BAB I
PENDAHULUAN
Membahas ilmu teologi, bukanlah membahas sesuatu
yang abstrak dan tanpa objek yang tidak dapat dilihat. Mengapa? Karena ilmu
teologi tidak hanya membahas tentang eksistensi Sang Pencipta, melainkan lebih
banyak membahas tentang eksistensi ciptaanNya. Justru, menurut Gerrit Singgih,
objek utama ilmu teologi adalah manusia yang bermasalah. Pokok utama teologi
menurut penulis, bukan membahas tentang keakanan, melainkan baiknya membahas
tentang segala sesuatu kini dan di sini (meskipun tujuan akhir hidup manusia
adalah keakanan). Wacana-wacana teologi, sebaiknya berbicara tentang persoalan
atau masalah-masalah diseputar kehidupan manusia.
Cakupan ilmu teologi dapat dikatakan sangatlah luas
karena membahas berbagai aspek kehidupan manusia. Ilmu teologi tidak hanya
membahas spiritual tetapi juga moral dan sikap hidup manusia dalam perjumpaan
dengan realitas konkret disekitarnya. Untuk menjawab kebutuhan aspek-aspek itu,
maka ilmu teologi dibagi menjadi beberapa bidang teologi, seperti: teologi
historika, teologi praktika, teologi sistematika, teologi biblika dan ilmu
umum. Kemudian dalam pembagian bidang teologi itu, terdapat beberapa
konsentrasi bidang di dalamnya, salah satunya Teologi kontekstual yang
merupakan salah satu konsentrasi bidang dari teologi sistematika.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEVINISI TEOLOGI KONTEKSTUAL
Sebelum membahas lebih dalam tentang devinisi
teologi kontekstual, akan dibahas terlebih dahulu apa pengertian kontekstual.
Hal ini dilakukan agar penilaian terhadap teologi kontekstual dapat lebih
objektif.
Kata kontekstual terdiri dari dua kata yaitu konteks
dan aktual. Istilah
konteks (context) digunakan dengan arti yang berbeda-beda. Dalam Hermeneutika, konteks mengacu pada kalimat yang
meyertai suatu bagian alkitab sebelumnya atau sesudahnya yang dikenal dengan
istilah konteks dekat dan konteks jauh. Selain itu, dalam bidang Hermeneutik,
konteks juga dipakai dengan arti kiasan, seperti konteks historis. Konteks
historis mengacu kepada situasi kondisi tertentu yang didalamnya suatu kitab
disusun. Kemudian, konteks dengan arti umum yaitu mengacu kepada seluruh
situasi atau kondisi dunia yang dihadapi manusia. Jadi konteks sekarang ini
mencakup segala segi kehidupan di sekitar dan di dalam diri manusia atau
makhluk hidup secara umum. Sedangkan aktual menunjuk pada peristiwa yang benar
dan baru terjadi atau terkini, yang menjadi pembicaraan orang-orang.[1]
Dari kedua pengertian kata ini, maka dapat disimpulkan bahwa kontekstual
berarti seluruh situasi dan kondisi yang mencakup segala segi kehidupan di
sekitar dan di dalam diri makhluk yang hidup, yang terjadi dalam waktu kurun
waktu dekat atau baru saja dan menjadi pembicaraan atau issue yang hangat.
Berdasarkan pengertian ini, ditemukan apa arti teologi kontekstual. Teologi
kontekstual adalah teologi yang lahir sebagai reaksi dan keprihatinan dari
seluruh kondisi atau situasi hidup manusia dari segala segi kehidupan yang
menjadi kegelisahan atau menjadi pembicaraan yang hangat.
Kontekstualisasi dalam ilmu teologi berarti
kegiatan atau proses penggabungan amanat Alkitab dengan situasi hidup manusia
dan makhluk hidup. Secara sederhana dapat dikatakan teks Alkitab diperjumpakan
dengan realitas dalam hidup manusia atau makhluk hidup lainnya.
Kontekstualisasi merupakan usaha penerjemahan teks ke dalam konteks yang nyata.
