BAB I
PENDAHULUAN
Islam
dan Kristen adalah agama yang sering disebut agama samawi atau agama Abrahamik.
Kedua agama ini berasal dari satu leluhur yaitu Abraham. Namun, meskipun
kenyataan atau realitanya seperti itu, tidak jarang perjumpaan kedua agama
samawi ini berdampak buruk karena kurangnya keterbukaan dan kurangnya pemahaman
yang baik tentang inti pengajarang dari masing-masing agama ini. Selain dari
pada itu, perjumpaan Islam-Kristen dalam lapangan politik yang disertai dengan
kepentingan individu atau kelompok tertentu juga menjadi alasan terjadinya
persaingan, konflik dan bahkan kekerasan komunal. Hal ini dapat dilihat dari
perjumpaan awal Islam-Kristen di Indonesia. Sejarah yang menggunakan kerangka
politik – meski menyangkut agama yang menganjurkan perdamaian dan
kasih-mengasihi di antara umat manusia secara keseluruhan – secara tipikal
hampir secara keseluruhan dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Inilah
yang disebut sebagai “sejarah konvensional.” Dalam perkembangan ilmu sejarah
maka muncullah “sejarah sosial” sebagai usaha untuk menandingi “sejarah politik
atau sejarah konvensional.”[1]
Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam menjadi sangat
relevan karena perjumpaan terjadi diluar dari bidang politik yaitu sisi
kehidupan yang lain yang berlangsung secara saling pengertian dan damai yang
pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai di antara para
pemeluk agama yang berbeda.
Berdasarkan
tema yang saya pilih ini, penulis ingin menekankan tentang peranan yang dilakukan
oleh kedua agama samawi ini ditengah-tengah kemajemukan atau pluralitas Negara
Indonesia. Kata “berjalan bersama” pada tema sebenarnya masih bersifat abstrak
karena dalam proses perjalanan itu bisa saja terjadi konflik atau gesekan dan
bisa juga keselarasan yang berujung pada aksi yang nyata untuk membangun negara
ini. Namun meskipun seperti itu, dalam paper ini penulis lebih menekankan sisi
positif dari proses berjalan bersama kedua agama ini. Kemudian, kata “plural”
yang ada pada tema ini jangan diartikan secara sempit dan terbatas pada
pluralitas agama. Tetapi, plural di sini termasuk budaya, bahasa, etnis dan lain
sebagainya. Memang pembahasan ini terlalu luas, sehingga penulis akan membatasi
pembahasan ini dalam kemajemukan atau pluralitas agama yang dimiliki oleh
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN/ISI
Sebelum lebih jauh membahas pokok ini,
penting untuk memahami arti atau makna dari kata plural. Jika ditinjau secara
etimologi, plural berarti banyak atau berbilang atau “bentuk kata yang
digunakan untuk menunjukkan lebih sari satu.”[2]
Sedangkan pluralisme adalah kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan bersama
manusia, terdapat keragaman suku, ras, budaya dan agama.[3]
Berdasarkan penjelasan ini, maka sekali lagi bahwa plural tidak boleh dibatasi
sebatas kemejemukan agama-agama yang ada di Indonesia. Konteks plural di
Indonesia sangat luas cakupannya. Secara geografis, Indonesia memiliki 17.667
pulau besar dan kecil, wilayah darat hanya seluas 735.000 mil persegi di mana
seluruh luas wilayahnya yaitu 4 juta mil persegi. Ditinjau dari segi etnis dan
budaya, Indonesia juag termasuk negara yang paling heterogen di dunia. Terdapat
lebih dari 300 kelompok etnis dan 50 bahasa yang satu sama lain amat berbeda.
Belum lagi jika dimasukkan keturunan Cina, Arab dan India yang telah hidup lama
di Indonesia. Tentang kehidupan beragama, kita dapat menyebutkan bahwa semua
agama besar di dunia ada di Indonesia, kecuali Yudaisme, dan semua berkembang
dengan baik.[4]
Selain agama-agama besar yang diakui itu, terdapat pula agama-agama lokal atau
suku yang juga terbilang banyak. Jadi memang benar bahwa Indonesia hidup di
tengah-tengah kepelbagaian dari berbagai bidang namun tetap bisa bersatu.[5]
Seperti
yang penulis telah ungkapkan dalam Bab I, bahwa penulis akan lebih fokus atau
menekankan tentang peranan dan sikap toleransi dari proses perjalanan
berdampingan dari Islam-Kristen. Namun sebelum membahas itu, penting untuk
membahas bagaimana perjumpaan dari kedua agama ini sehingga mampu berjalan
beriringan. Kemudian pandangan kedua agama ini menyangkut konteks Indonesia
yang plural. Setelah itu, barulah kita akan melihat, apa saja peranan kedua
agama ini atau apa saja hasil yang diperoleh dalam proses “berjalan bersama”
itu.
1. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia.[6]
Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia berlangsung
sejak abad ke-16 hingga sekarang (awal abad ke-21) sangat dipengaruhi oleh
perkembangan, konstelasi dan kebijakan politik, baik dalam skala nasional
maupun internasional. Dalam sebagian besar proses perjumpaan itu, agama Islam
sudah terlebih dulu hadir di bumi Nusantara. Tetapi dalam kasus-kasus tertentu
agama Kristen lebih dulu datang, walaupun tidak selalu lebih dulu berhasil
diterima oleh masyarakat. ketika kekristenan di bawa oleh penginjil dari Barat,
wilayah persebaran agama Islam belum meliputi seluruh Nusantara dan jumpal
penganut agama Islam ketika itu masih terbatas. Penyebaran agama Islam justru
berlangsung pesat setelah kekristenan tiba di Nusantara. Sejak awal perjumpaan,
pemahaman dan penilaian masing-masing
pihak terhadap pihak lain lebih sering secara negative dari pada
positif. Hal ini terutama disebabkan oleh warisan yang diterima masing-masing
puhak yang sumbernya dari luar Indonesia. Di kalangan Kristen tertentu, bahkan
sampai sekarang umat Islam hampir selalu dilihat sebagai orang-orang yang
membutuhkan dan belum menemukan kebenaran dan keselamatan yang sejati dan
sepenuhnya. Akibatnya, perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, terutama di
lapangan politik ditandai oleh konflik yang acap kali sangat berdara.
Salah satu pokok soal yang dipertikaikan adalah
hubungan antara agama dan negara atau pemerintah. Pada saat itu dari kedua
pihak selalu berusaha mengikat dan menyatukan antara agama dengan negara
sehingga akan memberikan keuntungan yang baik bagi agama itu sendiri. Namun,
dalam perjalanannya pemerintah baik pada zaman penajajahan ataupun pada zaman
merdeka, juga tidak menghendaki negara Indonesia menjadi negara Islam, atau
Islam dijadikan sebagai dasar negara, sehingga dari kalangan Islam sendriri
sering muncul tudingan bahwa pemerintah bercorak sekuler. Tetapi tidak semua
kalangan Islam di Indoneisa mendukung gagasan Negara Islam. paling tidak kaum
neo-modernis memperlihatkan penolakan kepada agama Islam sambil mendukung
penegakan HAM dan ini menjadi sumbangan yang sangat positif bagi perkembangan
hubungan dan kerjasama di antara Islam dan Kristen.
Kedua agama ini, Kristen dan Islam, sama-sama
mengklaim diri bersifat missioner dan universal. Karena itu sebenarnya wajar
kalau keduanya mendorong penganutnya untuk menyiarkan dan menyebarluaskan
agamanya, yang diyakini berisi banyak hal yang sangat baik dan mulia, bahkan
yang berasal dari Tuhan. Jadi, yang mengganggu perasaan kalangan Islam bukanlah
semata-mata klaim kalangan Kristen sebagai satu-satunya pemilik keselamatan dan
kebenaran, melainkan adalah cara-cara orang Kristen menyebarkan agama atau
keyakinannya.
