Jumat, 16 November 2018

Islam-Kristen Berjalan Bersama dalam Konteks Indonesia yang Plural (oleh Sepson Sambara)


BAB I
PENDAHULUAN
            Islam dan Kristen adalah agama yang sering disebut agama samawi atau agama Abrahamik. Kedua agama ini berasal dari satu leluhur yaitu Abraham. Namun, meskipun kenyataan atau realitanya seperti itu, tidak jarang perjumpaan kedua agama samawi ini berdampak buruk karena kurangnya keterbukaan dan kurangnya pemahaman yang baik tentang inti pengajarang dari masing-masing agama ini. Selain dari pada itu, perjumpaan Islam-Kristen dalam lapangan politik yang disertai dengan kepentingan individu atau kelompok tertentu juga menjadi alasan terjadinya persaingan, konflik dan bahkan kekerasan komunal. Hal ini dapat dilihat dari perjumpaan awal Islam-Kristen di Indonesia. Sejarah yang menggunakan kerangka politik – meski menyangkut agama yang menganjurkan perdamaian dan kasih-mengasihi di antara umat manusia secara keseluruhan – secara tipikal hampir secara keseluruhan dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Inilah yang disebut sebagai “sejarah konvensional.” Dalam perkembangan ilmu sejarah maka muncullah “sejarah sosial” sebagai usaha untuk menandingi “sejarah politik atau sejarah konvensional.”[1] Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam menjadi sangat relevan karena perjumpaan terjadi diluar dari bidang politik yaitu sisi kehidupan yang lain yang berlangsung secara saling pengertian dan damai yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai di antara para pemeluk agama yang berbeda.
            Berdasarkan tema yang saya pilih ini, penulis ingin menekankan tentang peranan yang dilakukan oleh kedua agama samawi ini ditengah-tengah kemajemukan atau pluralitas Negara Indonesia. Kata “berjalan bersama” pada tema sebenarnya masih bersifat abstrak karena dalam proses perjalanan itu bisa saja terjadi konflik atau gesekan dan bisa juga keselarasan yang berujung pada aksi yang nyata untuk membangun negara ini. Namun meskipun seperti itu, dalam paper ini penulis lebih menekankan sisi positif dari proses berjalan bersama kedua agama ini. Kemudian, kata “plural” yang ada pada tema ini jangan diartikan secara sempit dan terbatas pada pluralitas agama. Tetapi, plural di sini termasuk budaya, bahasa, etnis dan lain sebagainya. Memang pembahasan ini terlalu luas, sehingga penulis akan membatasi pembahasan ini dalam kemajemukan atau pluralitas agama yang dimiliki oleh Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN/ISI
            Sebelum lebih jauh membahas pokok ini, penting untuk memahami arti atau makna dari kata plural. Jika ditinjau secara etimologi, plural berarti banyak atau berbilang atau “bentuk kata yang digunakan untuk menunjukkan lebih sari satu.”[2] Sedangkan pluralisme adalah kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan bersama manusia, terdapat keragaman suku, ras, budaya dan agama.[3] Berdasarkan penjelasan ini, maka sekali lagi bahwa plural tidak boleh dibatasi sebatas kemejemukan agama-agama yang ada di Indonesia. Konteks plural di Indonesia sangat luas cakupannya. Secara geografis, Indonesia memiliki 17.667 pulau besar dan kecil, wilayah darat hanya seluas 735.000 mil persegi di mana seluruh luas wilayahnya yaitu 4 juta mil persegi. Ditinjau dari segi etnis dan budaya, Indonesia juag termasuk negara yang paling heterogen di dunia. Terdapat lebih dari 300 kelompok etnis dan 50 bahasa yang satu sama lain amat berbeda. Belum lagi jika dimasukkan keturunan Cina, Arab dan India yang telah hidup lama di Indonesia. Tentang kehidupan beragama, kita dapat menyebutkan bahwa semua agama besar di dunia ada di Indonesia, kecuali Yudaisme, dan semua berkembang dengan baik.[4] Selain agama-agama besar yang diakui itu, terdapat pula agama-agama lokal atau suku yang juga terbilang banyak. Jadi memang benar bahwa Indonesia hidup di tengah-tengah kepelbagaian dari berbagai bidang namun tetap bisa bersatu.[5]
            Seperti yang penulis telah ungkapkan dalam Bab I, bahwa penulis akan lebih fokus atau menekankan tentang peranan dan sikap toleransi dari proses perjalanan berdampingan dari Islam-Kristen. Namun sebelum membahas itu, penting untuk membahas bagaimana perjumpaan dari kedua agama ini sehingga mampu berjalan beriringan. Kemudian pandangan kedua agama ini menyangkut konteks Indonesia yang plural. Setelah itu, barulah kita akan melihat, apa saja peranan kedua agama ini atau apa saja hasil yang diperoleh dalam proses “berjalan bersama” itu.

