JERMAL:
“Gloria Dei
Vivens Pauper”
Oscar Arnulfo
Romero
Pendahuluan
Perang
dagang global antara Amerika Serikat dengan Cina sementara berlangsung dalam beberapa waktu
belakang dan sampai sekarang. Perang dagang global ini, memberi dampak buruk
bagi sistem perekonomian Negara-negara berkembang. International Monetery Found
atau Bank Dunia, sebagai lembaga yang bergelut dalam perekonomian dunia,
memberi tanda awas kepada Negara-negara di belahan dunia khususnya
Negara-negara berkembang, agar waspada terhadap dampak dari perang dagang
antara Amerika Serikat dengan Cina.[1] Ada
banyak Negara yang harus berjuang menyikapi dampak buruk dari perang ekonomi
tersebut. Salah satu Negara yang merasakan imbas perang itu adalah Negara
Venezuela. Mata uang Venezuela ambruk dan nyaris tak berharga. Pada tahun 2018,
harga satu gulung kertas tisu di Venezuela seharga 2,6 juta Boliver. Harga
kebutuhan makan juga sangat tinggi, misalnya harga beras untuk 1 kg seharga 2,5
juta Boliver.[2] Akibatnya, masyarakat
tentu menjerit dalam kemelaratan untuk berupaya bertahan hidup di tengah-tengah
krisis yang mereka alami. Krisis itu memberikan penderitaan yang parah. Sulit
membayangkan bagaimana mereka harus berjuang setiap hari untuk memenuhi
kebutuhan makan dan minum. Sebagai manusia yang memiliki sense of humanity, penderitaan mereka tentu menjadi keprihatinan
bagi kita.
Di
tengah-tengah bahaya krisis ekonomi yang disebabkan oleh perang dagang antara
Amerika Serikat dengan China, Indonesia masih mampu bertahan dalam situasi
tersebut. Bahkan dalam empat tahun kepemimpinan Kabinet Kerja, Indonesia mampu
menurunkan angka kemiskinan sebanyak 1, 43 persen. Ini berarti ada pengurangan dari
11,25 persen tahun 2014 menjadi 9,82 persen di tahun 2018. Meski begitu, bukan
berarti pemerintah dan rakyat Indonesia puas dan berbangga diri tanpa melakukan
upaya-upaya terus menerus. Kemiskinan harus diberantas sampai pada titik
seluruh masyarakat Indonesia merasakan kesejahteraan. Itulah cita-cita bangsa
Indonesia. Mengapa kemiskinan perlu diberantas? Jawabannya adalah karena
kemiskinan dapat berdampak buruk, bukan hanya pada aspek ekonomi, tetapi aspek
psikologis yang berdampak pada perilaku yang tak bermoral.
Tulisan
ini bermaksud untuk mengkaji salah satu masalah sosial, yakni kemiskinan yang
berdampak pada tindakan-tindakan amoral, seperti kekerasan dan intimidasi.
Masalah sosial ini akan dibahas dengan mengangkat pengalaman kehidupan
kemanusiaan dalam novel berjudul Jermal.
Jermal adalah tempat penangkapan ikan di laut. Dikisahkan bahwa para pekerja di
jermal merupakan para pekerja di bawah usia. Masa kanak-kanak mereka yang
idealnya diisi dengan kegiatan bermain dan belajar, terpaksa harus keluar dari
idealitas tersebut untuk bekerja sebagai buruh, demi untuk mengusahakan
perekonomian keluarga. Sebenarnya terdapat persoalan-persoalan lain yang dapat
ditemukan dalam novel ini, tetapi saya akan membatasi objek kajian pada
persoalan kemiskinan.
Kisah Kehidupan
di Jermal
Tulisan ini ingin memberi evaluasi reflekstif
teologi social terhadap film novel yang berjudul Jermal. Novel ini merupakan sebuah karya dari Yokie Adityo[3],
yang dibuat dalam sebuah film, dirilis pada bulan maret, 2009 dan disutradarai
oleh Ravi Bharwani. Novel karya Yokie Adityo ini, memulai kisahnya dengan seorang
anak yang bernama Jaya berumur 12 tahun yang belum lama mengalami dukacita
karena ibunya meninggal. Jaya adalah salah seorang anak yang kurang beruntung
karena ayah dan ibunya tidak lagi hidup bersama. Ketika ayahnya menyangka bahwa
istrinya mandul dan tidak bisa memberikan dia anak, ia lantas memilih
meninggalkan istrinya dan pergi bekerja di Jermal. Dalam masa-masa itu, ibu
Jaya rutin setiap tahun mengirimkan surat kepada Johar, suaminya.