Ada sebuah ataupun beberapa lapangan yang terbuka dan
bidang kehidupan ataupun momen-momen tertentu di mana kalangan Islam dan
Kristen dapat bekerja sama dengan baik. Ketika umat Islam dan Kristen berada
dalam ikatan sosial-kultural yang sama, seperti yang sudah terlihat di Maluku,
Jawa dan Sumatera, hubungan di antara mereka relative baik. Tetapi ketika
ikatan sosial-kultural itu diganti atau disusupi oleh kepentingan-kepentingan
dan tujuan-tujuan politik tertentu, maka hubungan itu menjadi rusak. Tetapi ada
pengecualian pada masa revolusi fisik atau masa perjuangan kemerdekaan. Sejak
akhir 1960-an semakin kuat kesadaran dan pemahaman – walaupun tidak di seluruh
kalangan Kristen – tentang kesederajatan dan tentang pentingnya saling
menghargai dan menghormati kepercayaan masing-masing. Sementara itu, di
kalangan Islam Indonesia pun sejak 1970-an muncul golongan yang lazim disebut Santri
Neo-Modernis, yang sangat giat mengembangkan sikap terbuka, dialogis dan
inklusif terhadap agama lain. karena itulah sejak waktu itu, wadah dan forum
dialog semakin subur. Sejak 1970-an, terutama 1990-an, seiring dengan semakin
berkembangnya gagasan dan kegiatan dialog, maka semakin banyak tulisan-tulisan
yang memperlihatkan sikap saling memahami dan menghormati, serta kemungkinan
untuk bekerjasama dan baik karya penulis asli Indonesia, maupun karya
terjemahan. Bahkan tidak sedikit karya kalangan Kristen ataupun sekuler Barat
diterbitkan oleh penerbit Islam.
2. Pandangan Kristen dan Islam Terhadap
Konteks Indonesia yang Plural
Pluralisme agama sebagai sebuah konsep ataupun praktik
pada kenyataannya dimaknai bermacam-macam. Permahaman yang beraneka ragam terhadap
pluralisme ini seyogyanya dipahami sebagai sebuah dinamika kehidupan yang tidak
mungkin untuk dihindari. Keragaman pemaknaan tersebut terjadi karena berbagai
faktor.[7]
1. Pandangan Kristen
Dalam membahas pandangan tentang konteks plural atau
pluralitas mau tidak mau akan dikaitkan dengan sikap toleransi. Agama Kristen
memiliki begitu banyak aliran-aliran yang terpisah secara umum karena perbedaan
penafsiran. Sama halnya dengan pandangan agama Kristen atau umat Kristen
tentang pluralitas tentulah tidak semua memiliki pandangan yang sama. Tetapi di
sini, penulis ingin menitikberatkan pada aliran calvinis yang juga dianut oleh
penulis. Menyangkut sikap toleransi kita dapat mengatakan bahwa agama Kristen
itu sebenarnya inklusivistis, hanya dalam pengamalannya tidak selalu demikian, bahkan sering sangat ekslusivisme. Bagaimanakah yang seharusnya? Ajaran Kristen yang benar menurut Pdt. Dr. Th.Kobong, M.Th adalah bahwa Agama Kristen itu seharusnya insklusivistik, sebab kasih Allah
merangkul (menginklud) semua manusia (berdasarkan
Yoh.3:16). Jadi dasar inklusivisme agama Kristen adalah kasih Allah akan semua orang. Dengan demikian tidak ada alasan untk bersikap arogan. Allah adalah kasih dan oleh sebab itu Yesus yang adalah pengejewantahan kasih Allah itu adalah
juga inklusif. Namun, Ia sekaligus juga eksklusif sebagai kasih, oleh karena kasih tidak bisa menerima atau mentoleransi yang bukan kasih. Itulah dialetika kasih dan dialetika iman Kristen. Selain dari itu alasan yang atau pandangan yang lain adalah:
1.
keselamatan ditawarkan kepada semua orang
2. Kasih Allah tidak terbatas, Allah
berdaulat menyelamatkan di luar jalur yang sudah dinyatakanNya
3. Keselamatan kerena anugerah, sehingga tidak ada alasan untuk arogan dan sombong (justru kita harus solider terhadap semua orang berdosa).
4. Solidaritas itu
menjadikan kita rendah hati dan menawarkan jalan keselamatan itu kepada semua orang tanpa paksaan
5. Sikap pluralisme adalah kemampuan untuk menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya
6. Berdasarkan
providentia Dei kita percaya bahwa Allah hadir dalam semua kebudayaan dan agama, jadi di dalam sesuatu agama
dan kebudayaan minimal ada unsur-unsur kebenaran.
2. Pandangan Islam
Pandangan Islam mengenai pluralitas di Indonesia tidak jauh berbeda
dengan pandangan Kristen. Begitupun
dalam Islam ada yang pro terhadap pluralisme da nada juga yang kontra. Pada
tanggal 29 Juli 2005 dalam Musyawarah Nasioanal ke-7 MUI mengeluarkan fatwa.
