Kamis, 15 November 2018

Misi Sebagai Kontekstual (oleh Sepson Sambara)


BAB I
PENDAHULUAN
          Kekristenan berkaitan erat dengan misi. Perintah untuk memberitakan Kabar Baik dan menjadi saksi Sang Kepala Kekristenan seakan menjadi identitas para penganutNya. Identitas ini dikemudian hari (bukan masa sekarang)[1] menjadi keharusan yang tidak memerdulikan aspek-aspek kehidupan lainnya demi pencapaian misi tersebut. Inilah yang membuat dikemudian hari para penganut kekristenan mengusahakan misi pekabaran Injil ke pelbagai tempat meskipun harus mengorbankan banyak hal.
            Teologi-teologi kristen, lahir dan tumbuh di daerah Barat. Sebagian besar bahkan hampir semua misionaris (orang Belanda memakai kata Zending) berasal dari Barat. Oleh karena itu, para misionaris ini menganut teologi Barat. Teologi inilah yang biasa disebut “the Theolgy” (Sang Teologi) yang disebarkan ke berbagai negara-negara di mana para misionaris melangsungkan misi.
            Di beberapa negara atau daerah, muncul teologi-teologi baru, misalnya; Teologi Pembebesan, Teologi Minjung, dan lain sebagainya. Mari kita fokus pada salah satu teologi di atas yaitu Teologi pembebasan. Teologi Pembebasan lahir di daerah Amerika Latin yang dilatarbelakangi oleh situasi saat itu di mana terjadi pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Para kaum tak bermodal atau para petani miskin[2], menjadi sasaran penindasan. Gereja pada saat itu bergabung dengan golongan kaya dan militer.[3] Beberapa teolog prihatin dan mengusahakan sebuah teologi yang dapat membebaskan kaum golongan terendah dari keterpurukan sosial namun usaha itu selalu gagal. Nanti pada tahun 1973, Gustavo Gutieres menerbitkan sebuah buku yang berjudul “A Theology of Liberation” yang menjadi langkah awal dan pencetusan Teologi Pembebasan. Teologi-teologi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap Sang Teologi.
            Berdasarkan hal di atas, maka muncul pertanyaan bahwa mengapa Injil atau Kabar Baik yang dibawa oleh para misionaris itu tidak dirasakan oleh semua orang secara khusus kaum golongan bawah? Inilah yang membuktikan bahwa ada masalah dalam pekabaran Injil atau misi yang dilakukan oleh para misionaris dan hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.




BAB II
MISI KRISTEN
A.    PEMAHAMAN TENTANG TEMA
Kata misi secara umum adalah upaya atau usaha untuk mencapai visi. Dalam kekristenan misi dapat dikatakan sebagai suatu proses untuk memperkenalkan atau memberitakan kabar sukacita. Namun, berdasarkan tema utama yaitu, “Misi Sebagai Kontekstualisasi”, dapat dilihat bahwa misi di sini diartikan sebagai sebuah alat, sedangkan kontekstualisasi atau indigenisasi (menurut Shoki Coe maknanya sejajar tetapi indigenisasi lebih tradisional) berarti sambutan terhadap Kabar Baik di dalam wadah atau kerangka kebudayaan tradisional.[4] Dengan melihat tema dan arti kata dari tema ini, maka menurut penulis bahwa “Misi Sebagai Kontekstualisasi” merupakan penilaian kembali atau koreksi terhadap paradigma misi klasik. Jadi, di sini konteks sebagai “tuan” yang menilai motode misi (konteks pemegang otoritas).
B.     MISI KRISTEN DAN PENYEBARANNYA
Sama dengan hal-hal lain, misi juga mengalami perkembangan. Bahkan, beberapa ahli dalam bidang ini membagi perkembangan misi dalam beberapa periode (periodesasi). Salah satu ahli tersebut yaitu Prof. K.S. Latourette. Ia membagi perkembangan misi menjadi tujuh periode.[5] Namun, dalam tulisan ini penulis merasa tidak perlu untuk membagi dan menjelaskan perkembangan misi dari masa ke masa karena itu bukan menjadi fokus utama dalam tema ini.