Saat mendekati akhir hayatnya, ia menyempatkan
menulis surat kepada suaminya. Saat ibunya meninggal, Jaya dibawa oleh seorang
pengantar surat untuk dititipkan kepada Bandi, berusia 45 tahun, yang adalah
seorang juru masak di Jermal, milik Johar, ayah Jaya. Setiap minggu Bandi yang
tak bisa bicara atau bisu, akan ke darat untuk membeli kebutuhan makanan para
pekerja di Jermal, sekaligus membawa anak-anak yang ingin bekerja di Jermal. Saat
pengantar surat itu bertemu Bandi, ia lalu menceritakan bahwa ibu Jaya telah
meninggal dan ibunya ingin agar Jaya pergi bekerja di Jermal serta dapat
bertemu ayahnya. Bandi lalu menerima permintaan dari ibu Jaya yang disampaikan
oleh si pengantar surat. Dikisahkan bahwa Jaya tidak tahu apa itu jermal dan
bagaimana kehidupan para pekerja di jermal. Jaya adalah seorang anak yang berpendidikan
dan pandai mengoperasikan computer. Tujuan satu-satunya Jaya ker Jermal adalah dia
harus hidup bersama Johar, karena hanya Johar keluarga satu-satunya yang Jaya
miliki.
Jermal merupakan sebuah bangunan kayu di tengah laut
yang digunakan untuk menjaring ikan. Jermal bukanlah bangunan yang besar dan
yang pasti, Jermal merupakan tempat yang jauh dari kemewahan dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan darat. Di
selat Malaka, terdapat 150 panggung atau jermal. Jermal merupakan tempat
anak-anak miskin tak berpendidikan bekerja membanting tulang semi memenuhi
kebutuhan perekonomian keluarga. Anak-anak itu terpaksa bekerja di Jermal
karena di darat mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan. Kehidupan di Jermal
sangat keras dan bahkan tidak manusiawi. Bagaimana tidak, anak-anak dibawah
umur dipekerjakan hampir melampaui batas kemampuan mereka. Upah mereka sebagai
seorang buruh kasar sekitar 250.000,00 setiap bulan. Upah itu menjadi harapan
bagi mereka agar mampu membiayai biaya pendidikan saudara mereka, agar tidak
bernasib sama dengan mereka. Motivasi kerja yang begitu muli meski harus
menahan penderitaan yang luar biasa. Banyak bisik-bisik yang menggambarkan
buruknya kehidupan di Jermal. Penindasan, penyiksaan, pelecehan seksual,
kebakaran, pencurian dan badai merupakan hal-hal buruk yang segera ditemui Jaya
di Jermal.
Setelah semalaman mengarungi lautan sejauh kurang
lebih 8 km dari lepas pantai Sumatera Utara, Bandi dan Jaya mendekati Jermal
milik Johar. Kesibukan kerja di Jermal itu telah dimulai. Pada sebuah dek di
tepian jemal terdapat susunan roda-roda yang dipakai untuk menarik
jaring-jaring dari bawah jermal. Serankaian jaring akan mengarahkan ikan-ikann
menuju jermal. Ikan-ikan itu akan dijebak dalam sebuah jarring besar di bawah
jermal. Tiap beberapa jam, para pekerja memutar roda-roda untuk menarik jaring
ke atas. Di malam yang sibuk, mereka bisa bangun bekerja memutar roda sampai
tujuh kali. Saat mereka sementara sibuk bekerja, dari kejauhan salah seorang
dari mereka melihat sebuah kapal yang sebenarnya merupakan kapal yang
ditumpangi Bandi dan Jaya. Anak-anak yang bekerja itu, lari bersembunyi dengan
kecemasan kalau-kalau relawan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) mendapati mereka
bekerja di jermal. Sebagian bersembunyi di ruangan-ruangan yang ada di jermal
dan satu diantara mereka yang bernama Ahab, melompat ke laut. Gion yang
merupakan pekerja jermal paling senior mengamati kapal yang mendekat dan
memberikan isyarat bahwa kapal yang mendekat bukan LSM atau aparat yang
melakukan razia, melainkan kapal Bandi yang membawa seorang anak, yakni Jaya.
Memang, LSM secara teratur akan mengunjungi dan
merazia dari jermal ke jermal. Hal itu dilakukan dalam rangka kepedulian dan
penegakan hokum yang termuat dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlingungan Anak, yang melarang adanya pekerja di bawah umur. Aparat
kepolisian dan juga Angkatan Laut memberi dukungan kepada LSM untuk memotong
jalur mempekerjakan anak di bawah umur utamanya di Jermal. Anak-anak yang
kedapatan bekerja akan di bawah pulang kepada orang tua atau keluarganya.
Selain itu, ada pula langkah lain, yaitu dengan memanggil orang tua atau
keluarga untuk menjemput anak di bawah umur yang bekerja.
Saat kapal yang ditumpangi Bandi dan Jaya sandar di
Jermal, mereka berdua beserta barang-barang hasil belanjaan dinaikkan ke atas.