Salah satunya mengharamkan paham pluralisme. Ada tiga orang tokoh yang
bertentangan dengan itu:
·
M. Amin Abdullah
Bagi Pak Amin, pluralisme agama merupakan
sebuah keniscayaan sekaligus kebutuhan. Manusia tidak mungkin menghilangkan
pluralisme yang telah diciptakan oleh
Tuhan. Dialog antar umat beragama berkeyakinan bahwa “keselamatan” sudah ada
dalam setiap agama besar dan kecil yang ada.[8]
·
Komaruddin Hidayat
Pak Komaruddin melihat pluralisme agama
sebagai sebuah keniscayaan, sebagaimana juga keniscayaan adanya pluralitas
bahasa dan etnis. Pluralis menurutnya tidak berarti berpandangan bahwa semua
agama itu sama dan identic, tetapi sedikitnya memberi ruang pengakuan dan
penghargaan adanya kebenaran pada agama lain, sembari menghayati dan meyakini
akan kebenaran dan keunggulan agamanya sendiri, pluralisme bukan berarti
relativis yang tidak memiliki pendirian.[9]
·
Azyumardi Azra
Menurutnya, pluralisme siakui oleh Islam
dalam kerangka normatif dan historis.[10] Sikap yang paling tepat
adalah dengan mengembangkan sikap saling menghormati, toleran dan menghargai
pluralitas. Penghargaan inilah yang menjadi landasan penting bagi terbangunnya
kerukunan. Perspektif kerukunan dalam pandangan Islam berkaitan erat dengan
perspektif manusia dan kemanusiaan. Salah satu landasan Islam untuk bersikap
toleransi adalah Muhammad yang menetapkan Puagam Madinah. Puncak dari teologi
kerukunan di Indonesia adalah penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi nasional pada 18 Agustus 1995.
Jadi, semua agama
dunia adalah sah sebagai jalan untuk melaksanakan penyembahan kepada Allah dan
hidup yang benar. Islam sebagai salah satu agama dunia berada pada posisi yang
sama sebagaimana halnya agama-agama lainnya yang sungguh-sungguh melaksanakan
unsur-unsur Al-Islam.[11]
3.
Peranan Kristen-Islam
dalam Konteks Indonesia yang Plural
Sebelum membahas peranan kedua agama ini dalam konteks Negara Indonesia
yang plural, penulis akan memaparkan solusi-solusi agar sikap toleransi itu
tetap terjaga dan utuh. Solusinya yaitu:[12]
·
Hidup berdampingan secara damai dan
kesamaan hak (co-existence)
·
Keterbukaan perihal pentingnya pada
kelompok lain (awarness)
·
Pengenalan terhadap kelompok lain sembari
melakukan dialog (mutual learning)
·
Pemahaman atas kelompok lain (understanding)
·
Penghormatan, pengakuan dan memberikan
konstribusi pada kelompok lain (respect)
·
Penghargaan pada persamaan dan perbedaan,
serta merayakan kemajemukan (value and celebration).
Hanya satu peran yang ingin penulis ungkapkan dalam paper ini tetapi
cakupannya dan dampaknya sangat besar yaitu “peran kedua agama ini bagi
perdamaian bangsa Indonesia.” Dalam paper ini, mulai dari perjumpaan awal
Kristen-Islam di Indonesia, sudah terjadi konflik. Namun, dalam perjalanannya
kedua agama ini mulai saling terbuka dan mulai menghargai satu dengan yang
lain. Dalam masyarakat yang kental dengan kemajemukan seperti negara Indonesia,
modal terbesar demi terwujudnya perdamaian khususnya antar umat beragma yaitu
toleransi. Sebagai dua agama yang berpengaruh di Indonesia (walaupun jumlah
umat Kristen tidak sebanyak umat Islam), sangat diperlukan keduanya untuk hidup
damai. Ketika kedua agama ini berkonflik akan timbul dampak yang besar yang
dapat dirasakan oleh semua masyarakat. Oleh sebab itu, sangat penting untuk
menjaga keutuhan dari kedua agama ini. Walaupun terkadang ada konflik tetapi
tidak sampai berimbas pada perang di seluruh Indonesia. Penulis sangat yakin
itu karena penganut kedua agama ini memiliki rasa toleransi yang tinnggi. Dalam
peranan yang sangat penting ini ada dua upaya yang penulis paparkan:
1. Agama Bersikap Inklusif
Inklusif adalah kata sifat yang artinya terbuka. Tidak mengklaim
kebenaran hanya milik agamanya dan agama yang lain sesat. Jika setiap agama dan
penganutnya mampu menerima pluralisme yang ada Indonesia maka tentu akan ada
sikap toleransi yang berujung bagi perdamaian dan kesejahteraan.
2. Dialog Umat Beragama
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa dialog dapat membuat kita
saling memahami satau dengan yang lain. Melalui dialog, kita akan belajar
tentang agama lain agar kita lebih bersikap rendah hati terhadap perbedaan atau
kemajemukan yang ada. Ketika kita mampu mengerti dan memahami agama orang lain
maka pastilah kita akan saling menerima satu dengan yang lain.
BAB III
KESIMPULAN
Agama-agama yang
berjalan bersama tentu mengalami proses dan juga dinamika. Proses itu bisa
dalam waktu singkat dan juga dalam jangka waktu yang lebih lama. Namun, yang
harus diperhatikan adalah bangaimana cara menyikapi setiap proses dan dinamika
yang terjadi sehingga ada hikmat yang dapat kita ambil yang nantinya menjadi
titik tolak untuk berbenah dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Proses inipun
dialami oleh Kristen-Islam yang turut berproses di tengah-tengah negara yang
kaya akan berbagai hal. Konteks plural ini adalah sebuah kondisi yang sangat
sensitif. Namun sangat indah bila mampu diolah dengan baik. Perjumpaan awal
Islam dan Kristen di Indonesia tidak lepas dari pergumulan, gesekan bahkan
konflik yang menyebabkan pertumpahan darah. Namun, saat pikiran para
penganutnya mulai terbuka, maka eksklusivitas yang cenderung radikal itu diubah
menjadi inklusivitas yang tentunya
membuat hidup lebih aman dan nyaman. Setiap orang tentunya akan bahagia ketika
hidup dalam perdamaian. Walaupun sekarang terkadang masih terjadi konflik yang
mengatas-namakan agama, namun masyarakat Indonesia secara umum tidak mudah
terprovokasi. Penulis menganalisa hal itu didasari karena rasa toleransi dan
pikiran yang lebih inklusif sudah tertanam di hati dan pikiran sebagian besar
masyarakat Indonesia. Sekali lagi, Toleransi ada pondasi utama keutuhan
masyarakat atau negara yang plural.
Daftar Pustaka
Aritonang Jan. S. Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Naim Ngainun. Islam
dan Pluralisme Agama, Dinamika Perebutan Makna. Yogyakarta: Aura Pustaka,
2014.
Titaley John A. Religiositas
di Alinea Tiga, Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-agama.
Salatiga: UKSW, 2013.
Darmaputera Eka. Pancasila
Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya. BPK Gunung Mulia, 1988.
Woly Nicolas J. Perjumpaan
di Serambi Iman, Suatu Studi tentang Pandangan Para Teolog Muslim dan Kristen
mengenai Hubungan Antaragama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
[1] Diungkapkan oleh Prof.
Dr. Azyumardi Azra, MA dalam kata pengantar buku yang ditulis oleh Pdt. Dr. Jan
S. Aritonang yaitu “Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia.”
[3] John A. Titaley., Religiositas
di Alinea Tiga Pluralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agama-agama., hlm.169.
[5] Sembohyan Indonesia memang
sangat tepat bagi realita kehidupan yang sangat majemuk. Tidak bisa diragukan
lagi tentang pluralitas di Indonesia. Tetapi meskipun begitu kesatuan di
Indonesia tetap bisa tercipta. Satu hal yang menarik bahwa agama Islam adalah
agama yang penganutnya sebanyak 85,2% dari seluruh penduduk Indonesia. Tetapi
Indonesia bukan negara Islam. inilah bukti “keampuhan” dari ide-ide Ir.
Soekarno yang tertuang dalam Pancasila yang akhirnya menjadi dasar negara di
Indonesia. Saya pernah membaca sebuah artikel di mana ada 12 orang yang berasal
dari negara Afganistan yang datang ke Universitas Gajah Mada karena kagum
terhadap Pancasila yang dapat mempersatukan keberagaman dari berbagai bidang di
Indonesia.
[6] Ringkasan dari kesimpulan
buku yang ditulis oleh Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam
di Indonesia.
[12] Berdasarkan materi bapak
Zuhaeri dalam Seminar Nasional pada tanggal 1 Desember 2015 di UIN Alauddin
Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar