Sabtu, 15 Desember 2018

JERMAL: “Gloria Dei Vivens Pauper”



JERMAL:
“Gloria Dei Vivens Pauper”
Oscar Arnulfo Romero
Pendahuluan
            Perang dagang global antara Amerika Serikat dengan Cina  sementara berlangsung dalam beberapa waktu belakang dan sampai sekarang. Perang dagang global ini, memberi dampak buruk bagi sistem perekonomian Negara-negara berkembang. International Monetery Found atau Bank Dunia, sebagai lembaga yang bergelut dalam perekonomian dunia, memberi tanda awas kepada Negara-negara di belahan dunia khususnya Negara-negara berkembang, agar waspada terhadap dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina.[1] Ada banyak Negara yang harus berjuang menyikapi dampak buruk dari perang ekonomi tersebut. Salah satu Negara yang merasakan imbas perang itu adalah Negara Venezuela. Mata uang Venezuela ambruk dan nyaris tak berharga. Pada tahun 2018, harga satu gulung kertas tisu di Venezuela seharga 2,6 juta Boliver. Harga kebutuhan makan juga sangat tinggi, misalnya harga beras untuk 1 kg seharga 2,5 juta Boliver.[2] Akibatnya, masyarakat tentu menjerit dalam kemelaratan untuk berupaya bertahan hidup di tengah-tengah krisis yang mereka alami. Krisis itu memberikan penderitaan yang parah. Sulit membayangkan bagaimana mereka harus berjuang setiap hari untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Sebagai manusia yang memiliki sense of humanity, penderitaan mereka tentu menjadi keprihatinan bagi kita.
            Di tengah-tengah bahaya krisis ekonomi yang disebabkan oleh perang dagang antara Amerika Serikat dengan China, Indonesia masih mampu bertahan dalam situasi tersebut. Bahkan dalam empat tahun kepemimpinan Kabinet Kerja, Indonesia mampu menurunkan angka kemiskinan sebanyak 1, 43 persen. Ini berarti ada pengurangan dari 11,25 persen tahun 2014 menjadi 9,82 persen di tahun 2018. Meski begitu, bukan berarti pemerintah dan rakyat Indonesia puas dan berbangga diri tanpa melakukan upaya-upaya terus menerus. Kemiskinan harus diberantas sampai pada titik seluruh masyarakat Indonesia merasakan kesejahteraan. Itulah cita-cita bangsa Indonesia. Mengapa kemiskinan perlu diberantas? Jawabannya adalah karena kemiskinan dapat berdampak buruk, bukan hanya pada aspek ekonomi, tetapi aspek psikologis yang berdampak pada perilaku yang tak bermoral.
            Tulisan ini bermaksud untuk mengkaji salah satu masalah sosial, yakni kemiskinan yang berdampak pada tindakan-tindakan amoral, seperti kekerasan dan intimidasi. Masalah sosial ini akan dibahas dengan mengangkat pengalaman kehidupan kemanusiaan dalam novel berjudul Jermal. Jermal adalah tempat penangkapan ikan di laut. Dikisahkan bahwa para pekerja di jermal merupakan para pekerja di bawah usia. Masa kanak-kanak mereka yang idealnya diisi dengan kegiatan bermain dan belajar, terpaksa harus keluar dari idealitas tersebut untuk bekerja sebagai buruh, demi untuk mengusahakan perekonomian keluarga. Sebenarnya terdapat persoalan-persoalan lain yang dapat ditemukan dalam novel ini, tetapi saya akan membatasi objek kajian pada persoalan kemiskinan.
Kisah Kehidupan di Jermal
Tulisan ini ingin memberi evaluasi reflekstif teologi social terhadap film novel yang berjudul Jermal. Novel ini merupakan sebuah karya dari Yokie Adityo[3], yang dibuat dalam sebuah film, dirilis pada bulan maret, 2009 dan disutradarai oleh Ravi Bharwani. Novel karya Yokie Adityo ini, memulai kisahnya dengan seorang anak yang bernama Jaya berumur 12 tahun yang belum lama mengalami dukacita karena ibunya meninggal. Jaya adalah salah seorang anak yang kurang beruntung karena ayah dan ibunya tidak lagi hidup bersama. Ketika ayahnya menyangka bahwa istrinya mandul dan tidak bisa memberikan dia anak, ia lantas memilih meninggalkan istrinya dan pergi bekerja di Jermal. Dalam masa-masa itu, ibu Jaya rutin setiap tahun mengirimkan surat kepada Johar, suaminya.