Bandi kemudian memberikan surat kepada Johar yang adalah surat titipan dari
istrinya. Johar disusul oleh Bandi masuk ke gubuk pribadi milik Johar. Bandi
dalam bahasa isyarat dan sesekali menulis di secarik kertas jika Johar tidak
mampu menafsirkan bahasa isyaratnya, memaksa Johar untuk tidak memperlakukan
hal yang sama dengan surat-surat lainnya. Bandi memaksa Johar untuk membaca isi
surat itu. Bandi memberi tahu dan berusaha meyakinkan Johar untuk menerima
kenyataan bahwa Jaya adalah anak kandungnya, tetapi Johar tetap bersikeras
bahwa ia tidak memiliki anak dan menolak Jaya sebagai anaknya. Johar bahkan
menyuruh Bandi untuk membawa pulang Jaya. Johar tidak ingin bertemu dengan
Jaya. Jaya menyaksikan peristiwa itu dengan intipan dari balik pintu gubuk
Johar. Pada saat inilah kisah hidup buruk Jaya di jermal dimulai. Sembari
menyaksikan peristiwa itu, Gion dan Dadang yang sementara bekerja mengangkat
keranjang berisi ikan, melihat Jaya. Sebagai anak baru, Gion mengerjai Jaya. Tidak
lama setelah itu, Bandi keluar dari gubuk, Gion dan Dadang kembali melanjutkan
perkerjaannya, dan Jaya masuk ke dalam gubuk menjumpai orang yang baru
dilihanya yang adalah ayahnya, dengan hati-hati. Jaya ingin membangun
komunikasi dengan Johar, tapi Johar mengusir Jaya dari gubuknya. Jaya yang
merasa ketakutan, keluar dari gubuk itu.
Di luar gubuk, Gion, Dadang, Topan dan satu anak
lainnya, menemui Jaya dan melakukan intimidasi. Jaya lalu dibawa ke dalam
sebuah ruangan serbaguna, tempat para pekerja tidur dan juga tempat Bandi
meracik makanan. Barang bawaan Jaya dijarah dan diambil oleh anak-anak pekerja
jermal. Jaya berusaha mengambil barang-barang pribadinya tapi tubuhnya yang
mungil tidak bisa mengalahkan kekuatan para pekerja jermal. Kotak mungil hasil
kerajinan tangan dari batang es krim yang berisikan jangkrik kesayangannya
direbut oleh Dadang dan di oporkan kepada Gion. Jaya berusaha merebut kotak
itu. Buku pribadi Jaya yang juga digenggam oleh Gion terjatuh, dan menyebabkan
Gion menjadi geram, menantang Jaya dan menampar muka Jaya. Gion memerintahkan
Dadang untuk berkelahi dengan Jaya. Jaya kemudian dipukul hingga terjatuh.
Johar yang melihat peristiwa itu, tidak melakukan apa-apa. Bandi kemudian masuk
membawa ember dan menyudahi pemukulan yang dilakukan kepada Jaya.
Semua anak pekerja jermal sontak mengambil wadah
botol air minum kemasan dan entre untuk menerima air minum. Jaya ikut antre di
barisan paling belakang tanpa botol minum. Saat gilirannya tiba, Bandi memberi
Jaya sebuah botol dan mengisi air minum di dalamnya. Jaya lantas meminum air
itu tapi dimuntahkan kembali karena komentar Topan. Jaya mengira itu air
mentah. Gion dan anak lainnya, medekati Jaya. Jaya ketakutan dan terjatuh
sehingga botol yang digenggamnya juga
jatuh dan menumpahkan seluruh isi botol tersebut. Gion mengulurkan tangan
kepadanya tanda Jaya telah diterima dikomunitas kecil itu. Gion beserta anak
lainnya, memberi tugas awal seperti dalam tradisi mereka bagi anak baru, yaitu
mengawasi kapal yang mendekat ke jermal, tempat mereka bekerja, sambil
mengangkat sebuah bendera. Jaya sigap melakukan tugasnya sampai saat magrib.
Bandi yang keluar setelah magrib, menghentikan tugas Jaya, yang telah seharian
mengangkat bendera dan membuat otot tangannya pegal. Jaya kemudian masuk ke dalam ruang serbaguna
untuk sekadar membaringkan tubuhnya yang kelelahan. Namun, kembali lagi
kemalangan menimpa dirinya. Seluruh tempat dalam ruang itu, telah penuh
sehingga Jaya harus mencari tempat tidur di luar ruangan. Malam itu, Jaya
termenung dan menangisi kejadian-kejadian yang menimpa dirinya. Sangat
memilukan tentunya. Hari-harinya terus diisi dengan intimidasi dan perlakuan
kasar para pekerja jermal dan juga Johar, ayahnya. Perlakuan-perlakuan buruk
itu, tentu mengganggu psikologinya. Dalam suatu peristia, Jaya melihat
anak-anak para pekerja jermal itu tidak dapat berhitung. Jaya bingung dengan
realitas itu. Andai ia lebih dewasa, ia tidak akan bingung dengan realitas itu.
Dengan tepat ia akan menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia belum mampu
menjangkau kaum miskin. Dalam hari-hari selanjutnya, Jaya memaksa diri untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bahkan lebih banyak dari anak-anak lainnya.
Satu kejadian lagi yang dialami oleh Jaya, yang memilukan hatinya, yakni pelecehan
seksual saat tubuhnya ditelanjangi dan saat Gion yang merupakan anak terkuat,
mendengar musik dangdut dan menyuruh Jaya untuk ikut menari, kemudian Gion
menempelkan bagian vitalnya ke pantat Jaya. Sempat jaya habis kesabaran dan
mencoba melarikan diri, namun apa daya, ia tidak mampu beranjak jauh dari
jermal.
Suatu ketika, saat Jaya bekerja, ia tenggelam dan
Johar tidak mau menoongnya, malah melarang Topan untuk menolong Jaya. Bandi
yang menyaksikan kejadian itu, terlampau emosi dan mengambil kotak berisikan
surat-surat kiriman istri Johar, selanjutnya ia membuangnya ke laut. Ternyata
surat-surat itu sangat berharga bagi Johar sehingga ia terjun ke laut mengambil
kotak itu. Ia kemudian mengeringkan surat-surat dan foto-foto yang basah
terkena air laut. Saat Johar mengeringkan surat-surat dan foto-foto tersebut,
ia menemukan sebuah gambar yang menunjukkan bahwa Jaya menganggap Johar seorang
pengkhianat. Johar lalu memukuli Jaya sampai mengeluarkan luka di bagian pipi.
Seiring berjalannya waktu, Jaya disenangi oleh anak-anak yang lain karena Jaya
selalu menulis surat-surat mereka dan juga membuat anak-anak yang lain tidak
lagi bergantung kepada Gion untuk mendapatkan air tawar saat hujan.
Dalam waktu selanjutnya, Johar mulai membuka diri
kepada Jaya. Ia mulai membuka percakapan-percakapan dengan Jaya. Namun, sikap
Jaya tak sama lagi. Karakter, emosi dan juga kekuatannya berubah. Ia tidak lagi
peduli dengan Johar. Sempat ketika Gion membunuh jangkrik kesayangannya, Jaya
sangat marah dan memukuli Gion dengan kayu dan dengan tangannya sampai Gion
terluka. Johar yang meilihat peristiwa itu, menarik Jaya ke gubuknya. Johar
mulai menunjukkan cintanya sebagai seorang ayah kepada anaknya. Ia terus
berusaha melunakkan kembali hati Jaya agar mau memaafkan dirinya. Johar mulai
menceritakan kisah masa lalu yang membuat dirinya memilih mencari ketenangan di
jermal dan tidak pernah kembali. Ia menceritakan bahwa benar ia membunuh
laki-laki yang selingkuh bersama istrinya saat ia keluar kota untuk mengajar.
Pengkhianatan itu memukul dirinya sehingga tidak mampu mengontrol emosi dan
melakukan pembunuhan. Selain untuk burusaha melupakan rasa sakit hatinya,
alasan lain ia memilih bekerja di jermal untuk sembunyi dari kejaran polisi.
Meski sudah jujur terhadap kisah itu, Jaya masih belum percaya, sampai Johar
menunjukkan surat ibunya yang akhirnya membuat Jaya percaya semua kisah itu.
Setelah itu, Jaya akhirnya dapat menerima kembali Johar dan mereka mulai
membuka kisah-kisah masa lalu mereka seperti layaknya anak dan ayah yang saling
bercerita. Akhirnya mereka berdua meninggalkan jermal dengan ketidakpastian
nasib Johar, apakah ia akan ditangkap polisi karena kasus pembunuhan ataukah
tidak. Yang pasti mereka sadar bahwa jermal bukan tempat sesungguhnya bagi
mereka. Saat berada di perahu dalam perjalanan pulang, satu pertanyaan terakhir
Johar kepada anaknya, Jaya.
“Waktu kau datang dulu, kau bilang ibumu bilang
sesuatu sebelum dia meninggal. Apa katanya?”
“Ibu bilang: cari bapakmu. Dia orang baik.” Jawab
Jaya sambil menatap hangat ayahnya.
Pada akhirnya, seorang laki-laki dan seorang bocah
berangkat menuju daratan bukan sebagai orang asing, melainkan sebagai ayah dan
anak.
Analisis Sosial terhadap
Peristiwa Kemanusiaan di Tengah Laut
Tema
yang kuat gaungnya dalam novel Jermal adalah kemiskinan. Meski perlu disadari
bahwa kemiskinan sangat jarang disebut dalam novel ini, tetapi jika di analisa
lebih jauh, menurut saya, kemiskinan menjadi radix (akar) dari hampir seluruh tindakan amoral yang terjadi di
dalam novel Jermal. Alasan paling utama para pekerja di bawah umur memilih
bekerja di jermal adalah karena harus mengusahakan perekonomian keluarga.
Pendidikan yang tidak memadai seakan menutup jalan untuk berusaha mencari
pekerjaan di tempat lain. Menjadi pertanyaan, mengapa para anak yang bekerja di
Jermal tidak mengenyam pendidikan? Jawabannya, ada pada novel ini bahwa mereka
tidak memiliki biaya yang cukup (miskin) untuk membayar biaya pendidikan.
Kemiskinan dan pendidikan yang tak memadai sudah tentu saling kait-mengait. Orang
miskin tidak bisa membayar biaya pendidikan, dan orang yang tak berpendidikan
akan sangat sulit mendapat pekerjaan yang mapan. Kemiskinan dan pendidikan yang
tak memadai bagaikan berada pada sebuah roda yang terus berputar. Para pekerja
di bawah usia, berusaha keluar dari roda itu agar saudara-saudara mereka tidak
terjabak pada putaran roda yang sama. Dalam usaha ini, motivasi mereka perlu
diapresiasi. Dalam usaha ini, dapat
ditemukan sebuah makna eksplisit teks bahwa mereka telah memahmi bahwa
kehadiran bukan hanya untuk diri mereka sendiri tetapi untuk sang liyan. Dalam usaha ini, kita
menemukan konsep Levinas bahwa “pada sang
liyan aku melihat Tuhan.”[4]
Tokoh
Jaya mungkin tidak dilatarbelakangi oleh faktor kemiskinan sebagai alasan dia
ke jermal. Namun, tindakan-tindakan dari Gion dan kawan-kawannya terhadap Jaya
menjadi gambaran bahwa ketimpangan ekonomi dapat mengubah karakter seseorang
melakukan tindak kekerasan. Hal ini senada dinyatakan oleh Tito Karnavian bahwa
faktor ekonomi, seperti kemiskinan, menjadikan seseorang mengalami krisis
identitas sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan kekerasan.[5] Lebih
jauh krisis identitas ini dapat berdampak lebih buruk jika dibarengi dengan
indoktrinasi yang dapat membuat seseorang memiliki paham radikalisme terhadap
suatu ideologi. Krisis identitas ini juga jika dianalisa, dialami oleh Johar.
