan Illahi. Setelah itu, gereja
terpecah-pecah dan lahirlah aliran-aliran yang baru seperti Injili, Bala
Keselamatan, Adventis, Saksi Jehova, Mormon dan lain sebagainya. Aliran-aliran
ini lahir karena perbedaan pemahaman tentang ajaran gereja yang ditafsirkan
dari Alkitab. Beberapa aliran ini seperti Saksi Jehovah dan Mormon dianggap sekte
“sesat” oleh warga jemaat Gereja Mainstrim karena ajaran yang mereka praktikkan
dan percayai. Contohnya aliran Saksi Jehovah yang tidak menyakini bahwa Yesus
adalah Tuhan, melainkan Saksi dan Pelayan utama Jehovah.
2.1.2. Faktor Suku
Dalam kaitannya dengan
latar belakang sejarah gereja masing-masing, maka
secara sepintas gereja-gereja yang ada di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian,
yakni: Pertama,
gereja-gereja yang tidak berdasar pada
relasi kesukuan, misalnya: Gereja Protestan di
Indonesia (GPI) dan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Selain itu, Gereja-gereja Pentakosta dan Gereja-gereja
Baptis juga masuk dalam kategori ini.
Kedua, gereja-gereja yang berakar, bertumbuh dan
berkembang berlandaskan relasi kesukuan,
seperti: Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) dan Gereja Toraja (GT), di samping sejumlah besar Gereja suku
lainnya. Perlu dicatat bahwa antara kelompok pertama dan kedua terdapat
perbedaan kadar pengaruh budaya suku. Jika dibandingkan tentu gereja-gereja
yang tidak berdasar pada ikatan kesukan lebih majemuk dalam etnis atau
budayanya.
Realitas di atas dapat
menjadi landasan berpikir bahwa kedekatan emosional sebagai orang-orang yang
memiliki latar belakang etnis atau suku yang sama juga menjadi salah satu
faktor perpecahan ataupun pembentukan gereja baru dalam hal ini gereja yang
bercorak suku. Sudah menjadi fakta lazim bahwa setiap manusia yang ada dalam komunitas suku, memiliki ikatan
emosional yang sangat kuat. Bahkan banyak ditemui konflik-konflik yang terjadi
akibat dari intimidasi terhadap anggota suku tertentu yang akhirnya
membangkitkan semangat militansi dari rekan sesuku yang lain (salah satu
contohnya adalah perang sampit, yang melibatkan perang antara suku Madura
melawan suku Dayak, pada tahun 2001 di daerah Sampit).
Kebebasan dalam
mengekspresikan ekspresi budaya lokal menjadi salah satu pendorong utama, di
samping konteks masyarakat suku yang masih hidup dalam wilayah yang sama saat
para misionaris melakukan pekabaran Injil. Selain itu, diyakini akan lebih
mudah memahami dan membangun gereja jika memiliki paradigma berpikir yang sama
khususnya dalam menghadapi hal-hal yang berbau adat ataupun tradisi-tradisi
yang mesti dipikirkan dan disikapi oleh Gereja.
2.1.3. Faktor Ego atau Kepentingan Pribadi
Pada masa kini, selain dari
kedua faktor di atas, faktor egoisme dan kepentingan dari orang-orang tertentu
juga turut memicu perpecahan dalam gereja. Jika seseorang menganggap
dirinya punya power dalam gereja tetapi
kehendaknya tidak dituruti, maka ia akan mencari cara menghasut anggota jemaat
untuk membentuk gereja yang lain. Salah satu contohnya adalah
ketegangan-ketegangan di antara para presbiter di gereja. Jika ada yang merasa
kecewa maka langkah yang biasa dilakukan adalah berpindah gereja ataupun membentuk
gereja baru.
Selain itu,
pemimpin-pemimpin jemaat dalam hal ini pendeta yang merasa diri cukup
berkualitas dan memiliki kemampuan yang mumpuni untuk memimpin sebuah gereja dalam
cakupan Sinodal, tetapi karena kurang dukungan akhirnya membentuk denominasi gereja
yang lain. Usaha yang dilakukan memang berusaha menyembunyikan kepentingan
pribadi itu dengan langkah-langkah politis. Manipulasi tanda dikedepankan untuk
pemuasan hasrat dan sikap hedonis.
Perpecahan-perpecahan di
atas membuat penulis “gelisah” sehingga kembali bercermin atau berefleksi
dengan merujuk pada doa Yesus yang sering digunakan sebagai acuan atau landasan
teologis untuk mendeskripsikan gereja yang oikumenis. Doa Yesus ini dikenal
dengan sebutan ut omnes unum sint, khususnya di kalangan GMKI.
Bersamaan dengan itu, sebagai seorang yang bangga terhadap kekayaan budaya
lokal yang dimiliki oleh Indonesia, penulis terinspirasi untuk menjadikan Tongkonan
sebagai salah satu acuan dalam usaha untuk membangun gereja yang oikumenis.
Penulis memilih Tongkonan karena
simbol inilah yang paling dekat dengan kehidupan penulis.
2.2. Ut
Omnes Unum Sint
Yesus pernah berdoa untuk
murid-muridnya yang dituliskan di dalam Alkitab khususnya Injil Yohanes 17:21:
“Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku
dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya,
bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”.
Ayat ini menjadi salah satu ayat yang dijadikan landasan
Alkitabiah menyangkut keoikumenisan. Kata kuncinya ialah “supaya mereka menjadi
satu.” Namun, muncul sebuah pertanyaan bahwa apakah doa Tuhan Yesus ini
diperuntukkan hanya kepada murid-murid-Nya pada waktu itu? Jawaban dari
pertanyaan ini terdapat pada ayat sebelumnya, yaitu ayat 20:
“Dan bukan hanya untuk
mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku
oleh pemberitaan mereka.”
Pertanyaan selanjutnya
adalah kesatuan seperti apa yang Yesus maksudkan dalam doa-Nya? Kata satu dalam
teks aslinya menggunakan kata “εν” dari kata dasar “ɛɩζ” yang berarti satu,
yang satu, hanya satu, sendiri, seseorang, tertentu. Kata “εν” yang digunakan
menunjuk kepada sifat dan bukan kuantum matematika. Jadi, kata satu di sini
berarti kesatuan (esa) yang tidak terpisahkan satu sama lain. Meskipun satu
tetapi tetap menjunjung perbedaan yang ada.
Sama halnya dengan pernyataan bahwa “bukan lagi dua melainkan satu”. Lalu
kesatuan seperti apakah yang dimaksud oleh Yesus? Kesatuan yang dimaksud bukan
kesatuan administrasi atau organisasi dan bukan sekali-kali kesatuan gerejawi.
Kesatuan yang dimaksudkan adalah kesatuan hati dan kesatuan kasih.
Ikatan kesatuan ialah kasih dan inilah yang didoakan oleh Yesus. Yesus
menggambarkan kesatuan itu seperti hubungan-Nya dengan Allah. Orang-orang Kristen
adalah satu, satu dengan yang lain jika mereka diikat oleh kasih dan menuruti
perintah Kristus. Kesatuannya dengan Allah merupakan suatu kesatuan kasih yang
sempurna yang mengakibatkan penurutan yang sempurna.
Jika Yesus mengatakan: “Aku dan Bapa adalah satu”, Dia tidak masuk ke dalam
dunia Filsafat atau metafisika, melainkan Dia memasuki dunia hubungan secara
pribadi. Mungkin agak sulit untuk memahami secara benar arti ungkapan seperti
“kesatuan hakikat”, tetapi siapapun dapat mengerti apa artinya “kesatuan hati”.
Jadi, orang Kristen harus menjadi satu di dalam hidup Kristus, satu di dalam
terang Kristus dan satu di dalam kasih Kristus.
3.
TONGKONAN SEBAGAI SIMBOL PEMERSATU DAN KEHARMONISAN
Selain
memiliki keindahan alam yang asri dan indah, Toraja juga terkenal dengan
kekayaan budaya dan tradisi masyarakatnya. Tradisi dan budaya yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat Toraja merupakan kekayaan tersendiri yang menjadi
daya tarik para turis baik lokal maupun mancanegara untuk datang berkunjung ke Toraja.
Budaya dan tradisi yang terdapat dalam masyarakat Toraja, telah mengakar selama
bertahun-tahun dari para leluhur dan nenek moyang orang Toraja yang kemudian
diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Budaya
dan tradisi serta adat istiadat masyarakat Toraja diyakini telah hadir sebelum
agama (kekristenan) hadir di Toraja. Namun, meskipun kekristenan kemudian hadir
dan menjadi keyakinan yang dianut juga oleh orang Toraja, akan tetapi kehidupan
masyarakat Toraja tidak akan pernah terlepas dari budaya, tradisi dan adat
istiadatnya sebagai orang Toraja. Secara personal, menjadi orang Toraja
diibaratkan hidup seperti
”dua
sisi mata uang” yang
tidak terpisahkan antara menjadi orang Toraja dan menjadi orang Kristen Toraja.
Toraja memiliki rumah adat yang disebut Tongkonan.
Tongkonan adalah rumah adat
masyarakat Toraja. Namun, pengertian sesungguhnya tidaklah sedangkal itu. Tongkonan
berasal dari kata “tongkon” yang berarti duduk bersama. Jadi, dari sini
dapat dilihat ada dua arti Tongkonan, yaitu: pertama adalah bangunan rumah marga atau rumah adat. Kedua, Tongkonan adalah
persekutuan atau persatuan.
Dasar persekutuan Toraja adalah hubungan darah daging, yang disimbolkan dengan Tongkonan.
Tongkonan pertama yang dikenal adalah banua puan di Marinding,
yang didirikan oleh Tangdilino’.
Tangdilino’ memiliki delapan orang anak yang tersebar baik di Toraja maupun di
luar Toraja. Mereka masing-masing membangun Tongkonan dan menjadi pangala
tondok.
Dasar Tongkonan
adalah setiap pasangan suami-isteri harus membangun rumah sendiri, yang
kemudian dipelihara oleh keturunannya. Rumah itu menjadi pusat persekutuan bagi
setiap orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan pendirinya, khususnya
keturunan dalam hubungan vertikal. Hal ini juga bisa diartikan bahwa jika pa’rapuan
telah berkeluarga maka harus membangun Tongkonan-nya sendiri.
Itu berarti ada pembentukan Tongkonan yang baru. Meskipun terjadi
pembentukan Tongkonan yang baru, menarik bahwa pa’rapuan yang
membangun Tongkonan yang baru itu tidak lepas tangan terhadap Tongkonan
layuk. Mereka masih tetap
mendukung Tongkonan layuk karena itu menjadi kewajiban dan tanggungjawab
dari seluruh persekutuan Tongkonan, seluruh pa’rapuan. Jadi, jika
dalam hal ini Tongkonan layuk hendak direnovasi maka semua anak
Tongkonan akan diundang untuk berembuk membicarakan anggarannya dan biaya
renovasi dibagi di antara anak Tongkonan. Hal yang paling menarik adalah
setiap orang yang termasuk pa’rapuan berhak untuk ikut berpesta, dari
yang paling kaya sampai yang paling miskin. Tidak seorangpun dapat dikucilkan
dari Tongkonan, kecuali jika ia melanggar Aluk Sanda Pitunna.
Fungsi pertama dan utama Tongkonan
adalah membina persatuan pa’rapuan. Tongkonan menciptakan dan
memelihara persekutuan. Ada beberapa cara yang dilakuakan untuk membina atau
memperkuat persekutuan misalnya bahu-membahu dalam perkerjaan ataupun dalam
upacara-upacara adat (Rambu Tuka’, Rambu Solo’,
Rampanan Kapa’,
Mangrara Banua).
Perlu diketahui bahwa dalam persiapan pelaksanaan upacara-upacara di atas,
setiap anggota keluarga diharuskan memberikan bantuan. Jika tidak mampu dalam
hal materi, maka ia harus menyumbangkan tenaganya ataupun juga pikirannya
sebagai bentuk partisipasi dalam memberi
sumbangsinya. Jadi, tidak ada alasan bagi keluarga untuk tidak membantu.
Kemudian ketika upacara-upacara adat berlangsung, tinggi-rendahnya kemampuan
ekonomi hingga perbedaan agama yang kini dianut oleh masyarakat Toraja, tidak
menjadi halangan dalam melaksanakan upacara-upacara tersebut. Semua melebur
menjadi satu. Dalam usaha ini, bukan
nilai ekonomi yang dipentingkan atau diutamakan tetapi nilai partisipasi. Dalam
masyarakat tradisional selalu ada kecenderungan untuk menomor-duakan
kepentingan individu terhadap kepentingan bersama. Oleh sebab itu, dengan fakta
di atas dapat dilihat bahwa nilai dalam budaya Toraja yang terkandung dalam Tongkonan,
mengedepankan kepentingan bersama (persekutuan) di atas kepentingan diri
sendiri. Selain itu, Tongkonan juga
berfungsi sebagai pusat adat, tempat persekutuan Tongkonan membicarakan
soal-soal adat. Dari asal katanya yaitu duduk bersama, maka Tongkonan juga
berfungsi sebagai tempat membicarakan jika terjadi konflik dalam keluarga.
Sebagai informasi yang juga
penting bahwa Tongkonan juga
merupakan sebuah proyeksi dari kehidupan di alam selanjutnya. Para keluarga
atau pa’rapuan berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan
persatuan dan keharmonisan di dalam Tongkonan dengan harapan bahwa di
kehidupan selanjutnya mereka juga akan dipersatukan kembali dalam satu Tongkonan. Orang Toraja meyakini bahwa
dunia ini hanya sebuah proses atau persinggahan untuk menuju pada kehidupan
selanjutnya atau kehidupan di dunia atas. Berdasarkan beberapa hal di atas,
maka menjadi sangat jelas bahwa seluruh aspek menyangkut Tongkonan memiliki
satu nilai yang mutlak yaitu persatuan ataupun keharmonisan.
Berdasarkan ketiga
pembahasan di atas maka kita memiliki beberapa informasi yaitu, faktor-faktor
penyebab terjadinya perpecahan gereja karena tiga hal yakni: faktor ajaran,
faktor suku dan faktor ego. Kemudian menjadi jelas maksud dari doa Yesus dalam
Yohanes 17:21 tentang kata kuncinya yaitu kesatuan. Kesatuan yang dimaksudkan
bukan kesatuan lembaga, melainkan kesatuan dalam kasih dan kesatuan hati dengan
meneladani teladan yang telah diberikan oleh Yesus Kristus. Selanjutnya, dari
budaya lokal yang dimiliki Indonesia yaitu Tongkonan
di daerah Toraja, memberikan informasi bahwa persatuan itu harus selalu
diusahakan. Persatuan itu dapat diwujudkan dengan hal-hal praksis seperti
gotong royong yang tidak harus menuntut sesuatu yang bernilai mahal tetapi
hal-hal kecilpun akan sangat berarti jika dilakukan dengan tulus. Mengacu pada
kedua alat pemersatu ini, yaitu doa Yesus dan Tongkonan, maka muncul
sebuah pertanyaan bahwa apa yang harus dilakukan oleh gereja dengan bercermin
dari kedua hal tersebut?
4. PENUTUP
Pada bagaian kedua tulisan ini, penulis telah menjelaskan
tentang faktor-faktor pemecah gereja, makna doa Yesus dan makna Tongkonan yang
merupakan simbol pemersatu dan keharmonisan masyarakat Toraja. Selanjutnya
poin-poin di atas akan disimpulkan secara singkat pada bagian ini. Pertanyaan
yang terakhir yang akan dijawab adalah dengan belajar dari doa Yesus dan Tongkonan
sebagai simbol pemersatu atau lambang keharmonisan orang Toraja, apa yang
harus dilakukan gereja dalam usahanya mewujudkan gereja yang oikumenis?
Dari karya tulis ini kita
bisa melihat dengan jelas faktor-faktor yang menjadi penyebab perpecahan
ataupun keberagaman dalam tubuh gereja. Faktor-faktor itu yakni, pertama ajaran
yang adalah faktor paling utama yang menjadikan gereja terpecah-pecah. Awalnya gereja
hanya satu. Namun, dalam perkembangannya terbagi menjadi dua dan selanjutnya
pada zaman reformasi, Luther, Calvin dan tokoh-tokoh lainnya menyuarakan suara
pembaruan dalam Gereja karena dinilai menjalankan beberapa ajaran yang tidak
sesuai dengan kebenaran Alkitab. Lalu, lahirlah Gereja/aliran Protestan yang
dari dalamnya gereja terpecah-pecah.
Penulis kemudian berusaha
memberikan sumbangsih pemikiran dalam pergumulan yang dihadapi oleh gereja dengan
mengkaji kembali apa makna dari Doa serta harapan Yesus yang dicatat Alkitab
dalam Injil Yohanes 17:21. Makna kesatuan yang dimaksud Yesus tidak menunjuk
pada jumlah bilangan, tetapi menunjuk kepada keesaan. Kesatuan yang dimaksud
adalah kesatuan hati dan kesatuan kasih. Ketika gereja berhasil menjalankan
ajaran Yesus dengan baik dan tetap saling mengasihi dan bukan menjatuhkan satu
dengan yang lain, serta ketika gereja mampu menganggap gereja yang lain sebagai
kawan yang harus saling memerdulikan, maka di situlah terwujud gereja yang oikumenis
dan berarti doa Yesus terjawab.
Selain dari usaha untuk
mengkaji makna dari doa Yesus, penulis juga melihat bahwa ada kearifan dan nilai-nilai
yang diajarkan Tongkonan bagi usaha gereja untuk mewujudkan harapannya
menjadi gereja yang oikumenis. Nilai yang paling utama dalam Tongkonan adalah
nilai persatuan dan keharmonisan. Tidak ada nilai yang lebih penting dari hal
ini, sehingga semua usaha atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk
menciptakan serta meningkatkan persatuan di antara anggota keluarga. Bahkan,
persatuan yang diinginkan oleh orang Toraja, bukan hanya tercipta di dunia ini
melainkan persatuan dirindukan dan diharapkan sampai selama-lamanya. Artinya
bahwa kelak dikehidupan selanjutnya mereka berharap bisa kembali dipersatukan.
Hal ini sejajar dengan harapan atau cita-cita penganut Agama Kristen. Orang
Kristen atau gereja hidup dalam pengharapan bahwa kelak mereka akan dikumpulkan
dalam satu tempat yang sama, yang sudah disediakan oleh Yesus Kristus.
Secara teologi praktis,
penulis memberikan alternatif ataupun saran kepada gereja agar dapat mewujudkan
kerinduannya akan keesaan ataupun mewujudkan gereja yang oikumenis. Alternatif atau
solusi ini diberikan berdasarkan hasil kajian dari kedua alat pemersatu di atas
yaitu doa Yesus dan Tongkonan. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa
Gereja tidak perlu lagi “menyalahkan” dirinya atas realita keberagaman di dalam
tubuhnya sendiri. Gereja baiknya bangkit dari kenyataan dan mengusahakan cara
agar gereja-gereja ini hidup dalam persatuan dan keharmonisan serta merasa
senasib sepenanggungan. Keberagaman gereja tidak menjadi masalah jika antara
satu dengan yang lain hidup rukun dan berjalan dalam keharmonisan serta
menjalin hubungan kepemilikan. Berikut akan dipaparkan aksi pastoral bagi gereja
dalam usaha mewujudkan gereja yang oikumenis.
Pertama, belajar dari kajian tentang makna doa Yesus, gereja
harus menyadari bahwa ternyata yang dimaksud Yesus tentang kata ‘satu’ adalah
kesatuan gereja dalam ikatan kasih yang saling menghidupkan satu dengan yang
lain. Dengan menyadari hal ini, maka gereja harus optimis bahwa keesaan dalam tubuhnya
bukanlah hanya sebatas angan-angan, bukanlah sesuatu yang mustahil untuk
diwujudkan melainkan bisa dijewantahkan dengan usaha bersama
anggota-anggotanya.
Kedua, gereja yang satu tidak boleh menganggap diri lebih
baik atau lebih benar dari gereja yang lain. Gereja-gereja harus menyadari
bahwa mereka berasal dari satu Kepala yang sama sehingga antara satu dengan
yang lain memiliki ikatan yang sangat erat yaitu ikatan persaudaraan. Sangat
penting untuk membangun hubungan kepemilikan. Ketika yang suatu gereja mengalami
pergumulan maka itu juga adalah pergumulan gereja yang lain sehingga setiap gereja
berusaha memikirkan pergumulan bersama itu untuk menemukan solusi yang tepat.
Ketiga, belajar dari Tongkonan bahwa ketika ada
anggota di dalamnya telah berkeluarga maka mereka harus membangun Tongkonan yang
baru. Namun, pembangunan ini bukan dimaksudkan untuk memisahkan diri seutuhnya,
melainkan tetap menjalankan kewajiban bersama seperti yang sudah dijelaskan di
atas. Gereja juga harus seperti ini, bahwa ada tanggungjawab bersama yang harus
dijalankan yaitu membawa damai sejahtera. Gereja pun harusnya bekerja sama
untuk mewujudkan tanggungjawab bersama ini. Sesuatu yang dilakukan bersama-sama
tentu akan lebih ringan daripada harus dilakukan sendiri-sendiri. Menarik bahwa
dalam Tongkonan tidak ada alasan bagi anggotanya untuk tidak
berpartisipasi dalam melakukan sebuah upacara. Jika materi tidak bisa, maka
boleh dengan pikiran. Jika pikiran pun tidak bisa maka boleh melalui tenaga.
Gereja pun harusnya seperti ini bahwa sekecil apapun peran yang dilakukan dalam
menjalankan tanggungjawab bersama, itu pasti akan sangat berguna. Jadi, tidak
ada alasan gereja mengatakan tidak mampu.
Keempat, belajar dari Tongkonan bahwa ada
kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan persatuan antar
anggota (Rambu Tuka’, Rambu Solo’, Rampanan Kapa’, Mangrara Banua).
Gereja dapat belajar bahwa ternyata kegiatan-kegiatan yang dilakuakan bersama
akan menciptakan persatuan dan membuat hubungan semakin harmonis.
DAFTAR
PUSTAKA
Andronikus. 2016. “Keesaan Tuhan
dalam Kemajemukan Agama: Tinjauan Teologis tentang Tuhan dari Agama Hindu,
Budha, Islam dan Kristen serta Sumbangsihnya bagi Kerukunan NKRI”. Skripsi Sarjana Theologi. Makassar: STT
INTIM Makassar.
Aritonang, Jan S. (Ed). 2018. Teologi-teologi Kontemporer. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Barclay, William. 1996. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Yohanes Pasal
8-21. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Berkhof, H., dan H.I. Enklaar. 1988. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Brill, J. Wesley. 1976. Tafsiran
Injil Yohanes. Bandung:
Kalam Hidup.
Graham, Allan Billy. 2014. “Yang Semakin Hilang di Antara Kita: Suatu Kajian
Teologis Terhadap Nilai Persatuan Pancasila-Tongkonan Sebagai Wadah Pemersatu
Bangsa”. Skripsi Sarjana Theologi. Makassar: STT INTIM Makassar.
Jonar S. 2016. Ekklesiologi, Gereja yang Kelihatan dan Tak
Kelihatan: Dipanggil dan Dikuduskan untuk Memberitakan Karya Penyelamatan
Kristus. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Jonge, Christian de dan Jan S. Aritonang. 2016. Apa dan Bagaimana
Gereja?: Pengantar Sejarah Ekklesiologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Jonge, Christian
de. 1986. Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kabanga’, Andarias. 2002. Manusia
Mati Seutuhnya. Yogyakarta:
Media Pressindo.
Kobong,
Theodorus. 2008. Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, Kontekstualisasi,
Transformasi. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Internet
Surat indulgensi adalah surat yang diperjualbelikan oleh Gereja Katolik
Roma. Fungsi surat ini dapat dipahami melalui skema yang penulis kutip dari
materi perkuliahan Ekumenika yang diampu oleh Pdt. Roberto J.M. Wagey, M.Th,
pada hari kamis, 8 Desember 2016: “Manusia Katholik => Menerima
Pengampunan Dosa (Sakramen Rekonsiliasi) => Kematian => Api Penyucian
(proses pemurnian dan penyucian dari segala dosa)=> Sorga”. Pada
tahapan Api Penyucian itulah surat indulgensi berfungsi untuk mempercepat
proses seseorang berada di api penyucian / Purgatorium. Surat ini diperjualbelikan dengan maksud untuk membiayai pembangunan
gereja atau basilika St. Petrus pada saat itu.