1.      Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia.[6]
Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia berlangsung sejak abad ke-16 hingga sekarang (awal abad ke-21) sangat dipengaruhi oleh perkembangan, konstelasi dan kebijakan politik, baik dalam skala nasional maupun internasional. Dalam sebagian besar proses perjumpaan itu, agama Islam sudah terlebih dulu hadir di bumi Nusantara. Tetapi dalam kasus-kasus tertentu agama Kristen lebih dulu datang, walaupun tidak selalu lebih dulu berhasil diterima oleh masyarakat. ketika kekristenan di bawa oleh penginjil dari Barat, wilayah persebaran agama Islam belum meliputi seluruh Nusantara dan jumpal penganut agama Islam ketika itu masih terbatas. Penyebaran agama Islam justru berlangsung pesat setelah kekristenan tiba di Nusantara. Sejak awal perjumpaan, pemahaman dan penilaian masing-masing  pihak terhadap pihak lain lebih sering secara negative dari pada positif. Hal ini terutama disebabkan oleh warisan yang diterima masing-masing puhak yang sumbernya dari luar Indonesia. Di kalangan Kristen tertentu, bahkan sampai sekarang umat Islam hampir selalu dilihat sebagai orang-orang yang membutuhkan dan belum menemukan kebenaran dan keselamatan yang sejati dan sepenuhnya. Akibatnya, perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, terutama di lapangan politik ditandai oleh konflik yang acap kali sangat berdara.
Salah satu pokok soal yang dipertikaikan adalah hubungan antara agama dan negara atau pemerintah. Pada saat itu dari kedua pihak selalu berusaha mengikat dan menyatukan antara agama dengan negara sehingga akan memberikan keuntungan yang baik bagi agama itu sendiri. Namun, dalam perjalanannya pemerintah baik pada zaman penajajahan ataupun pada zaman merdeka, juga tidak menghendaki negara Indonesia menjadi negara Islam, atau Islam dijadikan sebagai dasar negara, sehingga dari kalangan Islam sendriri sering muncul tudingan bahwa pemerintah bercorak sekuler. Tetapi tidak semua kalangan Islam di Indoneisa mendukung gagasan Negara Islam. paling tidak kaum neo-modernis memperlihatkan penolakan kepada agama Islam sambil mendukung penegakan HAM dan ini menjadi sumbangan yang sangat positif bagi perkembangan hubungan dan kerjasama di antara Islam dan Kristen.
Kedua agama ini, Kristen dan Islam, sama-sama mengklaim diri bersifat missioner dan universal. Karena itu sebenarnya wajar kalau keduanya mendorong penganutnya untuk menyiarkan dan menyebarluaskan agamanya, yang diyakini berisi banyak hal yang sangat baik dan mulia, bahkan yang berasal dari Tuhan. Jadi, yang mengganggu perasaan kalangan Islam bukanlah semata-mata klaim kalangan Kristen sebagai satu-satunya pemilik keselamatan dan kebenaran, melainkan adalah cara-cara orang Kristen menyebarkan agama atau keyakinannya.
Ada sebuah ataupun beberapa lapangan yang terbuka dan bidang kehidupan ataupun momen-momen tertentu di mana kalangan Islam dan Kristen dapat bekerja sama dengan baik. Ketika umat Islam dan Kristen berada dalam ikatan sosial-kultural yang sama, seperti yang sudah terlihat di Maluku, Jawa dan Sumatera, hubungan di antara mereka relative baik. Tetapi ketika ikatan sosial-kultural itu diganti atau disusupi oleh kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan politik tertentu, maka hubungan itu menjadi rusak. Tetapi ada pengecualian pada masa revolusi fisik atau masa perjuangan kemerdekaan. Sejak akhir 1960-an semakin kuat kesadaran dan pemahaman – walaupun tidak di seluruh kalangan Kristen – tentang kesederajatan dan tentang pentingnya saling menghargai dan menghormati kepercayaan masing-masing. Sementara itu, di kalangan Islam Indonesia pun sejak 1970-an muncul golongan yang lazim disebut Santri Neo-Modernis, yang sangat giat mengembangkan sikap terbuka, dialogis dan inklusif terhadap agama lain. karena itulah sejak waktu itu, wadah dan forum dialog semakin subur. Sejak 1970-an, terutama 1990-an, seiring dengan semakin berkembangnya gagasan dan kegiatan dialog, maka semakin banyak tulisan-tulisan yang memperlihatkan sikap saling memahami dan menghormati, serta kemungkinan untuk bekerjasama dan baik karya penulis asli Indonesia, maupun karya terjemahan. Bahkan tidak sedikit karya kalangan Kristen ataupun sekuler Barat diterbitkan oleh penerbit Islam.

2.      Pandangan Kristen dan Islam Terhadap Konteks Indonesia yang Plural
Pluralisme agama sebagai sebuah konsep ataupun praktik pada kenyataannya dimaknai bermacam-macam. Permahaman yang beraneka ragam terhadap pluralisme ini seyogyanya dipahami sebagai sebuah dinamika kehidupan yang tidak mungkin untuk dihindari. Keragaman pemaknaan tersebut terjadi karena berbagai faktor.[7]

1.      Pandangan Kristen
Dalam membahas pandangan tentang konteks plural atau pluralitas mau tidak mau akan dikaitkan dengan sikap toleransi. Agama Kristen memiliki begitu banyak aliran-aliran yang terpisah secara umum karena perbedaan penafsiran. Sama halnya dengan pandangan agama Kristen atau umat Kristen tentang pluralitas tentulah tidak semua memiliki pandangan yang sama. Tetapi di sini, penulis ingin menitikberatkan pada aliran calvinis yang juga dianut oleh penulis. Menyangkut sikap toleransi kita dapat mengatakan  bahwa agama Kristen itu sebenarnya inklusivistis, hanya dalam pengamalannya tidak selalu demikian, bahkan sering sangat ekslusivisme. Bagaimanakah yang seharusnya? Ajaran Kristen yang benar menurut Pdt. Dr. Th.Kobong, M.Th adalah bahwa Agama Kristen itu seharusnya insklusivistik, sebab kasih Allah merangkul (menginklud) semua manusia (berdasarkan Yoh.3:16). Jadi dasar inklusivisme agama Kristen adalah kasih Allah akan semua orang. Dengan demikian tidak  ada alasan untk bersikap arogan. Allah adalah kasih dan oleh sebab itu Yesus yang adalah pengejewantahan kasih Allah itu  adalah juga inklusif. Namun, Ia sekaligus juga eksklusif sebagai kasih, oleh karena kasih tidak bisa menerima atau mentoleransi yang bukan kasih. Itulah dialetika kasih dan dialetika iman Kristen. Selain dari itu alasan yang atau pandangan yang lain adalah:
1.      keselamatan ditawarkan kepada semua orang
2.      Kasih Allah tidak terbatas, Allah berdaulat menyelamatkan di luar jalur yang sudah dinyatakanNya
3.      Keselamatan kerena anugerah, sehingga tidak ada alasan untuk arogan dan sombong (justru kita harus solider terhadap semua orang berdosa).
4.      Solidaritas itu menjadikan kita rendah hati dan menawarkan jalan keselamatan itu kepada semua orang tanpa paksaan
5.      Sikap pluralisme adalah kemampuan untuk menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya
6.      Berdasarkan providentia Dei kita percaya bahwa Allah hadir dalam semua kebudayaan dan agama, jadi di dalam sesuatu agama dan kebudayaan minimal ada unsur-unsur kebenaran. 

2.      Pandangan Islam
Pandangan Islam mengenai pluralitas di Indonesia tidak jauh berbeda dengan  pandangan Kristen. Begitupun dalam Islam ada yang pro terhadap pluralisme da nada juga yang kontra. Pada tanggal 29 Juli 2005 dalam Musyawarah Nasioanal ke-7 MUI mengeluarkan fatwa. Salah satunya mengharamkan paham pluralisme. Ada tiga orang tokoh yang bertentangan dengan itu:
·         M. Amin Abdullah
Bagi Pak Amin, pluralisme agama merupakan sebuah keniscayaan sekaligus kebutuhan. Manusia tidak mungkin menghilangkan pluralisme yang telah diciptakan  oleh Tuhan. Dialog antar umat beragama berkeyakinan bahwa “keselamatan” sudah ada dalam setiap agama besar dan kecil yang ada.[8]
·         Komaruddin Hidayat
Pak Komaruddin melihat pluralisme agama sebagai sebuah keniscayaan, sebagaimana juga keniscayaan adanya pluralitas bahasa dan etnis. Pluralis menurutnya tidak berarti berpandangan bahwa semua agama itu sama dan identic, tetapi sedikitnya memberi ruang pengakuan dan penghargaan adanya kebenaran pada agama lain, sembari menghayati dan meyakini akan kebenaran dan keunggulan agamanya sendiri, pluralisme bukan berarti relativis yang tidak memiliki pendirian.[9]
·         Azyumardi Azra
Menurutnya, pluralisme siakui oleh Islam dalam kerangka normatif dan historis.[10] Sikap yang paling tepat adalah dengan mengembangkan sikap saling menghormati, toleran dan menghargai pluralitas. Penghargaan inilah yang menjadi landasan penting bagi terbangunnya kerukunan. Perspektif kerukunan dalam pandangan Islam berkaitan erat dengan perspektif manusia dan kemanusiaan. Salah satu landasan Islam untuk bersikap toleransi adalah Muhammad yang menetapkan Puagam Madinah. Puncak dari teologi kerukunan di Indonesia adalah penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional pada 18 Agustus 1995.
Jadi, semua agama dunia adalah sah sebagai jalan untuk melaksanakan penyembahan kepada Allah dan hidup yang benar. Islam sebagai salah satu agama dunia berada pada posisi yang sama sebagaimana halnya agama-agama lainnya yang sungguh-sungguh melaksanakan unsur-unsur Al-Islam.[11]

3.      Peranan Kristen-Islam dalam Konteks Indonesia yang Plural
Sebelum membahas peranan kedua agama ini dalam konteks Negara Indonesia yang plural, penulis akan memaparkan solusi-solusi agar sikap toleransi itu tetap terjaga dan utuh. Solusinya yaitu:[12]
·         Hidup berdampingan secara damai dan kesamaan hak (co-existence)
·         Keterbukaan perihal pentingnya pada kelompok lain (awarness)
·         Pengenalan terhadap kelompok lain sembari melakukan dialog (mutual learning)
·         Pemahaman atas kelompok lain (understanding)
·         Penghormatan, pengakuan dan memberikan konstribusi pada kelompok lain (respect)
·         Penghargaan pada persamaan dan perbedaan, serta merayakan kemajemukan (value and celebration).
Hanya satu peran yang ingin penulis ungkapkan dalam paper ini tetapi cakupannya dan dampaknya sangat besar yaitu “peran kedua agama ini bagi perdamaian bangsa Indonesia.” Dalam paper ini, mulai dari perjumpaan awal Kristen-Islam di Indonesia, sudah terjadi konflik. Namun, dalam perjalanannya kedua agama ini mulai saling terbuka dan mulai menghargai satu dengan yang lain. Dalam masyarakat yang kental dengan kemajemukan seperti negara Indonesia, modal terbesar demi terwujudnya perdamaian khususnya antar umat beragma yaitu toleransi. Sebagai dua agama yang berpengaruh di Indonesia (walaupun jumlah umat Kristen tidak sebanyak umat Islam), sangat diperlukan keduanya untuk hidup damai. Ketika kedua agama ini berkonflik akan timbul dampak yang besar yang dapat dirasakan oleh semua masyarakat. Oleh sebab itu, sangat penting untuk menjaga keutuhan dari kedua agama ini. Walaupun terkadang ada konflik tetapi tidak sampai berimbas pada perang di seluruh Indonesia. Penulis sangat yakin itu karena penganut kedua agama ini memiliki rasa toleransi yang tinnggi. Dalam peranan yang sangat penting ini ada dua upaya yang penulis paparkan:
1.      Agama Bersikap Inklusif
Inklusif adalah kata sifat yang artinya terbuka. Tidak mengklaim kebenaran hanya milik agamanya dan agama yang lain sesat. Jika setiap agama dan penganutnya mampu menerima pluralisme yang ada Indonesia maka tentu akan ada sikap toleransi yang berujung bagi perdamaian dan kesejahteraan.
2.      Dialog Umat Beragama
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa dialog dapat membuat kita saling memahami satau dengan yang lain. Melalui dialog, kita akan belajar tentang agama lain agar kita lebih bersikap rendah hati terhadap perbedaan atau kemajemukan yang ada. Ketika kita mampu mengerti dan memahami agama orang lain maka pastilah kita akan saling menerima satu dengan yang lain.


BAB III
KESIMPULAN
Agama-agama yang berjalan bersama tentu mengalami proses dan juga dinamika. Proses itu bisa dalam waktu singkat dan juga dalam jangka waktu yang lebih lama. Namun, yang harus diperhatikan adalah bangaimana cara menyikapi setiap proses dan dinamika yang terjadi sehingga ada hikmat yang dapat kita ambil yang nantinya menjadi titik tolak untuk berbenah dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Proses inipun dialami oleh Kristen-Islam yang turut berproses di tengah-tengah negara yang kaya akan berbagai hal. Konteks plural ini adalah sebuah kondisi yang sangat sensitif. Namun sangat indah bila mampu diolah dengan baik. Perjumpaan awal Islam dan Kristen di Indonesia tidak lepas dari pergumulan, gesekan bahkan konflik yang menyebabkan pertumpahan darah. Namun, saat pikiran para penganutnya mulai terbuka, maka eksklusivitas yang cenderung radikal itu diubah menjadi  inklusivitas yang tentunya membuat hidup lebih aman dan nyaman. Setiap orang tentunya akan bahagia ketika hidup dalam perdamaian. Walaupun sekarang terkadang masih terjadi konflik yang mengatas-namakan agama, namun masyarakat Indonesia secara umum tidak mudah terprovokasi. Penulis menganalisa hal itu didasari karena rasa toleransi dan pikiran yang lebih inklusif sudah tertanam di hati dan pikiran sebagian besar masyarakat Indonesia. Sekali lagi, Toleransi ada pondasi utama keutuhan masyarakat atau negara yang plural.


Daftar Pustaka
Aritonang Jan. S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Naim Ngainun. Islam dan Pluralisme Agama, Dinamika Perebutan Makna. Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014.
Titaley John A. Religiositas di Alinea Tiga, Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-agama. Salatiga: UKSW, 2013.
Darmaputera Eka. Pancasila Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya. BPK Gunung Mulia, 1988.
Woly Nicolas J. Perjumpaan di Serambi Iman, Suatu Studi tentang Pandangan Para Teolog Muslim dan Kristen mengenai Hubungan Antaragama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.


[1] Diungkapkan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dalam kata pengantar buku yang ditulis oleh Pdt. Dr. Jan S. Aritonang yaitu “Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia.”
[2] Ngainun Naim, Islam dan Pluralisme Agama., hlm. 6.
[3] John A. Titaley., Religiositas di Alinea Tiga Pluralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agama-agama., hlm.169.
[4] Eka Darmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas., hlm. 14.
[5] Sembohyan Indonesia memang sangat tepat bagi realita kehidupan yang sangat majemuk. Tidak bisa diragukan lagi tentang pluralitas di Indonesia. Tetapi meskipun begitu kesatuan di Indonesia tetap bisa tercipta. Satu hal yang menarik bahwa agama Islam adalah agama yang penganutnya sebanyak 85,2% dari seluruh penduduk Indonesia. Tetapi Indonesia bukan negara Islam. inilah bukti “keampuhan” dari ide-ide Ir. Soekarno yang tertuang dalam Pancasila yang akhirnya menjadi dasar negara di Indonesia. Saya pernah membaca sebuah artikel di mana ada 12 orang yang berasal dari negara Afganistan yang datang ke Universitas Gajah Mada karena kagum terhadap Pancasila yang dapat mempersatukan keberagaman dari berbagai bidang di Indonesia.
[6] Ringkasan dari kesimpulan buku yang ditulis oleh Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia.
[7] Ngainun Naim, Islam dan Pluralisme Agama., hlm. 46
[8] Ngainun Naim, Islam dan Pluralime Agama., hlm. 49 dan 50.
[9] Ibid., hlm. 53.
[10] Ibid., hlm. 56.
[11] Nicolas J. Woly, Pejumpaan di Serambi Iman., hlm.140.
[12] Berdasarkan materi bapak Zuhaeri dalam Seminar Nasional pada tanggal 1 Desember 2015 di UIN Alauddin Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19 PANDEMIK COVID-19 Sejak World Health Or...