Saat pertama kali melihat Jaya, ia seakan kembali ke masa 12 tahun yang lalu. Jati
dirinya tak menentu sehingga memperburuk psikologinya dalam menyikapi
perjumpaannya dengan Jaya. Sikap-sikap Johar yang lebih banyak diam merupakan
sebuah bahasa simbol. Tapi sebenarnya, simbol bukan hanya bahasa tubuh tanpa
kata, tetapi kata juga merupakan simbol itu sendiri. Menurut Paul Ricoeur, jika
simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi penting, sebab di sini terdapat
makna multi lapisan. simbol-simbol akan menimbulkan pluralitas makna. Bilamana terdapat
pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan.[6]
Berkaitan dengan itu, perlu untuk melakukan interpretasi terhadap sikap-sikap
Johar. Dalam bagian-bagian terakhir novel Jermal, Johar mengatakan sebuah
kejujuran bahwa sikapnya yang keras terhadap Jaya merupakan ekspresi dari
ketidakmampuannya untuk memaafkan masa lalunya. Masa lalu yang berusaha
dilupakan, muncul kembali saat melihat Jaya. Realita ini dapat dibenarkan
dengan bukti bahwa nanti ketika Johar mau menerima masa lalunya, barulah ia
dapat berdamai dengan Jaya.
Realitas
manusia sebagai homo oeconomicus[7] tidak dapat
dielakkan lagi. Konsep ini diperkenalkan oleh Adam Smith. Manusia sebagai
makhluk ekonomi menganggap bahwa perekonomian menjadi sesuatu yang penting, dan
itu wajar saja, seperti halnya para anak-anak yang bekerja di jermal. Mereka
merasa bahwa ekonomi itu sangat penting diusahakan agar dapat hidup sejahtera.
Namun, menarik untuk melihat tokoh-tokoh yang sebenarnya tidak dinampakkan atau
tidak diperankan dalam novel ini. Mereka adalah kaum pemilik modal yang juga
pemilik jermal. Dikisahkan bahwa pemilik jermal sengaja mencari anak-anak yang
tak berpendidikan dan miskin untuk dijadikan pekerja di jermal milik mereka.
Alasan di balik itu adalah karena anak-anak dianggap belum mampu melawan sistem
ekonomi menyengsarakan yang diberlakukan oleh pemilik jermal. Mereka menganggap
anak-anak itu tidak akan menjadi kendala dalam proses pengejaran kepentingan
pribadi (vested interest). Dalam
sikap ini, kritik Marx terhadap sikap para kaum kapitalis terhadap kaum
proletar masih relevan, meskipun teori-teori Marx dikritik habi-habisan oleh
Habermas dan dinilai tidak relevan dalam konteks sekarang. Telah menjadi
pengetahuan yang lazim bahwa kritik Marx terhadap kenyataan ekonomi dalam
konteks masyarakat saat itu, dikuasai oleh para kaum Borjuis dan menyengsarakan
para kaum proletar. Seruan kritik Marx bertujuan agar alat-alat produksi tidak
hanya dikuasai oleh kaum borjuis karena jika demikian, para kaum proletar akan
dieksploitasi dan menjadi objek bagi para kaum pemilik modal. Dalam
perkembangannya, seperti yang telah saya bahas di atas bahwa Habermas
mengkritik ide dari Marx karena menurutnya deprivasi yang dalam masyarakat
kapitalis liberal dirasakan oleh kaum buruh, dewasa ini tidak hanya dirasakan
oleh kelas tertentu saja.[8]
Kita dapat memahami jika Habermas melontarkan kritik itu dalam perspektif
Negara maju. Namun, dalam kontes Negara berkembang seperti Indonesia, kritik
Marx terhadap ketimpangan ekonomi masih sangat relevan, seperti dalam novel
ini. Tindakan eksploitatif yang menyengsarakan perlu untuk dikritisi.
Menurut Adam Smith, ada empat faktor pendorong yang
menyebabkan penyempitan paham manusia sebagai makhluk homo oeconomicus yang memberi persepsi buruk bagi konsep ini,
yakni: pertama, kepentingan pribadi (self-interest). Kedua, keterpusatan pada diri (self-centredness),
gagasan tentang kodrat manusia ini lalu memperanakkan cara piker yang dikenal
dengan istilah “individualism metodologis”. Ketiga,
perangkat khusus yang dipakai untuk mewujudkan “kepentingan diri” dan
“preferensi” adalah “kalkulasi rasional”. Istilah rasional dipahami secara
khusus, yaitu usaha sistematis menimbang prospek keuntungan, kerugian dan
pemuasan preferensi. Keempat, untuk
menemukan keterukuran (measurability),
konsep “kepentingan diri” dan “efisiensi” lalu direduksi lebih lanjut ke dalam
ciri material objek preferensi. Dari situ muncul konsep “utilitas”.[9]
Kemiskinan membuat para pekerja di bawah usia itu
tak punya pilihan lain. Mereka membiarkan diri mereka dieksploitasi. Mereka
mekasakan diri untuk dapat terbiasa dengan kerasnya hidup di jermal. Kerasnya
kehidupan itu, membuat karakter dan psikologi mereka menjadi buruk. Sebut saja
perlakuan-perlankuan intimidasi yang dilakukan oleh Gion dan kawan-kawan kepada
Jaya. Selain iu, pelecehan seksual yang dirasakan oleh Jaya saat ia
ditelanjangi dan saat Gion menempelkan kelaminnya ke pantat Jaya. Moral yang
bobrok itu adalah akibat lingkungan hidup di jermal yang keras. Pernyataan ini
dapat dibuktikan dari diri Jya. Saat ia baru pertama tiba di jermal, ia adalah
anak yang polos, lemah dan penakut. Namun, karena pengaruh lingkungan, ia berubah
menjadi anak yang emosional dan agresif sampai melakukan pemukulan dan
mengancam membunuh Johar, ayahnya.
Kemiskinan menyebabkan anak-anak tak dapat mengenyam
pendidikan, melakukan tindak kekerasan dan juga perbuatan-perbuatan amoral,
seperti pelecehan seksual, penjarahan dan intimidasi. Selain itu, kemiskinan
dapat menyebabkan orang mengalami krisis identitas yang dapat menjerumuskan
dirinya pada kesesatan-kesesatan ideologi yang berujung pada tindakan-tindakan
kekerasan. Ketakberdayaan mereka yang miskin, menjadi wadah para pemilik modal
untuk mengeksploitasi mereka yang miskin untuk memenuhi nafsu ego atau
kepentingn diri sendiri tanpa memikirkan kesejahteraan dan keadaan hidup orang
lain.
Yesus Pemerhati
Kaum Miskin
Jika
kita berbicara tentang konteks berteologi di Asia, maka kita akan berjumpa
dengan karakteristik Asia. Salah satu karakteristik Asia adalah “realitas
kemiskinan yang parah.” Namun, pernyataan ini bukan berarti bahwa seluruh
Negara-negara di Asia adalah Negara yang miskin. Sebut saja Jepang dan
Singapura menjadi dua dari beberapa Negara maju yang ada di Asia. Fakta ini
justru memberikan kita penegasan bahwa pemberantasan kemiskinan di Asia
bukanlah sesuatu yang mustahil.[10]
Ada begitu banyak teologi yang lahir sebagai
keresahan atas masalah sosial-ekonomi yang menindas atau mendiskriminasi.
Contoh teologi yang lahir dari latar belakang tersebut, seperti Teologi Minjung
di Korea (1970-an), yang bertujuan untuk mencapai hak asasi manusia, demokrasi
dan keadilan sosial dan ekonomi. Teologi Minjung mengasimilasi ide Marxisme.
Contoh lain adalah Teologi Dalit di India yang bertujuan untuk mengkritik
penindasan yang dirasakan oleh orang-orang kaum dalit (orang-orang yang tidak
tersentuh dan kelas sosial terendah dalam sistem kasta di India). Jika kita
berbicara tentang teologi yang lahir sebagai bentuk kegelisahan dari
ketimpangan ekonomi, maka Teologi Pembebasan akan menjadi rujukan umum.[11]
Teologi Pembebasan lahir di daerah Amerika Latin yang
dilatarbelakangi oleh situasi saat itu di mana terjadi
pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Para kaum tak bermodal atau para
petani miskin[12],
menjadi sasaran penindasan. Gereja pada saat itu bergabung dengan golongan kaya
dan militer.[13]
Beberapa teolog prihatin dan mengusahakan sebuah teologi yang dapat membebaskan
kaum golongan terendah dari keterpurukan sosial namun usaha itu selalu gagal.
Nanti pada tahun 1973, Gustavo Gutieres menerbitkan sebuah buku yang berjudul “A
Theology of Liberation” yang menjadi langkah awal dan pencetusan Teologi
Pembebasan. Karl Marx turut memberi inspirasi dalam usaha teologi pembebasan.
Namun, tentu yang dimaksud di sini ada inspirasi yang dibarengi dengan
pemikiran kritis. Teologi Pembebasan ditentukan oleh pesan Injil Yesus Kristus
sendiri. Keunggulan teologi pembebasan terletak dalam kepedulian dan
orientasinya untuk mewujudkan kehidupan berdasarkan pesan Injil Yesus Kristus,
yaitu penegakan Kerajaan Allah.[14] Sejarah
lahirnya Teologi Pembebasan memiliki kesamaan dengan realitas hidup yang
menyapa kehidupan anak-anak, pekerja di jermal. Para tokek (begitu sebutan
dalam novel Jermal), menjadikan mereka sebagai objek sehingga terus-menerus
dieksploitasi untuk mencapai kepentingan dan kepuasan diri.
Berdasarkan
realitas-realitas di atas, saya tertarik untuk melirik sikap Yesus dalam
menghadapi realitas seperti ini. Konteks hidup Yesus memiliki kesamaan dalam
konteks hidup kita saat ini. Kesamaan yang saya maksudkan adalah adanya jurang
antara yang kaya dan yang miskin. Ada
ketidakmerataan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam Lukas 16:19-21,
Yesus memberikan perumpamaan tentang “orang kaya dan Lazarus yang miskin”.
Sikap Yesus sangat jelas menunjukkan keberpihakan-Nya pada Lazarus yang adalah
orang miskin. Dalam Lukas 6:20, Yesus juga memberikan perhatian bahwan menyatakan
keberpihakan-Nya kepada orang miskin. Ia mengatakan bahwa “Berbahagialah kalian
orang-orang yang miskin, karena kalian adalah anggota umat Allah!” Dalam kisah
yang lain, Yesus menegaskan kepada murid-murid-Nya untuk memerdulikan orang
miskin, seperti dalam Lukas 14:12-14, Yesus berpesan agar ketika
murid-murid-Nya mengadakan sebuah pesta, mereka harusnya mengundang mereka yang
kurang diperhatikan, salah satunya orang yang miskin.[15]
Yesus mengajarkan mereka sebuah model mengasihi tanpa mengharapkan imbalan atau
balasan. Mungkin konsep inilah yang menginspirasi Eckhart terkait konsep cinta
dengan alasan cinta bukan mengharapkan balasan cinta yang sama. Perlu dipahami
di sini bahwa Yesus sama sekali tidak membenci orang-orang kaya. Beberapa
pengikut Yesus tetap kaya, bahkan mereka justru membantu pelayanan Yesus dengan
sumbangan-sumbangan. Bagi Yesus Allah harus dinomor-satukan. Mereka boleh
memiliki uang, tetapi tidak boleh menyembahnya.[16]
Mereka boleh kaya, tetapi tidak dengan usaha-usaha yang menentang konsep
Kerajaan Allah, yakni kerajaan keadilan dan perdamaian, kebenaran dan
kemerdekaan, dengan mendahulukan kaum miskin dan tertindas.[17]
Lantas apa yang perlu diperhatikan dari sikap Yesus
dalam kaitannya dengan kisah novel dalam Jermal? Bahwa sebagai makhluk yang
bersolidaritas, manusia harusnya memberi kepedulian terhadap situasi dan
orang-orang yang berada dalam kemiskinan, bahkan dengan aksi-aksi yang nyata. Sikap
Bandi dalam kisaha novel Jermal, mencerminkan bahwa ia memiliki rasa
kemanusiaan untuk bersolidaritas dengan yang lain, yaitu Jaya. Bandi bahkan
tidak membiarkan penindasan dan intimidasi yang dilakukan oleh Gion dan
kawan-kawannya kepada Jaya. Bandi akan selalu menyerukan pembebasan di balik
kebisuannya. Dalam kebisuannya ia menyuarakan pembebasan melalui aksi nyata. Jika
kita memerhatikan teladan Yesus, justru golongan-golongan inilah yang harus
menjadi keprihatinan utama dalam relasi dengan ‘yang lain’ (the other). Konsep ajaran dalam Islam
juga turut mendukung pernyataan ini, bahwa “di
balik berkah yang kita miliki, ada hak orang di dalamnya.”[18]
Pernyataan itu menegaskan bahwa nilai kehadiran manusia di dunia ini, bukan
hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk “sesamaku yang adalah pribadiku yang lain.”[19]
Gereja yang merupakan institusi mitra Allah atau dapat dikatakan
sebagai perpanjangan tangan Allah di dunia ini untuk menegakkan kerajaan-Nya,
harusnya konsisten dalam penentuan sikapnya, untuk menyikapi kemiskinan.
Justru, keberpihakan kepada mereka yang termarjinalkan dalam hal ini, kaum
miskin menjadi misi gereja. Menurut David Bosch, situasi dunia historis sebagai
panggung aktivitas Allah, harus diikutsertakan sebagai suatu unsur pembentuk ke
dalam pemahaman gereja tentang misi. Dalam melakukan misi-Nya di dunia ini,
Yesus tidak membubung tinggi ke langit melainkan menenggelamkan diri-Nya ke
dalam keadaan-keadaan yang sama sekali riil dari orang-orang miskin, tertawan,
buta, tertindas dan termarjinalkan. Sama seperti Yesus, gereja (kita) dalam
misinya harus berani memihak demi kehidupan dan menentang maut, demi keadilan
dan menentang penindasan. Jangan hanya melihat Yesus sebatas penyelamat dari
dosa melainkan juga lihat bahwa Ia pun berkarya menjadi penyelamat dalam aspek
sosial kemasyarakatan.[20]
Hal ini jugalah yang menjadi nafas Teologi Pembebasa Gustavo Gutierrez. Gereja
harus membebaskan ‘anak-anak pekerja di jermal’ dari kemiskinan dan
ketertindasan kaum bermodal, agar mereka tidak melakukan tindakan-tindakan
amoral sebagai akibat dari kemiskinan yang mereka alami. “Kemanusiaan tidak
akan dipulihkan secara penuh kalau penindasan terhadap kaum miskin tidak
diatasi (Gloria Dei vivens pauper).”[21]
Daftar Pustaka
Aritonang
Jan S. (ed). Teologi-teologi Kontemporer.