Saat mendekati akhir hayatnya, ia menyempatkan menulis surat kepada suaminya. Saat ibunya meninggal, Jaya dibawa oleh seorang pengantar surat untuk dititipkan kepada Bandi, berusia 45 tahun, yang adalah seorang juru masak di Jermal, milik Johar, ayah Jaya. Setiap minggu Bandi yang tak bisa bicara atau bisu, akan ke darat untuk membeli kebutuhan makanan para pekerja di Jermal, sekaligus membawa anak-anak yang ingin bekerja di Jermal. Saat pengantar surat itu bertemu Bandi, ia lalu menceritakan bahwa ibu Jaya telah meninggal dan ibunya ingin agar Jaya pergi bekerja di Jermal serta dapat bertemu ayahnya. Bandi lalu menerima permintaan dari ibu Jaya yang disampaikan oleh si pengantar surat. Dikisahkan bahwa Jaya tidak tahu apa itu jermal dan bagaimana kehidupan para pekerja di jermal. Jaya adalah seorang anak yang berpendidikan dan pandai mengoperasikan computer. Tujuan satu-satunya Jaya ker Jermal adalah dia harus hidup bersama Johar, karena hanya Johar keluarga satu-satunya yang Jaya miliki.
Jermal merupakan sebuah bangunan kayu di tengah laut yang digunakan untuk menjaring ikan. Jermal bukanlah bangunan yang besar dan yang pasti, Jermal merupakan tempat yang jauh dari kemewahan  dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan darat. Di selat Malaka, terdapat 150 panggung atau jermal. Jermal merupakan tempat anak-anak miskin tak berpendidikan bekerja membanting tulang semi memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga. Anak-anak itu terpaksa bekerja di Jermal karena di darat mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan. Kehidupan di Jermal sangat keras dan bahkan tidak manusiawi. Bagaimana tidak, anak-anak dibawah umur dipekerjakan hampir melampaui batas kemampuan mereka. Upah mereka sebagai seorang buruh kasar sekitar 250.000,00 setiap bulan. Upah itu menjadi harapan bagi mereka agar mampu membiayai biaya pendidikan saudara mereka, agar tidak bernasib sama dengan mereka. Motivasi kerja yang begitu muli meski harus menahan penderitaan yang luar biasa. Banyak bisik-bisik yang menggambarkan buruknya kehidupan di Jermal. Penindasan, penyiksaan, pelecehan seksual, kebakaran, pencurian dan badai merupakan hal-hal buruk yang segera ditemui Jaya di Jermal.
Setelah semalaman mengarungi lautan sejauh kurang lebih 8 km dari lepas pantai Sumatera Utara, Bandi dan Jaya mendekati Jermal milik Johar. Kesibukan kerja di Jermal itu telah dimulai. Pada sebuah dek di tepian jemal terdapat susunan roda-roda yang dipakai untuk menarik jaring-jaring dari bawah jermal. Serankaian jaring akan mengarahkan ikan-ikann menuju jermal. Ikan-ikan itu akan dijebak dalam sebuah jarring besar di bawah jermal. Tiap beberapa jam, para pekerja memutar roda-roda untuk menarik jaring ke atas. Di malam yang sibuk, mereka bisa bangun bekerja memutar roda sampai tujuh kali. Saat mereka sementara sibuk bekerja, dari kejauhan salah seorang dari mereka melihat sebuah kapal yang sebenarnya merupakan kapal yang ditumpangi Bandi dan Jaya. Anak-anak yang bekerja itu, lari bersembunyi dengan kecemasan kalau-kalau relawan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) mendapati mereka bekerja di jermal. Sebagian bersembunyi di ruangan-ruangan yang ada di jermal dan satu diantara mereka yang bernama Ahab, melompat ke laut. Gion yang merupakan pekerja jermal paling senior mengamati kapal yang mendekat dan memberikan isyarat bahwa kapal yang mendekat bukan LSM atau aparat yang melakukan razia, melainkan kapal Bandi yang membawa seorang anak, yakni Jaya.
Memang, LSM secara teratur akan mengunjungi dan merazia dari jermal ke jermal. Hal itu dilakukan dalam rangka kepedulian dan penegakan hokum yang termuat dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlingungan Anak, yang melarang adanya pekerja di bawah umur. Aparat kepolisian dan juga Angkatan Laut memberi dukungan kepada LSM untuk memotong jalur mempekerjakan anak di bawah umur utamanya di Jermal. Anak-anak yang kedapatan bekerja akan di bawah pulang kepada orang tua atau keluarganya. Selain itu, ada pula langkah lain, yaitu dengan memanggil orang tua atau keluarga untuk menjemput anak di bawah umur yang bekerja.
Saat kapal yang ditumpangi Bandi dan Jaya sandar di Jermal, mereka berdua beserta barang-barang hasil belanjaan dinaikkan ke atas. Bandi kemudian memberikan surat kepada Johar yang adalah surat titipan dari istrinya. Johar disusul oleh Bandi masuk ke gubuk pribadi milik Johar. Bandi dalam bahasa isyarat dan sesekali menulis di secarik kertas jika Johar tidak mampu menafsirkan bahasa isyaratnya, memaksa Johar untuk tidak memperlakukan hal yang sama dengan surat-surat lainnya. Bandi memaksa Johar untuk membaca isi surat itu. Bandi memberi tahu dan berusaha meyakinkan Johar untuk menerima kenyataan bahwa Jaya adalah anak kandungnya, tetapi Johar tetap bersikeras bahwa ia tidak memiliki anak dan menolak Jaya sebagai anaknya. Johar bahkan menyuruh Bandi untuk membawa pulang Jaya. Johar tidak ingin bertemu dengan Jaya. Jaya menyaksikan peristiwa itu dengan intipan dari balik pintu gubuk Johar. Pada saat inilah kisah hidup buruk Jaya di jermal dimulai. Sembari menyaksikan peristiwa itu, Gion dan Dadang yang sementara bekerja mengangkat keranjang berisi ikan, melihat Jaya. Sebagai anak baru, Gion mengerjai Jaya. Tidak lama setelah itu, Bandi keluar dari gubuk, Gion dan Dadang kembali melanjutkan perkerjaannya, dan Jaya masuk ke dalam gubuk menjumpai orang yang baru dilihanya yang adalah ayahnya, dengan hati-hati. Jaya ingin membangun komunikasi dengan Johar, tapi Johar mengusir Jaya dari gubuknya. Jaya yang merasa ketakutan, keluar dari gubuk itu.
Di luar gubuk, Gion, Dadang, Topan dan satu anak lainnya, menemui Jaya dan melakukan intimidasi. Jaya lalu dibawa ke dalam sebuah ruangan serbaguna, tempat para pekerja tidur dan juga tempat Bandi meracik makanan. Barang bawaan Jaya dijarah dan diambil oleh anak-anak pekerja jermal. Jaya berusaha mengambil barang-barang pribadinya tapi tubuhnya yang mungil tidak bisa mengalahkan kekuatan para pekerja jermal. Kotak mungil hasil kerajinan tangan dari batang es krim yang berisikan jangkrik kesayangannya direbut oleh Dadang dan di oporkan kepada Gion. Jaya berusaha merebut kotak itu. Buku pribadi Jaya yang juga digenggam oleh Gion terjatuh, dan menyebabkan Gion menjadi geram, menantang Jaya dan menampar muka Jaya. Gion memerintahkan Dadang untuk berkelahi dengan Jaya. Jaya kemudian dipukul hingga terjatuh. Johar yang melihat peristiwa itu, tidak melakukan apa-apa. Bandi kemudian masuk membawa ember dan menyudahi pemukulan yang dilakukan kepada Jaya.
Semua anak pekerja jermal sontak mengambil wadah botol air minum kemasan dan entre untuk menerima air minum. Jaya ikut antre di barisan paling belakang tanpa botol minum. Saat gilirannya tiba, Bandi memberi Jaya sebuah botol dan mengisi air minum di dalamnya. Jaya lantas meminum air itu tapi dimuntahkan kembali karena komentar Topan. Jaya mengira itu air mentah. Gion dan anak lainnya, medekati Jaya. Jaya ketakutan dan terjatuh sehingga  botol yang digenggamnya juga jatuh dan menumpahkan seluruh isi botol tersebut. Gion mengulurkan tangan kepadanya tanda Jaya telah diterima dikomunitas kecil itu. Gion beserta anak lainnya, memberi tugas awal seperti dalam tradisi mereka bagi anak baru, yaitu mengawasi kapal yang mendekat ke jermal, tempat mereka bekerja, sambil mengangkat sebuah bendera. Jaya sigap melakukan tugasnya sampai saat magrib. Bandi yang keluar setelah magrib, menghentikan tugas Jaya, yang telah seharian mengangkat bendera dan membuat otot tangannya pegal.  Jaya kemudian masuk ke dalam ruang serbaguna untuk sekadar membaringkan tubuhnya yang kelelahan. Namun, kembali lagi kemalangan menimpa dirinya. Seluruh tempat dalam ruang itu, telah penuh sehingga Jaya harus mencari tempat tidur di luar ruangan. Malam itu, Jaya termenung dan menangisi kejadian-kejadian yang menimpa dirinya. Sangat memilukan tentunya. Hari-harinya terus diisi dengan intimidasi dan perlakuan kasar para pekerja jermal dan juga Johar, ayahnya. Perlakuan-perlakuan buruk itu, tentu mengganggu psikologinya. Dalam suatu peristia, Jaya melihat anak-anak para pekerja jermal itu tidak dapat berhitung. Jaya bingung dengan realitas itu. Andai ia lebih dewasa, ia tidak akan bingung dengan realitas itu. Dengan tepat ia akan menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia belum mampu menjangkau kaum miskin. Dalam hari-hari selanjutnya, Jaya memaksa diri untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bahkan lebih banyak dari anak-anak lainnya. Satu kejadian lagi yang dialami oleh Jaya, yang memilukan hatinya, yakni pelecehan seksual saat tubuhnya ditelanjangi dan saat Gion yang merupakan anak terkuat, mendengar musik dangdut dan menyuruh Jaya untuk ikut menari, kemudian Gion menempelkan bagian vitalnya ke pantat Jaya. Sempat jaya habis kesabaran dan mencoba melarikan diri, namun apa daya, ia tidak mampu beranjak jauh dari jermal.
Suatu ketika, saat Jaya bekerja, ia tenggelam dan Johar tidak mau menoongnya, malah melarang Topan untuk menolong Jaya. Bandi yang menyaksikan kejadian itu, terlampau emosi dan mengambil kotak berisikan surat-surat kiriman istri Johar, selanjutnya ia membuangnya ke laut. Ternyata surat-surat itu sangat berharga bagi Johar sehingga ia terjun ke laut mengambil kotak itu. Ia kemudian mengeringkan surat-surat dan foto-foto yang basah terkena air laut. Saat Johar mengeringkan surat-surat dan foto-foto tersebut, ia menemukan sebuah gambar yang menunjukkan bahwa Jaya menganggap Johar seorang pengkhianat. Johar lalu memukuli Jaya sampai mengeluarkan luka di bagian pipi. Seiring berjalannya waktu, Jaya disenangi oleh anak-anak yang lain karena Jaya selalu menulis surat-surat mereka dan juga membuat anak-anak yang lain tidak lagi bergantung kepada Gion untuk mendapatkan air tawar saat hujan.
Dalam waktu selanjutnya, Johar mulai membuka diri kepada Jaya. Ia mulai membuka percakapan-percakapan dengan Jaya. Namun, sikap Jaya tak sama lagi. Karakter, emosi dan juga kekuatannya berubah. Ia tidak lagi peduli dengan Johar. Sempat ketika Gion membunuh jangkrik kesayangannya, Jaya sangat marah dan memukuli Gion dengan kayu dan dengan tangannya sampai Gion terluka. Johar yang meilihat peristiwa itu, menarik Jaya ke gubuknya. Johar mulai menunjukkan cintanya sebagai seorang ayah kepada anaknya. Ia terus berusaha melunakkan kembali hati Jaya agar mau memaafkan dirinya. Johar mulai menceritakan kisah masa lalu yang membuat dirinya memilih mencari ketenangan di jermal dan tidak pernah kembali. Ia menceritakan bahwa benar ia membunuh laki-laki yang selingkuh bersama istrinya saat ia keluar kota untuk mengajar. Pengkhianatan itu memukul dirinya sehingga tidak mampu mengontrol emosi dan melakukan pembunuhan. Selain untuk burusaha melupakan rasa sakit hatinya, alasan lain ia memilih bekerja di jermal untuk sembunyi dari kejaran polisi. Meski sudah jujur terhadap kisah itu, Jaya masih belum percaya, sampai Johar menunjukkan surat ibunya yang akhirnya membuat Jaya percaya semua kisah itu. Setelah itu, Jaya akhirnya dapat menerima kembali Johar dan mereka mulai membuka kisah-kisah masa lalu mereka seperti layaknya anak dan ayah yang saling bercerita. Akhirnya mereka berdua meninggalkan jermal dengan ketidakpastian nasib Johar, apakah ia akan ditangkap polisi karena kasus pembunuhan ataukah tidak. Yang pasti mereka sadar bahwa jermal bukan tempat sesungguhnya bagi mereka. Saat berada di perahu dalam perjalanan pulang, satu pertanyaan terakhir Johar kepada anaknya, Jaya.
“Waktu kau datang dulu, kau bilang ibumu bilang sesuatu sebelum dia meninggal. Apa katanya?”
“Ibu bilang: cari bapakmu. Dia orang baik.” Jawab Jaya sambil menatap hangat ayahnya.
Pada akhirnya, seorang laki-laki dan seorang bocah berangkat menuju daratan bukan sebagai orang asing, melainkan sebagai ayah dan anak.

Analisis Sosial terhadap Peristiwa Kemanusiaan di Tengah Laut
            Tema yang kuat gaungnya dalam novel Jermal adalah kemiskinan. Meski perlu disadari bahwa kemiskinan sangat jarang disebut dalam novel ini, tetapi jika di analisa lebih jauh, menurut saya, kemiskinan menjadi radix (akar) dari hampir seluruh tindakan amoral yang terjadi di dalam novel Jermal. Alasan paling utama para pekerja di bawah umur memilih bekerja di jermal adalah karena harus mengusahakan perekonomian keluarga. Pendidikan yang tidak memadai seakan menutup jalan untuk berusaha mencari pekerjaan di tempat lain. Menjadi pertanyaan, mengapa para anak yang bekerja di Jermal tidak mengenyam pendidikan? Jawabannya, ada pada novel ini bahwa mereka tidak memiliki biaya yang cukup (miskin) untuk membayar biaya pendidikan. Kemiskinan dan pendidikan yang tak memadai sudah tentu saling kait-mengait. Orang miskin tidak bisa membayar biaya pendidikan, dan orang yang tak berpendidikan akan sangat sulit mendapat pekerjaan yang mapan. Kemiskinan dan pendidikan yang tak memadai bagaikan berada pada sebuah roda yang terus berputar. Para pekerja di bawah usia, berusaha keluar dari roda itu agar saudara-saudara mereka tidak terjabak pada putaran roda yang sama. Dalam usaha ini, motivasi mereka perlu diapresiasi.  Dalam usaha ini, dapat ditemukan sebuah makna eksplisit teks bahwa mereka telah memahmi bahwa kehadiran bukan hanya untuk diri mereka sendiri tetapi untuk sang liyan. Dalam usaha ini, kita menemukan konsep Levinas bahwa “pada sang liyan aku melihat Tuhan.”[4]
            Tokoh Jaya mungkin tidak dilatarbelakangi oleh faktor kemiskinan sebagai alasan dia ke jermal. Namun, tindakan-tindakan dari Gion dan kawan-kawannya terhadap Jaya menjadi gambaran bahwa ketimpangan ekonomi dapat mengubah karakter seseorang melakukan tindak kekerasan. Hal ini senada dinyatakan oleh Tito Karnavian bahwa faktor ekonomi, seperti kemiskinan, menjadikan seseorang mengalami krisis identitas sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan kekerasan.[5] Lebih jauh krisis identitas ini dapat berdampak lebih buruk jika dibarengi dengan indoktrinasi yang dapat membuat seseorang memiliki paham radikalisme terhadap suatu ideologi. Krisis identitas ini juga jika dianalisa, dialami oleh Johar. Saat pertama kali melihat Jaya, ia seakan kembali ke masa 12 tahun yang lalu. Jati dirinya tak menentu sehingga memperburuk psikologinya dalam menyikapi perjumpaannya dengan Jaya. Sikap-sikap Johar yang lebih banyak diam merupakan sebuah bahasa simbol. Tapi sebenarnya, simbol bukan hanya bahasa tubuh tanpa kata, tetapi kata juga merupakan simbol itu sendiri. Menurut Paul Ricoeur, jika simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi penting, sebab di sini terdapat makna multi lapisan. simbol-simbol akan menimbulkan pluralitas makna. Bilamana terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan.[6] Berkaitan dengan itu, perlu untuk melakukan interpretasi terhadap sikap-sikap Johar. Dalam bagian-bagian terakhir novel Jermal, Johar mengatakan sebuah kejujuran bahwa sikapnya yang keras terhadap Jaya merupakan ekspresi dari ketidakmampuannya untuk memaafkan masa lalunya. Masa lalu yang berusaha dilupakan, muncul kembali saat melihat Jaya. Realita ini dapat dibenarkan dengan bukti bahwa nanti ketika Johar mau menerima masa lalunya, barulah ia dapat berdamai dengan Jaya.
            Realitas manusia sebagai homo oeconomicus[7] tidak dapat dielakkan lagi. Konsep ini diperkenalkan oleh Adam Smith. Manusia sebagai makhluk ekonomi menganggap bahwa perekonomian menjadi sesuatu yang penting, dan itu wajar saja, seperti halnya para anak-anak yang bekerja di jermal. Mereka merasa bahwa ekonomi itu sangat penting diusahakan agar dapat hidup sejahtera. Namun, menarik untuk melihat tokoh-tokoh yang sebenarnya tidak dinampakkan atau tidak diperankan dalam novel ini. Mereka adalah kaum pemilik modal yang juga pemilik jermal. Dikisahkan bahwa pemilik jermal sengaja mencari anak-anak yang tak berpendidikan dan miskin untuk dijadikan pekerja di jermal milik mereka. Alasan di balik itu adalah karena anak-anak dianggap belum mampu melawan sistem ekonomi menyengsarakan yang diberlakukan oleh pemilik jermal. Mereka menganggap anak-anak itu tidak akan menjadi kendala dalam proses pengejaran kepentingan pribadi (vested interest). Dalam sikap ini, kritik Marx terhadap sikap para kaum kapitalis terhadap kaum proletar masih relevan, meskipun teori-teori Marx dikritik habi-habisan oleh Habermas dan dinilai tidak relevan dalam konteks sekarang. Telah menjadi pengetahuan yang lazim bahwa kritik Marx terhadap kenyataan ekonomi dalam konteks masyarakat saat itu, dikuasai oleh para kaum Borjuis dan menyengsarakan para kaum proletar. Seruan kritik Marx bertujuan agar alat-alat produksi tidak hanya dikuasai oleh kaum borjuis karena jika demikian, para kaum proletar akan dieksploitasi dan menjadi objek bagi para kaum pemilik modal. Dalam perkembangannya, seperti yang telah saya bahas di atas bahwa Habermas mengkritik ide dari Marx karena menurutnya deprivasi yang dalam masyarakat kapitalis liberal dirasakan oleh kaum buruh, dewasa ini tidak hanya dirasakan oleh kelas tertentu saja.[8] Kita dapat memahami jika Habermas melontarkan kritik itu dalam perspektif Negara maju. Namun, dalam kontes Negara berkembang seperti Indonesia, kritik Marx terhadap ketimpangan ekonomi masih sangat relevan, seperti dalam novel ini. Tindakan eksploitatif yang menyengsarakan perlu untuk dikritisi.
Menurut Adam Smith, ada empat faktor pendorong yang menyebabkan penyempitan paham manusia sebagai makhluk homo oeconomicus yang memberi persepsi buruk bagi konsep ini, yakni: pertama, kepentingan pribadi (self-interest). Kedua, keterpusatan pada diri (self-centredness), gagasan tentang kodrat manusia ini lalu memperanakkan cara piker yang dikenal dengan istilah “individualism metodologis”. Ketiga, perangkat khusus yang dipakai untuk mewujudkan “kepentingan diri” dan “preferensi” adalah “kalkulasi rasional”. Istilah rasional dipahami secara khusus, yaitu usaha sistematis menimbang prospek keuntungan, kerugian dan pemuasan preferensi. Keempat, untuk menemukan keterukuran (measurability), konsep “kepentingan diri” dan “efisiensi” lalu direduksi lebih lanjut ke dalam ciri material objek preferensi. Dari situ muncul konsep “utilitas”.[9]
Kemiskinan membuat para pekerja di bawah usia itu tak punya pilihan lain. Mereka membiarkan diri mereka dieksploitasi. Mereka mekasakan diri untuk dapat terbiasa dengan kerasnya hidup di jermal. Kerasnya kehidupan itu, membuat karakter dan psikologi mereka menjadi buruk. Sebut saja perlakuan-perlankuan intimidasi yang dilakukan oleh Gion dan kawan-kawan kepada Jaya. Selain iu, pelecehan seksual yang dirasakan oleh Jaya saat ia ditelanjangi dan saat Gion menempelkan kelaminnya ke pantat Jaya. Moral yang bobrok itu adalah akibat lingkungan hidup di jermal yang keras. Pernyataan ini dapat dibuktikan dari diri Jya. Saat ia baru pertama tiba di jermal, ia adalah anak yang polos, lemah dan penakut. Namun, karena pengaruh lingkungan, ia berubah menjadi anak yang emosional dan agresif sampai melakukan pemukulan dan mengancam membunuh Johar, ayahnya.
Kemiskinan menyebabkan anak-anak tak dapat mengenyam pendidikan, melakukan tindak kekerasan dan juga perbuatan-perbuatan amoral, seperti pelecehan seksual, penjarahan dan intimidasi. Selain itu, kemiskinan dapat menyebabkan orang mengalami krisis identitas yang dapat menjerumuskan dirinya pada kesesatan-kesesatan ideologi yang berujung pada tindakan-tindakan kekerasan. Ketakberdayaan mereka yang miskin, menjadi wadah para pemilik modal untuk mengeksploitasi mereka yang miskin untuk memenuhi nafsu ego atau kepentingn diri sendiri tanpa memikirkan kesejahteraan dan keadaan hidup orang lain. 

Yesus Pemerhati Kaum Miskin
            Jika kita berbicara tentang konteks berteologi di Asia, maka kita akan berjumpa dengan karakteristik Asia. Salah satu karakteristik Asia adalah “realitas kemiskinan yang parah.” Namun, pernyataan ini bukan berarti bahwa seluruh Negara-negara di Asia adalah Negara yang miskin. Sebut saja Jepang dan Singapura menjadi dua dari beberapa Negara maju yang ada di Asia. Fakta ini justru memberikan kita penegasan bahwa pemberantasan kemiskinan di Asia bukanlah sesuatu yang mustahil.[10]
Ada begitu banyak teologi yang lahir sebagai keresahan atas masalah sosial-ekonomi yang menindas atau mendiskriminasi. Contoh teologi yang lahir dari latar belakang tersebut, seperti Teologi Minjung di Korea (1970-an), yang bertujuan untuk mencapai hak asasi manusia, demokrasi dan keadilan sosial dan ekonomi. Teologi Minjung mengasimilasi ide Marxisme. Contoh lain adalah Teologi Dalit di India yang bertujuan untuk mengkritik penindasan yang dirasakan oleh orang-orang kaum dalit (orang-orang yang tidak tersentuh dan kelas sosial terendah dalam sistem kasta di India). Jika kita berbicara tentang teologi yang lahir sebagai bentuk kegelisahan dari ketimpangan ekonomi, maka Teologi Pembebasan akan menjadi rujukan umum.[11]
Teologi Pembebasan lahir di daerah Amerika Latin yang dilatarbelakangi oleh situasi saat itu di mana terjadi pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Para kaum tak bermodal atau para petani miskin[12], menjadi sasaran penindasan. Gereja pada saat itu bergabung dengan golongan kaya dan militer.[13] Beberapa teolog prihatin dan mengusahakan sebuah teologi yang dapat membebaskan kaum golongan terendah dari keterpurukan sosial namun usaha itu selalu gagal. Nanti pada tahun 1973, Gustavo Gutieres menerbitkan sebuah buku yang berjudul “A Theology of Liberation” yang menjadi langkah awal dan pencetusan Teologi Pembebasan. Karl Marx turut memberi inspirasi dalam usaha teologi pembebasan. Namun, tentu yang dimaksud di sini ada inspirasi yang dibarengi dengan pemikiran kritis. Teologi Pembebasan ditentukan oleh pesan Injil Yesus Kristus sendiri. Keunggulan teologi pembebasan terletak dalam kepedulian dan orientasinya untuk mewujudkan kehidupan berdasarkan pesan Injil Yesus Kristus, yaitu penegakan Kerajaan Allah.[14] Sejarah lahirnya Teologi Pembebasan memiliki kesamaan dengan realitas hidup yang menyapa kehidupan anak-anak, pekerja di jermal. Para tokek (begitu sebutan dalam novel Jermal), menjadikan mereka sebagai objek sehingga terus-menerus dieksploitasi untuk mencapai kepentingan dan kepuasan diri.
            Berdasarkan realitas-realitas di atas, saya tertarik untuk melirik sikap Yesus dalam menghadapi realitas seperti ini. Konteks hidup Yesus memiliki kesamaan dalam konteks hidup kita saat ini. Kesamaan yang saya maksudkan adalah adanya jurang antara yang kaya dan yang miskin. Ada  ketidakmerataan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam Lukas 16:19-21, Yesus memberikan perumpamaan tentang “orang kaya dan Lazarus yang miskin”. Sikap Yesus sangat jelas menunjukkan keberpihakan-Nya pada Lazarus yang adalah orang miskin. Dalam Lukas 6:20, Yesus juga memberikan perhatian bahwan menyatakan keberpihakan-Nya kepada orang miskin. Ia mengatakan bahwa “Berbahagialah kalian orang-orang yang miskin, karena kalian adalah anggota umat Allah!” Dalam kisah yang lain, Yesus menegaskan kepada murid-murid-Nya untuk memerdulikan orang miskin, seperti dalam Lukas 14:12-14, Yesus berpesan agar ketika murid-murid-Nya mengadakan sebuah pesta, mereka harusnya mengundang mereka yang kurang diperhatikan, salah satunya orang yang miskin.[15] Yesus mengajarkan mereka sebuah model mengasihi tanpa mengharapkan imbalan atau balasan. Mungkin konsep inilah yang menginspirasi Eckhart terkait konsep cinta dengan alasan cinta bukan mengharapkan balasan cinta yang sama. Perlu dipahami di sini bahwa Yesus sama sekali tidak membenci orang-orang kaya. Beberapa pengikut Yesus tetap kaya, bahkan mereka justru membantu pelayanan Yesus dengan sumbangan-sumbangan. Bagi Yesus Allah harus dinomor-satukan. Mereka boleh memiliki uang, tetapi tidak boleh menyembahnya.[16] Mereka boleh kaya, tetapi tidak dengan usaha-usaha yang menentang konsep Kerajaan Allah, yakni kerajaan keadilan dan perdamaian, kebenaran dan kemerdekaan, dengan mendahulukan kaum miskin dan tertindas.[17]
Lantas apa yang perlu diperhatikan dari sikap Yesus dalam kaitannya dengan kisah novel dalam Jermal? Bahwa sebagai makhluk yang bersolidaritas, manusia harusnya memberi kepedulian terhadap situasi dan orang-orang yang berada dalam kemiskinan, bahkan dengan aksi-aksi yang nyata. Sikap Bandi dalam kisaha novel Jermal, mencerminkan bahwa ia memiliki rasa kemanusiaan untuk bersolidaritas dengan yang lain, yaitu Jaya. Bandi bahkan tidak membiarkan penindasan dan intimidasi yang dilakukan oleh Gion dan kawan-kawannya kepada Jaya. Bandi akan selalu menyerukan pembebasan di balik kebisuannya. Dalam kebisuannya ia menyuarakan pembebasan melalui aksi nyata. Jika kita memerhatikan teladan Yesus, justru golongan-golongan inilah yang harus menjadi keprihatinan utama dalam relasi dengan ‘yang lain’ (the other). Konsep ajaran dalam Islam juga turut mendukung pernyataan ini, bahwa “di balik berkah yang kita miliki, ada hak orang di dalamnya.”[18] Pernyataan itu menegaskan bahwa nilai kehadiran manusia di dunia ini, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk “sesamaku yang adalah pribadiku yang lain.”[19]
Gereja yang merupakan institusi mitra Allah atau dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan Allah di dunia ini untuk menegakkan kerajaan-Nya, harusnya konsisten dalam penentuan sikapnya, untuk menyikapi kemiskinan. Justru, keberpihakan kepada mereka yang termarjinalkan dalam hal ini, kaum miskin menjadi misi gereja. Menurut David Bosch, situasi dunia historis sebagai panggung aktivitas Allah, harus diikutsertakan sebagai suatu unsur pembentuk ke dalam pemahaman gereja tentang misi. Dalam melakukan misi-Nya di dunia ini, Yesus tidak membubung tinggi ke langit melainkan menenggelamkan diri-Nya ke dalam keadaan-keadaan yang sama sekali riil dari orang-orang miskin, tertawan, buta, tertindas dan termarjinalkan. Sama seperti Yesus, gereja (kita) dalam misinya harus berani memihak demi kehidupan dan menentang maut, demi keadilan dan menentang penindasan. Jangan hanya melihat Yesus sebatas penyelamat dari dosa melainkan juga lihat bahwa Ia pun berkarya menjadi penyelamat dalam aspek sosial kemasyarakatan.[20] Hal ini jugalah yang menjadi nafas Teologi Pembebasa Gustavo Gutierrez. Gereja harus membebaskan ‘anak-anak pekerja di jermal’ dari kemiskinan dan ketertindasan kaum bermodal, agar mereka tidak melakukan tindakan-tindakan amoral sebagai akibat dari kemiskinan yang mereka alami. “Kemanusiaan tidak akan dipulihkan secara penuh kalau penindasan terhadap kaum miskin tidak diatasi (Gloria Dei vivens pauper).”[21]


Daftar Pustaka
Aritonang Jan S. (ed). Teologi-teologi Kontemporer. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2018.
Bosch. Transformasi Misi Kristen. hlm. 652.
Chen Pr Martin. Teologi Gustavo Gutierrez: Refleksi dari Praksis Kaum Miskin. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
France  R.T. Yesus Sang Radikal: Potret Manusia yang Tersalibkan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Hardiman F. Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Hesselgrave David J. dan Edward Rommen. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Ja Denny, dkk. Rumah Bersama Kita Bernama Indonesia: Dari Terorisme Menuju Toleransi dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: Cerah Budaya Indonesia, 2018.
Simon John C. Merayakan ‘Sang Liyan’: Pemikiran-pemikiran Seputar Teologi, Ekklesiologi dan Misiologi Konetkstual. Yogyakarta: Kanisius, 2017- cet. 4.
Sumaryono E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Wibowo I. dan B. Herry Priyono (ed). Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Referensi Internet


[2] https://www.bbc.com/indonesia/dunia-45255401. Diakses pada tanggal 14 Desember 2018, pukul 14.40 WITA.
[3] Lahir di Jakarta, 1 Mei 1983. Lulusan Fakultas Hukum UI 2006 ini telah menulis beberapa novel: Detective Diary, Cinta Versi Cinjun, Happy Porter: Penyusup di Sekolah Sihir Homework dan Voli Gam(i)e. Kutipan ini dikutip dari Novel Jermal tanpa halaman, setelah kisah novel Jermal selesai.
[4] John C. Simon, Merayakan ‘Sang Liyan’: Pemikiran-pemikiran Seputar Teologi, Ekklesiologi dan Misiologi Konetkstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2017- cet. 4), 218.
[5] Denny Ja, dkk, Rumah Bersama Kita Bernama Indonesia: Dari Terorisme Menuju Toleransi dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Cerah Budaya Indonesia, 2018), 33.
[6] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 105.
[7] Menurut Adam Smith dalam tulisan B. Herry-Priyono, konsep homo oeconomicus berawal tidak lebih pada sekadar sayarat cara berpikir dan bukan realitas kodrati manusia. Konsep ini berkembang menjadi seperti hakikat manusia akibat dari pengejaran kepentingan pribadi. Dikutip dari buku Sesudah Filsafat, 117, yang berupa kumpulan tulisan, di mana I. Wibowo dan B. Henry Priyono menjadi editor.
[8] F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 89-90.
[9] B. Herry  Priyono, “Homo oeconomicus: Dari Pengandaian ke Kenyataan”, dalam I. Wibowo dan B. Herry Priyono (editor), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 121-123.
[10] Alpius Pasulu “Teologi Asia”, dalam Jan S. Aritonang (penyunting), Teologi-teologi Kontemporer, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 411-412.
[11] Alpius Pasulu “Teologi Asia”, dalam Jan S. Aritonang (penyunting), Teologi-teologi Kontemporer, 412.
[12] Dalam buku David J. Hesselgrave dan Edward Rommen yang berjudul “Kontekstualisasi” dalam halaman 111, dikatakan bahwa ada empat golongan dalam masyarakat pada saat itu. Golongan yang paling rendah adalah para petani miskin yang dalam bahasa aslinya disebut Campesinos.
[13] David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 111.
[14] Martin Chen Pr, Teologi Gustavo Gutierrez: Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, (Yogyakarta: Kanisius, 2006-cet. 5), 9.
[15] R.T. France, Yesus Sang Radikal: Potret Manusia yang Tersalibkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 84.
[16] R.T. France, Yesus Sang Radikal: Potret Manusia yang Tersalibkan, 83.
[17] Martin Chen Pr, Teologi Gustavo Gutierrez: Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, 9.
[18] Hasil Diskusi dengan Pdt. Dr. Diks S. Pasande.
[19] http://gubukinspirasiii.blogspot.com/2013/12/yang-semakin-hilang-diantara-kita.html. Diakses pada tanggal 14 Desember 2018, pukul 19.00. Konsep ini merupakan konsep dari Ishak Ngeljaratan yang selalu digaungkan baik dalam diskusi kelas maupun dalam seminar-seminar sebagai penghayatan akan kehadiran orang lain.
[20] Bosch. Transformasi Misi Kristen. hlm. 652.
[21] Martin Chen Pr, Teologi Gustavo Gutierrez: Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19 PANDEMIK COVID-19 Sejak World Health Or...