Misi kristen berlatarbelakang dari ajaran Tuhan Yesus (juga diturunkan kepada Paulus)  dalam kitab Injil. Beberapa teks dalam Injil yang berbicara tentang misi untuk pekabaran Injil yaitu, Matius 24:14; 28:18-20, Markus 13:10, dll. Dari beberapa teks Alkitab ini, mari kita fokus terhadap satu diantaranya yaitu Matius 28:18-20. Terkadang dan mungkin dahulu, orang menafsirkan teks ini dengan keliru. Menurut penulis, teks ini menjadi salah satu spirit bagi para misionaris dalam usaha pekabaran Injil di berbagai daerah ataupun negara.
Kesalahan penafsiran itulah yang membuat para misionaris dengan giat bermisi sehingga mengabaikan aspek-aspek lain dari konteks atau lokus mereka melakukan misi. Seperti yang penulis katakan di atas bahwa para misionaris ini lahir dan tumbuh dalam budaya dan teologi Barat. Orang Barat selalu merasa superior. Mereka menganggap bahwa hanya mereka yang benar. Begitupun dengan hasil penafsirannya, hanya merekalah yang paling benar sedangkan yang lain keliru dalam penafsirannya. Karena Alasan inilah sehingga teologi Barat yang biasa disebut The Theology (Sang Teologi) atau Teologi satu-satunya yang memang satu-satunya yang dianggap benar dan “berkuasa”. Teologi ini dianggap bersifat universal sehingga teologi inilah yang diperkenalkan bahkan dalam situasi-situasi tertentu dipaksakan untuk diterapkan. Teologi Barat mempunyai keabsahan universal, khususnya karena ia adalah teologi yang dominan.[6]
Praksis misi klasik yang dilakukan para misionaris adalah spirit kristenisasi. Misi yang mereka pahami (mungkin juga akibat penafsiran yang keliru dari teks yang telah disoroti di atas) adalah mencari jiwa-jiwa untuk dikristenkan. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa mereka mengutamakan kuantitas daripada kualitas iman jemaat pada saat itu. Paham ini berimbas pada lemahnya dasar iman bagi para penganut kristen “baru” sehingga sangat mudah untuk dipengaruhi dengan ajaran-ajaran lain. Tolok ukur kesuksesan misi mereka bukan dilihat dari kualitas melainkan kuantitas jiwa yang berhasil dikristenkan.
Spirit kristenisasi membuat para misionaris ini melakukan berbagai cara demi kesuksesan misi Pekabaran Injil. Tidak bisa disangkal bahwa demi mencapai tujuan misi, mereka melakukan pemaksaan bahkan pembunuhan. Selain itu, mereka juga menggunakan jalur penjajahan (misi kristen dibonceng oleh penjajahan) sehingga agama kristen dikenal sebagai agama penjajah.[7]
Salah satu contoh misionaris yang mengabaikan aspek penting dalam lokus bermisinya adalah misionaris pertama di Toraja yaitu, Anthonie A. van de Loosdreecht. Ia adalah seorang misionaris dari Belanda yang diutus ke Indonesia untuk melakukan misi pekabaran Injil. Ia mencoba belajar bahasa Toraja dengan cepat, sehingga ia dapat berbincang dengan penduduk desa.[8] Memang benar bahwa metode yang dilakukan oleh Anthonie A. van de Loosdreecht sudah kontekstual. Ia juga berusaha mengetahui tradisi masyarakat Toraja dan bahkan hal-hal praksis yang kecil dipelajarinya. Namun, kegagalan Anthonie A. van de Loosdreecht adalah  ia datang dengan ideologi Calvinis yang konservatif dalam artian unsur-unsur budaya Toraja harus dihapus karena tidak sesuai dengan ajaran kekristenan, sementara ia tidak mempelajari lebih jauh tentang filosofi budaya Toraja terlebih dahulu. Memang, terhadap agama dan kebudayaan lain, orang-orang Belanda Protestan tidak mempunyai pandangan yang lebih positif daripada orang-orang Barat lainnya pada zaman itu. Khususnya agama suku bagi mereka adalah takhyul belaka, atau malahan penyembahan iblis. Namun mereka tidak memiliki ideologi seperti portugis dan spanyol, yaitu rasa superioritas yang didukung oleh agama.[9] Penulis berani mengatakan bahwa hampir 100% masyarakat Toraja Kristen menilai Anthonie A. van de Loosdreecht sebagai seorang martir yang tidak bersalah. Pada kenyataannya jika kita menilai secara objektif maka penilainnya menjadi seperti yang ada di atas.[10] Namun, penulis juga tidak menyalahkan Anthonie A. van de Loosdreecht seutuhnya karena bagaimanapun ia tulus untuk menaburkan Injil di daerah Toraja.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kegagalan misi salah satunya dikarenakan para misionaris terlalu memaksakan paham mereka tentang misi kristen dan terlalu memaksakan pemahaman mereka tentang teologi yang memang tidak cocok untuk diterapkan pada suatu daerah atau konteks tertentu.
C.     WAWASAN YANG TERBUKA
Seiring perkembangan paradigma misi serta perkembangan Teologi, maka masyarakat-masyarakat lokal mulai merasakan bahwa Sang Teologi tidak relevan lagi diterapkan dalam konteks mereka. Mereka mulai sadar bahwa ada kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam kebudayaan atau aspek lain dalam kehidupan mereka yang tidak dijawab oleh Sang Teologi. Mereka juga merasa bahwa teologi yang mereka anut tidak bisa selalu bergantung dari luar atau dari Barat. Mau tidak mau, mereka harus mandiri dalam berteologi.
Oleh sebab itu, mereka kemudian mulai bergelut dan mengembangkan diri dalam bidang teologi dan akhirnya memuaskan di mana mereka mencetuskan sebuah teologi baru yang lebih menjawab kebutuhan dan sesuai dengan konteks hidup mereka. Tentu proses pencetusan teologi kontekstual itu tidak mudah. Kontekstualisasi memang sesuatu yang rumit karena harus memperhatikan banyak hal. Teologi yang berhasil dicetuskan beberapa sudah  disinggung di atas dan ditambah dengan yang lain, yaitu:
1.      Teologi Pembebasan,
2.      Teologi Kerbau,
3.      Teologi Minjung,
4.      Teologi Hitam,
5.      Teologi Akar Rumput, dll.
Pencetusan ini bukan hanya sekadar mendapatkan sebuah teologi yang lebih relevan dan kontekstual bahkan lebih dari itu yang sangat berarti bagi orang Barat adalah runtuhnya Sang Teologi sebagai satu-satunya teologi dan teologi yang bersifat universal (meskipun teologi Barat masih dominan).



BAB III
MISI SEBAGAI KONTEKSTUALISASI
            Berdasarkan pembahasan pada bab 2, maka jelaslah masalah yang dihadapi dalam melangsungkan misi pekabaran Injil. Belajar dari masalah dan beberapa “kegagalan” yang sudah dibahas, maka kita harus memiliki cara yang baru dalam melihat misi. Cara yang baru itu, tidak boleh mengabaikan konteks di mana misi atau teologi itu akan dikembangkan. Cara yang baru itu, harus dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang tidak terlepas dari kebudayaannya. Cara yang baru itu, harus lebih kreatif dan lebih menarik sehingga orang-orang memiliki ketertarikan terhadap misi kekristenan. Maka, cara yang baru itu juga bisa merubah paradigma berpikir “dunia” dari berbagai justifikasi negatif tentang kekristenan.
A.    CARA BARU MELIHAT MISI
Cara baru dalam melihat misi khususnya menyangkut tema besar di atas akan lebih memudahkan kita dalam melangsungkan misi kristen yang lebih kontekstual, yaitu:
1.      Misi sebagai Kontekstualisasi adalah penegasan bahwa Allah telah berpaling kepada dunia.[11]
Situasi dunia historis sebagai panggung aktivitas Allah, harus diikutsertakan sebagai suatu unsur pembentuk ke dalam pemahaman kita tentang misi. Dalam melakukan misiNya di dunia ini, Yesus tidak membubung tinggi ke langit melainkan menenggelamkan diriNya ke dalam keadaan-keadaan yang sama sekali riil dari orang-orang miskin, tertawan, buta, tertindas dan termarjinalkan. Sama seperti Yesus, gereja (kita) dalam misinya harus berani memihak demi kehidupan dan menentang maut, demi keadilan dan menentang penindasan. Jangan hanya melihat Yesus sebatas penyelamat dari dosa melainkan juga lihat bahwa Ia pun berkarya menjadi penyelamat dalam aspek sosial kemasyarakatan.
2.      Misi sebagai Kontekstualisasi melibatkan pembangunan berbagai teologi lokal.[12]
Tidak ada satu teologi yang berkuasa dan bersifat universal. Tidak ada satu teologi yang bersifat mutlak untuk diterima oleh semua penganut agama kristen. Kontekstualisasi mengusulkan sifat yang eksperimental dan sementara dari semua teologi. Kita membutuhkan teologi eksperimental di mana dialog yang terus-menerus berlangsung di antara teks dan konteks.[13] Teologi lokal ini tentunya seperti yang telah dilakukan para pendahulu yaitu melalui proses yang tidak mudah dan mempertimbangan banyak hal menyangkut teks dan konteks.
3.      Ide-ide kreatif dalam perealisasian kedua cara pandang baru terhadap misi.
Ide inilah yang akan menjadi aksi yang akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Mungkin dengan makna yang sama tapi bentuknya diubah menjadi lebih menarik. 
B.     MENDEFINISIKAN KEMBALI KATA “MISI”
Dalam mendefinisikan kembali kata misi, penulis mengacu kepada beberapa teks Alkitab:
·         Matius 5:16,
“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”
·         Yohanes 15:8,
“Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku.”
·         Yohanes 13:35.
“Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”
Berdasarkan ketiga teks di atas, maka dapat dikatakan bahwa misi bukan lagi sebagai tugas untuk menyebar atau memberitakan Kabar Baik dalam arti penginjilan lewat kata, melainkan tentang perbuatan atau dapat disebut menjadi “saksi hidup”, meneruskan teladan Kristus sebagai terang dalam konteks yang beragam. Dari sikap hidup atau perbuatan, maka orang akan mengenal bahwa pelaku yang berperan sebagai “terang” itu adalah murid Kristus. Jadi, bermisi melalui perbuatan kasih. Inilah menurut penulis misi yang kontekstual yang dapat menjawab kebutuhan ditengah-tengah konteks Timur secara khusus di Indonesia.



BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan isi dari makalah ini, penulis memberi kesimpulan bahwa kegagalan misi salah satunya dikarenakan para misionaris terlalu memaksakan paham mereka tentang misi kristen dan terlalu memaksakan pemahaman mereka tentang teologi yang memang tidak cocok untuk diterapkan pada suatu daerah atau konteks. Atas pengalaman itu, orang kristen kemudian diharuskan untuk membuat cara baru dalam memandang misi sehingga misi itu tidak “membosankan” dan bahkan lebih menjawab kebutuhan masyarakat lokal ataupun masyarakat yang lebih luas. Menarik untuk saat sekarang melihat misi tidak lagi sebagai sebuah usaha kristenisasi tetapi lebih kepada sikap hidup yang meneladani Yesus Kristus atau tindakan kasih.
B.     SARAN
Dengan melihat cara pandang baru dalam misi (bermisi), orang kristen sekarang dituntut untuk memikirkan ide-ide yang kreatif dan juga inovatif demi keeksisan misi di tengah-tengah dunia ini. Oleh sebab itu, demi pencapaian maksud di atas, maka gereja sebagai sentral dari misi kekristenan, harus membuka diri dan melihat serta belajar dari dunia luas tentang apa yang menjadi kebutuhan warga gereja atau warga masyarakat umum saat ini. Rumusan tentang misi boleh berbeda-beda, namun isi dan hakikat misi itu seharusnya sama sebab ia bersumber pada kehendak dan rencana Allah yang sama.[14] Dengan itu, maka misi kekristenan dapat lebih bermanfaat dan lebih menarik. Selain itu, kita juga sebagai gereja yang hidup harus selalu mengusahakan berbuat kasih. Perbuatan merupakan cara yang paling efektif dalam bermisi karena dapat dilakukan di manapun dan kapanpun.

DAFTAR PUSTAKA
Hesselgrave J. David dan Rommen Edward, Kontekstualisasi; Makna, Metode dan Model. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Kuiper de Arie, Missiologia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014.
Singgih E. Gerrit, Dari Israel ke Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Bosch J. David, Transformasi Misi Kristen; Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Muller dkk (editor), Dari Benih Terkecil, Menjadi Pohon; Kisah Anton dan Alida van de Loosdrecht. Jakarta: BPS Gereja Toraja, 2005.
End van den Th, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Kabanga’ Andreas dan Mangoting Aleksander (penyunting), Menabur dan Melayani: Bunga Rampai HUT ke-65 dan 40 Tahun Pelayanan Pdt. A. J. Anggui, M.Th. Rantepao: BPS Gereja Toraja, 2002.


[1] Hal ini menunjuk pada misi Gereja (pekabaran Injil) di abad-abad pertengahan bahkan reformasi yang sudah berkembang dan dikerjakan dengan giat di dunia Barat.
[2] Dalam buku David J. Hesselgrave dan Edward Rommen yang berjudul “Kontekstualisasi” dalam halaman 111, dikatakan bahwa ada empat golongan dalam masyarakat pada saat itu. Golongan yang paling rendah adalah para petani miskin yang dalam bahasa aslinya disebut Campesinos.
[3] David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 111.
[4] Prof. Emanuel G. Singgih. Dari Israel ke Asia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 1.
[5] Dr. Arie De Kuiper. Missiologia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014),  hlm. 57.
[6] David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015),  hlm. 654.
[7] Karena faktor ini, penganut agama atau keyakinan lain enggan terhadap agama kristen karena dianggap sebagai agama penajajah yang menindas mereka atau juga bertindak ekstrim terhadap mereka. Meskipun mungkin bukan para misionaris yang melakukan penindasan tetapi karena tunggangan mereka adalah penjajahan sehingga mereka turut dicap negatif (Hasil diskusi dengan Sdr. Elim Wilsen Taruk, S.Th, M.A).
[8] Ed. Muller, Jan E. Muller dan Ani Kartikasari. Dari Benih Terkecil, Tumbuh Menjadi Pohon: Kisah Anton dan Alida van de Loosdreecht, Misionaris Pertama ke Toraja. (Jakarta: BPS Gereja Toraja, 2005), hlm. Xvii.
[9] Dr. Th. Van den End. Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 25 dan 27.
[10] Tidak bisa disangkal juga bahwa Anthonie telah berbuat banyak kepada masyarakat Toraja dan bahkan masyarakat Toraja boleh menganyam pendidikan karena karyanya (tidak terlepas dari badan zending yang mengutusnya yaitu GZB yang berasal dari Belanda).
[11] Bosch. Transformasi Misi Kristen. hlm. 652.
[12] Ibid., hlm. 654.
[13] Bosch. Transformasi Misi Kristen. hlm. 655.
[14] Andreas Kabanga’ dan Aleksander Mangoting (penyunting). Menabur dan Melayan: Bunga Rampai HUT ke-65 dan 40 Tahun Pelayanan Pdt. A. J. Anggui, M.Th. (Rantepao: BPS Gereja Toraja, 2002), hlm. 23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19 PANDEMIK COVID-19 Sejak World Health Or...