Jakarta: BPK Gunung Mulia 2018.
Bosch.
Transformasi Misi Kristen. hlm. 652.
Chen
Pr Martin. Teologi Gustavo Gutierrez:
Refleksi dari Praksis Kaum Miskin. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
France
R.T. Yesus
Sang Radikal: Potret Manusia yang Tersalibkan. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009.
Hardiman
F. Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap
Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta:
Kanisius, 2009.
Hesselgrave
David J. dan Edward Rommen. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2015.
Ja
Denny, dkk. Rumah Bersama Kita Bernama
Indonesia: Dari Terorisme Menuju Toleransi dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta:
Cerah Budaya Indonesia, 2018.
Simon
John C. Merayakan ‘Sang Liyan’:
Pemikiran-pemikiran Seputar Teologi, Ekklesiologi dan Misiologi Konetkstual. Yogyakarta:
Kanisius, 2017- cet. 4.
Sumaryono
E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 1999.
Wibowo
I. dan B. Herry Priyono (ed). Sesudah
Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis Suseno. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Referensi
Internet
[1]
https://finance.detik.com/moneter/d-4251687/bos-imf-ingatkan-dampak-perang-dagang-as-china-ke-ekonomi-dunia.
Diakses pada tanggal 14 Desember 2018, pukul 14.00 WITA.
[2]
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-45255401.
Diakses pada tanggal 14 Desember 2018, pukul 14.40 WITA.
[3]
Lahir di Jakarta, 1 Mei 1983. Lulusan Fakultas Hukum UI 2006 ini telah menulis
beberapa novel: Detective Diary, Cinta
Versi Cinjun, Happy Porter: Penyusup di Sekolah Sihir Homework dan Voli
Gam(i)e. Kutipan ini dikutip dari Novel Jermal tanpa halaman, setelah kisah
novel Jermal selesai.
[4]
John C. Simon, Merayakan ‘Sang Liyan’:
Pemikiran-pemikiran Seputar Teologi, Ekklesiologi dan Misiologi Konetkstual, (Yogyakarta:
Kanisius, 2017- cet. 4), 218.
[5]
Denny Ja, dkk, Rumah Bersama Kita Bernama
Indonesia: Dari Terorisme Menuju Toleransi dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta:
Cerah Budaya Indonesia, 2018), 33.
[6]
E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 105.
[7]
Menurut Adam Smith dalam tulisan B. Herry-Priyono, konsep homo oeconomicus berawal tidak lebih pada sekadar sayarat cara
berpikir dan bukan realitas kodrati manusia. Konsep ini berkembang menjadi
seperti hakikat manusia akibat dari pengejaran kepentingan pribadi. Dikutip
dari buku Sesudah Filsafat, 117, yang
berupa kumpulan tulisan, di mana I. Wibowo dan B. Henry Priyono menjadi editor.
[8]
F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi:
Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), 89-90.
[9]
B. Herry Priyono, “Homo oeconomicus:
Dari Pengandaian ke Kenyataan”, dalam I. Wibowo dan B. Herry Priyono (editor), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz
Magnis Suseno, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 121-123.
[10]
Alpius Pasulu “Teologi Asia”, dalam Jan S. Aritonang (penyunting), Teologi-teologi Kontemporer, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia), 411-412.
[11]
Alpius Pasulu “Teologi Asia”, dalam Jan S. Aritonang (penyunting), Teologi-teologi Kontemporer, 412.
[12]
Dalam buku David J. Hesselgrave dan Edward Rommen yang berjudul
“Kontekstualisasi” dalam halaman 111, dikatakan bahwa ada empat golongan dalam
masyarakat pada saat itu. Golongan yang paling rendah adalah para petani miskin
yang dalam bahasa aslinya disebut Campesinos.
[13]
David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode
dan Model. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 111.
[14]
Martin Chen Pr, Teologi Gustavo
Gutierrez: Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, (Yogyakarta: Kanisius,
2006-cet. 5), 9.
[15]
R.T. France, Yesus Sang Radikal: Potret
Manusia yang Tersalibkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 84.
[16]
R.T. France, Yesus Sang Radikal: Potret
Manusia yang Tersalibkan, 83.
[17]
Martin Chen Pr, Teologi Gustavo
Gutierrez: Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, 9.
[18]
Hasil Diskusi dengan Pdt. Dr. Diks S. Pasande.
[19]
http://gubukinspirasiii.blogspot.com/2013/12/yang-semakin-hilang-diantara-kita.html.
Diakses pada tanggal 14 Desember 2018, pukul 19.00. Konsep ini merupakan konsep
dari Ishak Ngeljaratan yang selalu digaungkan baik dalam diskusi kelas maupun
dalam seminar-seminar sebagai penghayatan akan kehadiran orang lain.
[20]
Bosch. Transformasi Misi Kristen. hlm. 652.
[21]
Martin Chen Pr, Teologi Gustavo
Gutierrez: Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar