DENGARKANLAH JERITANNYA:
Sebuah Perspektif Ekologi Aluk
Todolo terhadap Pandemik Covid-19
PANDEMIK COVID-19
Sejak World Health Organitation (WHO) menyatakan
status darurat global terhadap wabah Covid-19 pada tanggal 30 Januari 2020,
perhatian dunia tertuju kepada fenomena tersebut. Wabah Covid-19 muncul dan
menewaskan korbannya pertama kali di Wuhan, China. Paranoid yang ditimbulkan
oleh wabah ini salah satunya karena penyebaran Covid-19 begitu mudah. Akibat
dari mudahnya penyebaran Covid-19 berujung pada pesatnya jumlah korban. Pada
tanggal 11 Maret 2020, WHO menyatakan pandemik global terhadap wabah Covid-19
yang akhirnya menambah kepanikan warga dunia. Bahkan, sampai saat ini jumlah negara
yang terjangkit Covid-19 sebanyak 212 negara.
Menurut Prof. Dr. Soewarno, drh, M.Si, Covid-19
merupakan jenis penyakit yang bermutasi dari virus corona SARS-Cov-2. Virus
SARS juga ditemukan di China dan mewabah pada tahun 2002 sampai 2003. Virus Corona
bermutasi dan beradaptasi lagi menjadi virus MERS-Cov yang mewabah di daerah
Timur Tengah pada tahun 2012.[1]
Berdasarkan hasil riset ini, para pakar virologi menyatakan bahwa virus corona
bukanlah virus yang stabil dan merupakan virus yang mematikan.
Selain dari dampak kematian yang ditimbulkan oleh Covid-19, terdapat
dampak negatif lain. Salah satu yang paling mendapat atensi adalah dampak
terhadap perekonomian sebuah negara yang juga berimbas pada perekonomian
individu atau keluarga. Dampak negatif terhadap ekonomi memang mendapat atensi
sangat serius. Apabila stabilitas ekonomi sebuah negara tidak dapat
dipertahankan maka tentu akan berakibat pada krisis ekonomi yang berujung pada chaos sebuah negara. Namun, tidak dapat
disangkal bahwa hampir seluruh aspek kehidupan manusia atau sebuah negara mendapat
dampak dari kehadiran Covid-19.
Pandemik Covid-19 tidak hanya melulu mendapat atensi karena dampak negatif
yang ditimbulkannya. Di samping dampak negatif yang sangat besar, pandemik Covid-19
pada sisi lain memberi dampak positif dalam aspek sosial, lingkungan alam dan
sebagainya. Dalam aspek sosial, sebagai dampak dari adanya pandemik Covid-19,
dunia menggalakkan solidaritas global seperti yang telah ditulis oleh Yuval
Noah Harari. Negara-negara di dunia, bersatu saling bahu-membahu menemukan
solusi untuk menghadapi wabah terbesar yang dialami oleh generasi yang hidup di
tahun-tahun ini. Bantuan-bantuan berupa gagasan analisis dan cara memerangi Covid-19
terus digalakkan. Bahkan, bantuan-bantuan berupa tenaga medis dan Alat
Pelindung Diri (APD) terus diupayakan. Inilah yang disebut sebagai bentuk
solidaritas global yang sebelumnya belum terjadi secara massif di antara negara-negara.
Beberapa cara untuk menekan dan melawan Covid-19 adalah dengan
penerapan lockdown dan social distancing. Upaya ini dilakukan
agar masyarakat mengisolasi diri di kediaman masing-masing. Dengan berdiam diri
di kediaman masing-masing maka rantai penyebaran Covid-19 dapat diputuskan.
Kebijakan ini mau tidak mau mengubah budaya kerja dan aktivitas masyarakat.
Semua aktivitas baik itu pekerjaan, pendidikan, ibadah dan lain-lain, dilakukan
di kediaman masing-masing.
Upaya pemerintah yang dilakukan di masing-masing negara menjadi
angin segar dalam kepanikan pandemik Covid-19. Dengan diterapkannya lockdown dan social distancing, jumlah kadar nitrogen dioksida di langit bumi
lambat laun menurun karena pembatasan aktivitas udara dan kendaraan yang
menggunakan bahan bakar fosil.[2]
Selain itu, NASA menyebutkan bahwa lapisan ozon yang merupakan pelindung bumi
dari radiasi sinar ultraviolet matahari, semakin tertutup.[3]
Bumi seakan beristirahat dari hiruk pikuk aktivitas manusia yang telah merusak
keseimbangannya. Tentu fakta ini memberi dampak yang positif bagi bumi dan
penghuninya.
Aktivitas manusia di bumi sudah sangat eksploitatif. Realitas ini
menimbulkan pertanyaan penting bagi manusia: Seperti apa pandangan manusia
terhadap bumi dan ciptaan lain yang hadir di dalamnya? Apakah manusia memandang
bumi dan ciptaan lain hanya sebagai objek yang dengan bebas dapat
dieksploitasi? Bagaimana manusia harus memandang bumi dan ciptaan lainnya?
Bagaiamana manusia harus menempatkan dirinya di antara ciptaan yang lain? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyan diatas, saya akan berangkat dari kearifan lokal
Toraja yang menjadi ajaran Aluk Todolo.
SANGSEREKAN: Konsep Ekologi Aluk Todolo
Aluk Todolo merupakan kepercayaan animisme yang dianut oleh masyarakat suku
Toraja sebelum agama-agama besar (Kristen dan Islam) masuk ke Toraja. Dalam
kepercayaan Aluk Todolo, Puang Matua diyakini sebagai pencipta
langit dan bumi. Di dalam sastra religius utama Aluk Todolo, yakni Passomba
Tedong, dikisahkan bahwa proses penciptaan dilangsungkan oleh Puang Matua di dunia atas (langit).
Bahan yang digunakan untuk menciptakan tumbuhan, hewan, benda mati (besi) dan
manusia adalah emas murni yang diambil dari sebelah barat. Emas murni itu
dimasukkan ke dalam sauan sibarrung (puputan
kembar) sehingga terciptalah tumbuh-tumbuhan, hewan, benda mati (besi) dan
manusia.[4]
Berdasarkan kisah penciptaan ini, ada makna secara intrinsik dan filosofis yang
menegaskan relasi antara manusia dengan ciptaan lain. Relasi makhluk-makhluk
ciptaan tersebut disebut sangserekan.
Kata sangserekan berasal
dari akar kata serek berarti
mencabikkan, merobekkan; diberi awalan sang-
= se-(sama); dan diberi akhiran –an yang
menjadikan kata kerja menjadi kata benda. Jadi, secara harafiah sangserekan artinya secabikan,
serobekan. Maksudnya, para makhluk ciptaan merupakan bagian yang sama dari satu
kesatuan utuh (segolongan). Oleh karena itu, merupakan sebuah pemali (larangan atau pantangan) apabila
manusia membunuh hewan atau menebang pohon (termasuk memanen hasil tanaman)
tanpa meminta izin kepadanya.[5]
Berdasarkan makna filosofis dan aturan-aturan di atas, dapat dipahami makna
relasi manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan lainnya. Paham antroposentrisme
tidak dikenal dalam falsafah religius Aluk
Todolo (orang Toraja). Manusia Toraja tidak memandang dirinya sebagai pusat
dari seluruh ciptaan atau dengan kalimat lain, manusia bukanlah pusat dari alam
semesta. Relasi manusia dengan ciptaan lain bukan sekadar relasi fungsional.
Ciptaan lain bukanlah objek bagi manusia. Relasi manusia dengan ciptaan lain
bukan relasi subjek dengan objek, tetapi relasi subjek dengan subjek. Relasi
manusia dengan makhluk-makhluk merupakan relasi persaudaraan.
PARADIGMA MANUSIA TERHADAP ALAM
Pada
zaman pencerahan di Eropa, paham manusia yang sebelumya teosentris/ ekklesiosentris
bergeser menjadi antroposentris. Manusia merupakan pusat dari kehidupan.
Manusialah yang menjadi tolok ukur segala sesuatu. Pada zaman pencerahan,
rasionalitas sangat diagungkan. Segala sesuatu harus dapat dipahami secara
rational. Di satu sisi, zaman pencerahan memang berdampak positif dengan
pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi, pada sisi yang lain,
zaman pencerahan memiliki dampak negatif karena manusia memandang di luar dari
dirinya tidak lebih dari sekadar objek. realitas di luar dari manusia seperti
makhluk hidup lain, hadir untuk menunjang kehidupan manusia. Oleh karena
ciptaan lain hanya dipandang sebagai objek, manusia dengan rasionalitas dan
paham antroposentrisnya mengeksploitasi mereka habis-habisan demi pemuasan
hasrat dan nafsu manusia. Paradigma ini langgeng bahkan sampai pada zaman postmodern.
Namun, dengan tidak menutup mata, memang perlu diakui telah ada suara-suara
yang menentang ketamakan dan sikap eksploitatif manusia terhadap alam.
Dampak dari perlakuan eksploitatif dan ketamakan manusia terhadap
alam – sadar atau tidak – dirasakan oleh manusia juga seluruh makhluk hidup di
bumi. Sikap eksploitatif manusia berakibat pada global warming yang berdampak sangat buruk bagi keseimbangan bumi. Siklus
iklim bumi menjadi tidak menentu sehingga menyebabkan terjadinya banjir dan
tanah longsor, terjadi penipisan bahkan kebocoran pada lapisan ozon yang
menyebabkan suhu bumi meningkat, polusi udara tak terkendali, dan masih banyak
dampak-dampak buruk yang disebabkan oleh sikap eksploitatif manusia. Bukankah
dampak ini dirasakan juga oleh manusia? Menurut para ahli, Covid-19 merupakan
virus yang bermutasi karena banyak faktor, salah satunya global warming.[6]
Berdasarkan fakta ini, maka tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa manusia adalah salah satu faktor kehadiran
Covid-19. Ketamakan manusia-lah yang membuat keseimbangan alam atau bumi
ini rusak, yang menyebabkan kesengsaraan bagi dirinya sendiri.
KESIMPULAN
Oleh karena itu, sudah saatnya manusia (kita) mendengar ‘jeritan’
bumi atau alam. Manusia mesti mengubah pradigma terhadap alam (ciptaan lain).
Kearifan lokal Nusantara, seperti Aluk
Todolo, tidak kurang memberi manusia Indonesia (bahkan dunia) pemahaman
tentang pandangan ideal dalam membangun relasi dengan alam. Paham
antroposentris mesti diubah menjadi paham ekosentris. Pendangan manusia yang
menganggap kehadiran alam hanya sekadar fungsional mesti beranjak ke
relasional. Keangkuhan manusia sebagai subjek dan ciptaan lain menjadi objek
mesti diubah. Manusia mesti berbenah dari pandemik Covid-19 untuk memandang
alam setara dengan dirinya sebagai subjek. Bahkan relasi manusia mesti
diarahkan untuk memandang alam sebagai saudara yang harus saling memerhatikan
dan menghargai. Manusia dan alam setara karena keduanya merupakan hasil cipta. Dengan
ini, selain solidaritas global, solidaritas
ekosistem juga perlu digalakkan dalam menghadapi pandemik Covid-19.
Terlalu naif pula apabila manusia lantas tidak boleh lagi mengelola
alam. Tetapi, diksi yang penting untuk ditekankan sebagai tolok ukur
pengelolaan alam adalah proporsional. Inilah yang disebut Mahatma Gandi bahwa: “bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan
manusia, tetapi tidak untuk ketamakannya”. Bukankah salah satu cara
menyembuhkan orang positif Covid-19 dengan menjaga imunitas tubuh tetap kuat? Salah
satu cara menjaga imunitas tubuh tetap kuat adalah apabila bumi dan hasilnya
juga sehat. Jadi, manusia menjadi sehat apabila bumi atau alam sehat. Relasi
yang harmonis antara manusia dan alam akan menjaga keseimbangan kehidupan tetap
baik.
[1] https://manado.tribunnews.com/2020/03/06/sejarah-virus-corona-identifikasi-sejak-1960-jadi-bentuk-mematikan-seperti-sars-mers-dan-covid-19. Diakses pada tanggal 8 April 2020, pukul 00.47
WITA.
[2] https://jatman.or.id/dampak-positif-pandemi-corona-bagi-planet-bumi/. Diakses pada tanggal 9 April 2020, pukul
01.56 WITA.
[3] https://voi.id/artikel/baca/4332/lapisan-ozon-bumi-yang-kembali-pulih-di-tengah-pandemi-covid-19. Diakses pada tanggal 9 April 2020, pukul
02.06 WITA.
[4] Van der Veen, The Merok Feast of Sa’dan Toradja, (Verhandelingen van het
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde, The Hague: Martinud
Nijhoff, 1965), 88-90.
[5] John Liku Ada’, Aluk Todolo Menantikan Kristus: Ia Datang agar Manusia Mempunyai Hidup
dalam Segala Kelimpahan, (Yogyakarta: Penerbit Gunung Sopai dan Batu
Silambi’ Publising, 2014), 83-84.
[6] https://kompas.id/baca/opini/2020/03/20/jangan-korbankan-kelelawar/. Diakses pada tanggal 9 April 2020, pukul
06.03 WITA.