Rabu, 08 April 2020

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19


DENGARKANLAH JERITANNYA:
Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19

PANDEMIK COVID-19
Sejak World Health Organitation (WHO) menyatakan status darurat global terhadap wabah Covid-19 pada tanggal 30 Januari 2020, perhatian dunia tertuju kepada fenomena tersebut. Wabah Covid-19 muncul dan menewaskan korbannya pertama kali di Wuhan, China. Paranoid yang ditimbulkan oleh wabah ini salah satunya karena penyebaran Covid-19 begitu mudah. Akibat dari mudahnya penyebaran Covid-19 berujung pada pesatnya jumlah korban. Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menyatakan pandemik global terhadap wabah Covid-19 yang akhirnya menambah kepanikan warga dunia. Bahkan, sampai saat ini jumlah negara yang terjangkit Covid-19 sebanyak 212 negara.
Menurut Prof. Dr. Soewarno, drh, M.Si, Covid-19 merupakan jenis penyakit yang bermutasi dari virus corona SARS-Cov-2. Virus SARS juga ditemukan di China dan mewabah pada tahun 2002 sampai 2003. Virus Corona bermutasi dan beradaptasi lagi menjadi virus MERS-Cov yang mewabah di daerah Timur Tengah pada tahun 2012.[1] Berdasarkan hasil riset ini, para pakar virologi menyatakan bahwa virus corona bukanlah virus yang stabil dan merupakan virus yang mematikan.
Selain dari dampak kematian yang ditimbulkan oleh Covid-19, terdapat dampak negatif lain. Salah satu yang paling mendapat atensi adalah dampak terhadap perekonomian sebuah negara yang juga berimbas pada perekonomian individu atau keluarga. Dampak negatif terhadap ekonomi memang mendapat atensi sangat serius. Apabila stabilitas ekonomi sebuah negara tidak dapat dipertahankan maka tentu akan berakibat pada krisis ekonomi yang berujung pada chaos sebuah negara. Namun, tidak dapat disangkal bahwa hampir seluruh aspek kehidupan manusia atau sebuah negara mendapat dampak dari kehadiran Covid-19.
Pandemik Covid-19 tidak hanya melulu mendapat atensi karena dampak negatif yang ditimbulkannya. Di samping dampak negatif yang sangat besar, pandemik Covid-19 pada sisi lain memberi dampak positif dalam aspek sosial, lingkungan alam dan sebagainya. Dalam aspek sosial, sebagai dampak dari adanya pandemik Covid-19, dunia menggalakkan solidaritas global seperti yang telah ditulis oleh Yuval Noah Harari. Negara-negara di dunia, bersatu saling bahu-membahu menemukan solusi untuk menghadapi wabah terbesar yang dialami oleh generasi yang hidup di tahun-tahun ini. Bantuan-bantuan berupa gagasan analisis dan cara memerangi Covid-19 terus digalakkan. Bahkan, bantuan-bantuan berupa tenaga medis dan Alat Pelindung Diri (APD) terus diupayakan. Inilah yang disebut sebagai bentuk solidaritas global yang sebelumnya belum terjadi secara massif di antara negara-negara.
Beberapa cara untuk menekan dan melawan Covid-19 adalah dengan penerapan lockdown dan social distancing. Upaya ini dilakukan agar masyarakat mengisolasi diri di kediaman masing-masing. Dengan berdiam diri di kediaman masing-masing maka rantai penyebaran Covid-19 dapat diputuskan. Kebijakan ini mau tidak mau mengubah budaya kerja dan aktivitas masyarakat. Semua aktivitas baik itu pekerjaan, pendidikan, ibadah dan lain-lain, dilakukan di kediaman masing-masing.
Upaya pemerintah yang dilakukan di masing-masing negara menjadi angin segar dalam kepanikan pandemik Covid-19. Dengan diterapkannya lockdown dan social distancing, jumlah kadar nitrogen dioksida di langit bumi lambat laun menurun karena pembatasan aktivitas udara dan kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil.[2] Selain itu, NASA menyebutkan bahwa lapisan ozon yang merupakan pelindung bumi dari radiasi sinar ultraviolet matahari, semakin tertutup.[3] Bumi seakan beristirahat dari hiruk pikuk aktivitas manusia yang telah merusak keseimbangannya. Tentu fakta ini memberi dampak yang positif bagi bumi dan penghuninya.
Aktivitas manusia di bumi sudah sangat eksploitatif. Realitas ini menimbulkan pertanyaan penting bagi manusia: Seperti apa pandangan manusia terhadap bumi dan ciptaan lain yang hadir di dalamnya? Apakah manusia memandang bumi dan ciptaan lain hanya sebagai objek yang dengan bebas dapat dieksploitasi? Bagaimana manusia harus memandang bumi dan ciptaan lainnya? Bagaiamana manusia harus menempatkan dirinya di antara ciptaan yang lain? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyan diatas, saya akan berangkat dari kearifan lokal Toraja yang menjadi ajaran Aluk Todolo.
SANGSEREKAN: Konsep Ekologi Aluk Todolo
Aluk Todolo merupakan kepercayaan animisme yang dianut oleh masyarakat suku Toraja sebelum agama-agama besar (Kristen dan Islam) masuk ke Toraja. Dalam kepercayaan Aluk Todolo, Puang Matua diyakini sebagai pencipta langit dan bumi. Di dalam sastra religius utama Aluk Todolo, yakni Passomba Tedong, dikisahkan bahwa proses penciptaan dilangsungkan oleh Puang Matua di dunia atas (langit). Bahan yang digunakan untuk menciptakan tumbuhan, hewan, benda mati (besi) dan manusia adalah emas murni yang diambil dari sebelah barat. Emas murni itu dimasukkan ke dalam sauan sibarrung (puputan kembar) sehingga terciptalah tumbuh-tumbuhan, hewan, benda mati (besi) dan manusia.[4] Berdasarkan kisah penciptaan ini, ada makna secara intrinsik dan filosofis yang menegaskan relasi antara manusia dengan ciptaan lain. Relasi makhluk-makhluk ciptaan tersebut disebut sangserekan.
Kata sangserekan berasal dari akar kata serek berarti mencabikkan, merobekkan; diberi awalan sang- = se-(sama); dan diberi akhiran –an yang menjadikan kata kerja menjadi kata benda. Jadi, secara harafiah sangserekan artinya secabikan, serobekan. Maksudnya, para makhluk ciptaan merupakan bagian yang sama dari satu kesatuan utuh (segolongan). Oleh karena itu, merupakan sebuah pemali (larangan atau pantangan) apabila manusia membunuh hewan atau menebang pohon (termasuk memanen hasil tanaman) tanpa meminta izin kepadanya.[5] Berdasarkan makna filosofis dan aturan-aturan di atas, dapat dipahami makna relasi manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan lainnya. Paham antroposentrisme tidak dikenal dalam falsafah religius Aluk Todolo (orang Toraja). Manusia Toraja tidak memandang dirinya sebagai pusat dari seluruh ciptaan atau dengan kalimat lain, manusia bukanlah pusat dari alam semesta. Relasi manusia dengan ciptaan lain bukan sekadar relasi fungsional. Ciptaan lain bukanlah objek bagi manusia. Relasi manusia dengan ciptaan lain bukan relasi subjek dengan objek, tetapi relasi subjek dengan subjek. Relasi manusia dengan makhluk-makhluk merupakan relasi persaudaraan.
PARADIGMA MANUSIA TERHADAP ALAM
Pada zaman pencerahan di Eropa, paham manusia yang sebelumya teosentris/ ekklesiosentris bergeser menjadi antroposentris. Manusia merupakan pusat dari kehidupan. Manusialah yang menjadi tolok ukur segala sesuatu. Pada zaman pencerahan, rasionalitas sangat diagungkan. Segala sesuatu harus dapat dipahami secara rational. Di satu sisi, zaman pencerahan memang berdampak positif dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi, pada sisi yang lain, zaman pencerahan memiliki dampak negatif karena manusia memandang di luar dari dirinya tidak lebih dari sekadar objek. realitas di luar dari manusia seperti makhluk hidup lain, hadir untuk menunjang kehidupan manusia. Oleh karena ciptaan lain hanya dipandang sebagai objek, manusia dengan rasionalitas dan paham antroposentrisnya mengeksploitasi mereka habis-habisan demi pemuasan hasrat dan nafsu manusia. Paradigma ini langgeng bahkan sampai pada zaman postmodern. Namun, dengan tidak menutup mata, memang perlu diakui telah ada suara-suara yang menentang ketamakan dan sikap eksploitatif manusia terhadap alam.
Dampak dari perlakuan eksploitatif dan ketamakan manusia terhadap alam – sadar atau tidak – dirasakan oleh manusia juga seluruh makhluk hidup di bumi. Sikap eksploitatif manusia berakibat pada global warming yang berdampak sangat buruk bagi keseimbangan bumi. Siklus iklim bumi menjadi tidak menentu sehingga menyebabkan terjadinya banjir dan tanah longsor, terjadi penipisan bahkan kebocoran pada lapisan ozon yang menyebabkan suhu bumi meningkat, polusi udara tak terkendali, dan masih banyak dampak-dampak buruk yang disebabkan oleh sikap eksploitatif manusia. Bukankah dampak ini dirasakan juga oleh manusia? Menurut para ahli, Covid-19 merupakan virus yang bermutasi karena banyak faktor, salah satunya global warming.[6] Berdasarkan fakta ini, maka tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa manusia adalah salah satu faktor kehadiran Covid-19. Ketamakan manusia-lah yang membuat keseimbangan alam atau bumi ini rusak, yang menyebabkan kesengsaraan bagi dirinya sendiri.
KESIMPULAN
Oleh karena itu, sudah saatnya manusia (kita) mendengar ‘jeritan’ bumi atau alam. Manusia mesti mengubah pradigma terhadap alam (ciptaan lain). Kearifan lokal Nusantara, seperti Aluk Todolo, tidak kurang memberi manusia Indonesia (bahkan dunia) pemahaman tentang pandangan ideal dalam membangun relasi dengan alam. Paham antroposentris mesti diubah menjadi paham ekosentris. Pendangan manusia yang menganggap kehadiran alam hanya sekadar fungsional mesti beranjak ke relasional. Keangkuhan manusia sebagai subjek dan ciptaan lain menjadi objek mesti diubah. Manusia mesti berbenah dari pandemik Covid-19 untuk memandang alam setara dengan dirinya sebagai subjek. Bahkan relasi manusia mesti diarahkan untuk memandang alam sebagai saudara yang harus saling memerhatikan dan menghargai. Manusia dan alam setara karena keduanya merupakan hasil cipta. Dengan ini, selain solidaritas global, solidaritas ekosistem juga perlu digalakkan dalam menghadapi pandemik Covid-19.
Terlalu naif pula apabila manusia lantas tidak boleh lagi mengelola alam. Tetapi, diksi yang penting untuk ditekankan sebagai tolok ukur pengelolaan alam adalah proporsional. Inilah yang disebut Mahatma Gandi bahwa: “bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk ketamakannya”. Bukankah salah satu cara menyembuhkan orang positif Covid-19 dengan menjaga imunitas tubuh tetap kuat? Salah satu cara menjaga imunitas tubuh tetap kuat adalah apabila bumi dan hasilnya juga sehat. Jadi, manusia menjadi sehat apabila bumi atau alam sehat. Relasi yang harmonis antara manusia dan alam akan menjaga keseimbangan kehidupan tetap baik.


[2] https://jatman.or.id/dampak-positif-pandemi-corona-bagi-planet-bumi/. Diakses pada tanggal 9 April 2020, pukul 01.56 WITA.
[4] Van der Veen, The Merok Feast of Sa’dan Toradja, (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde, The Hague: Martinud Nijhoff, 1965), 88-90.
[5] John Liku Ada’, Aluk Todolo Menantikan Kristus: Ia Datang agar Manusia Mempunyai Hidup dalam Segala Kelimpahan, (Yogyakarta: Penerbit Gunung Sopai dan Batu Silambi’ Publising, 2014), 83-84.
[6] https://kompas.id/baca/opini/2020/03/20/jangan-korbankan-kelelawar/. Diakses pada tanggal 9 April 2020, pukul 06.03 WITA.

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19 PANDEMIK COVID-19 Sejak World Health Or...