Sampai tahun 1970an, ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk kegiatan
atau usaha kontekstualisasi. Istilah-istilah lain yang sering dipakai untuk
menyebutkan usaha penggabungan amanat alkitab dengan konteks dalam hal ini
kebudayaan tertentu yaitu: pempribumian, indigenisasi[2]
dan inkulturasi[3].[4]
Merujuk pada pengertian kontekstual
dan kontekstualisasi, maka ditemukan perbedaan antara teologi kontekstual dan
kontekstualisasi secara prinsipil. Prinsip Teologi kontekstual bermula dari konteks tertentu yang menimbulkan
kegelisahan untuk dikaji dari perspektif teologi. Sedangkan prinsip
kontekstualisasi bermula dari teks kemudian merujuk kepada konteks tertentu
yang memiliki kesejajaran dengan amanat teks. Senada dengan itu, Richard A.D.
Siwu menyatakan bahwa teologi kontekstual merupakan pendekatan analisis dan
refleksi teologis yang berangkat dari konteks sosial budaya tertentu masa kini
(dalam bahasa metodologi dikategorikan pada pendekatan deduktif), sedangkan
kontekstualisasi atau yang disebutnya teologi tekstual merupakan refleksi
teologis yang berangkat dari teks kitab suci (dalam bahasa metodologi
dikategorikan pada pendekatan induktif).[5]
B.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEOLOGI KONTEKSTUAL
Sebelum istilah kontekstualisasi pada tahun 1970-an,
terlebih dahulu dikenal istilah indigenisasi yang lahir sekitar tahun 1910 oleh
Azariah saat konferensi misi dunia di Edinburgh. Istilah Indigenisasi digunakan
untuk menjelaskan hubungan antara badan-badan misi asing di Asia dengan
gereja-gereja local dan gereja universal. Shoki Coe, seorang teolog dari Taiwan
memberi kritik terhadap istilah indigenisasi. Ia berpandangan bahwa istilah
indigenisasi merupakan pendekatan berteologi yang metafora. Istilah
indigenisasi hanya relevan bagi gereja-gereja muda dalam usaha pencarian
identitas. Oleh sebab itu, menurutnya, pendekatan yang relevan untuk berteologi
masa kini adalah kontekstualisasi.[6]
Dalam Consultation
on Confessional Families and the Churches in Asia pada tahun 1965, istilah
kontekstualisasi dipandang dalam kaitannya dengan pemahaman iman tentang
hubungan gereja dan dunia. Disimpulkan bahwa teologi kontekstual adalah teologi
yang lahir dari perjumpaan gereja dengan dunia sekitarnya. Kritik para teolog
Asia (Ecumenical Association of Third
World Theologians) terhadap indigenisasi inilah yang menjadi pendorong
munculnya teologi kontekstual (teologi kontekstualisasi). Dalam perkembangan
selanjutnya, konsultasi teologi dari South
East Asia Graduate School of Theology (SEAGST) yang dilaksanakan di Bangkok
pada tahun 1972, dicetuskan the critical
Asian principles, yakni suatu teologi yang berangkat dari konteks Asia.[7] Jadi
dapat disimpulkan bahwa hakikat teologi kontekstualisasi tidak lain adalah
suatu metode berteologi yang berangkat dari permasalahan konteks sosial,
ekonomi, politik, budaya dan agama, di mana gereja hidup dan bersaksi. Tujuan
berteologi dengan pendekatan kontekstual salah satunya agar teologi menjadi
sesuatu yang dekat dengan kehidupan gereja atau dengan kata lain teologi tidak
menjadi asing bagi gereja. Pandangan inilah yang kemudian disebut sebagai teologi in loco.
C.
MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
Beberapa teolog masa kini telah
berhasil memetakan kategori model-model kontekstualisasi yang ada. Misalnya, D.
Hesselgrave mengusulkan empat kategori:
1.
liberal,
2.
neo-liberal,
3.
neo-ortodoksi,
4.
ortodoksi.[8]
Selain itu, S. Bevans mengusulkan
enam kategori:
1.
anthropologis,
2.
penerjemahan,
3.
praksis,
4.
sintetik,
5.
semiotic,
6.
transendental.[9]
Dalam penerapannya, teologi kontekstual memiliki beberapa
model pendekatan[10]
1. Model Akomodasi
Akomodasi
adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli. Sikap ini
dinyatakan dalam bentuk kelakuan, perbuatan, dan perkataan, baik dalam ranah ilmiah
maupun praktis. Objek akomodasi adalah kehidupan busaya yang menyeluruh dari
suatu bangsa, baik dari segi fisik, sosial, dan ideal. Dalam pendekatan ini,
terjadi sebuah pengambilalihan nilai-nilai budaya dan dipadukan dengan
nilai-nilai Kristiani. Dengan demikian, terdapat pandangan positif bagi Alkitab.
Selama ini, Alkitab
dipandang menghancurkan nilai-nilai dalam suatu budaya.
2. Model Adaptasi
Model
ini berbeda dengan model akomodasi. Model ini tidak mengasimilasikan unsur
budaya dalam nilai-nilai Kristiani. Model ini menggunakan bentuk atau pemahaman
yang ada dalam suatu budaya untuk menjelaskan suatu pemahaman dalam kekristenan.
Tujuan dari model ini adalah untuk mengekspresikan dan menerjemahkan Alkitab
dalam istilah setempat (indigenous terms). Hal ini dilakukan agar
istilah Kristiani tersenut dapat dipahami oleh suatu masyarakat dengan konteks
yang berbeda.
3. Model Prossesio
Prossesio
adalah sikap yang menanggapi budaya secara negatif. Proses prossesio
terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi, dan rededikasi. Kelompok
yang menganut model ini memahami bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang telah
dirusak oleh dosa. Tidak ada kebaikan di dalam kebudayaan. Model ini juga
memahami bahwa hanya Kekristenan dan Alkitab yang kudus dan tidak berdosa.
4. Model Transformasi
Model
ini berakar pada pemahaman Richard Niebuhr
mengenai Allah
dan kebudayaan. Allah
dipahami berada di atas kebudayaan. Melalui kebudayaan, Allah berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang
dibaharui oleh Allah, maka kebudayaan tersebut juga ikut dibaharui.
5. Model Dialektis
Model
ini menekankan interkasi yang dinamis antara teks dan konteks. Konsep ini
didukung oleh pemahaman yang kuat bahwa kebudayaan juga membawa perubahan.
Tidak hanya Kekristenan yang membawa perubahan bagi konteks, tetapi konteks
juga memberi perubahan bagi Kekristenan. Contohnya dalam teologi,
kebudayaan memberi warna baru bagi teologi dalam usahanya menghadirkan
Kekristenan di tengah konteks yang ada.
D.
MAKNA DAN HAKIKAT TEOLOGI KONTEKSTUAL
Makna teologi
kontekstual yaitu dengan
sungguh-sungguh sangat memperhatikan konteks sejarah dan budaya di mana seorang
hidup dan berkarya. Teologi kontekstual harus mampu menafsir dan membangun,
artinya bahwa tidak hanya ada jawaban-jawaban teologis yang tradisional yang
dapat dipahami dengan cara yang berbeda, tetapi ada berbagai pertanyaan yang
berbeda dalam setiap budaya.[11]
Hakikat teologi
kontekstual[12] yaitu menekankan
keprihatinan menurut tempat dan situasinya masing-masing, memperoleh kekuatan
dasarnya dari Injil yang dimaksudkan bagi semua orang. Jadi, kontekstualisasi
pada akhirnya membantu solidaritas semua orang dalam ketaatan kepada Tuhan yang
sama. Dalam hal ini, kontekstualisasi mencegah agar amanat Alkitab tidak
dibelenggu dan ditaklukkan oleh konteks.
E.
TEOLOGI KONTEKSTUAL
Berikut ini akan dipaparkan beberapa contoh teologi
yang lahir dari kegelisahan dan pergumulan konteks tertentu.
1.
Teologi
Pembebasan
Teologi Pembebasan lahir di daerah Amerika Latin yang
dilatarbelakangi oleh situasi saat itu di mana terjadi
pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Para kaum tak bermodal atau para
petani miskin[13],
menjadi sasaran penindasan. Gereja pada saat itu bergabung dengan golongan kaya
dan militer.[14]
Beberapa teolog prihatin dan mengusahakan sebuah teologi yang dapat membebaskan
kaum golongan terendah dari keterpurukan sosial namun usaha itu selalu gagal.
Nanti pada tahun 1973, Gustavo Gutieres menerbitkan sebuah buku yang berjudul “A
Theology of Liberation” yang menjadi langkah awal dan pencetusan Teologi
Pembebasan. Teologi-teologi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap ‘Sang
Teologi’[15].
2.
Teologi Kerbau
Koyama
menggunakan simbol kerbau karena dengan kerbau, Koyama diingatkan kepada para
petani, dimana haruslah berbicara atau berteologi berdasarkan konteks gumul
masyarakat dalam tradisi dan budaya masyarakat setempat. Dalam mengemukakan
teologi Kerbau, Koyama mendasarkan teologinya pada konteks pergumulan
masyarakat Muangthai (Thailand). Konteks Muangthai saat Koyama ada yakni adanya
pengaruh budaya Budha dengan konsep penderitaan dan penderitaan yang dialami akibat
penjajahan yang baru berakhir. Menurut Koyama, tidak hanya ada satu Mungthai,
namun ada dua Mungthai dalam masyarakat. Muangthai satu berarti Muangthai
dengan nilai-nilai tradisional yang dibentuk oleh berbagai pengaruh nilai-nilai
agama Budha Teravada yang berasal dari India dan Sri Lanka. Muangthai dua
adalah dihasilkan oleh kolonialisme Barat dengan senjata dan obatnya. Kekuasaan
kolonial menyebabkan luka, namun juga membawa modernitas dan kekristenan.
Koyama berteologi dalam konteks masyarakat Thailand yang penuh dengan
penderitaan. Penderitaan itu dilihat dari dua sisi yaitu Konsep Penderitaan
menurut ajaran Budha dan penderitaan pasca kolonial. Kedua realitas ini adalah
suatu pengalaman masyarakat Thailand yang tidak bisa di lepaskan dalam konteks
pergumulan umat saat itu. Untuk itu kehadiran koyama untuk menjelaskan dasar
teologi tentang siapa itu Yesus dalam kehidupan umat sesuai budayanya. Pengikut
Kristus harus mampu dan tahan terhadap penderitaan bak seorang petani yang
tetap sabar menggarap sawah bersama kerbaunya.[16]
3.
Teologi Hitam
Teologi Hitam adalah teologi yang dikembangkan oleh para teolog berkulit hitam dari gereja-gereja Kristen Protestan di Amerika Serikat. James Hal Cone adalah teolog kulit hitam yang
memperkenalkan teologi hitam pertama kali.[17]
Para teolog hitam mencoba membaca Alkitab dengan memakai perspektif lain yaitu
menekankan pada pembebasan orang-orang negro (orang berkulit hitam) dari
diskriminasi orang-orang berkulit putih. Menurut mereka, orang kulit hitam
telah banyak merasakan pengalaman pahit yang seharusnya diperhatikan dalam
proses berteologi. Pada waktu itu, yang mendominasi bidang teologi adalah
teolog-teolog berkulit putih. Teologi hitam meyakini Yesus sebagai sahabat
setia bagi semua manusia yang mengalami penindasan, penderitaan dan penghinaan
tanpa memandang ras atau bangsa.[18]
Yesus dalam pandangan mereka datang untuk
mengangkat dan meneguhkan martabat serta identitas orang hitam sebagai orang
hitam. James Hal Cone dalam bukunya A
Black Theology of Liberation yang ditulis tahun 1970, menyatakan bahwa Allah telah
menggabungkan diri-Nya dalam perjuangan orang-orang berkulit hitam. Dengan
demikian, Yesus dapat dikatakan sebagai Mesias Kulit Hitam (Black Messiah).[19]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas maka
ditemukan pemahaman bahwa Teologi Kontekstual atau teologi kontekstualisasi
adalah wacana teologi dan kemudia menjadi sebuah teologi yang bertitik tolok
dari kenyataan-kenyataan di dalam dan di sekitar hidup manusia yang
memprihatinkan dan perlu untuk dikaji secara teologis. Sedangkan,
kontekstualisasi adalah proses atau usaha menerjemahkan teologi ke dalam
realitas hidup yang konkret. Dari pemahaman ini maka dapat diberi penilaian
bahwa tidak benar jika dikatakan semua teologi di manapun dan kapanpun adalah
teologi kontekstual, sebab konteks teologi bersifat dinamis sehingga diperlukan
usaha terus menerus untuk mengkonteskstualkan teologi. Usaha inilah yang
kemudian dapat dikatakan berteologi. Secara sederhana, tidak semua teologi
merupakan teologi kontekstual, tetapi semua teologi harus dikontekstualkan.
Jika teologi tidak dikontekstualkan, maka akan sulit untuk memahami pesan
teologis dan pesan alkitabiah.
DAFTAR PUSTAKA
Adams Daniel J. Teologi
Lintas Budaya- Refleksi Barat Di Asia, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
Bevans
Stephen B. 1996. Models of Contextual
Theology. New York: Orbis Books.
Drewes B. F.
Apa itu Teologi-pengantar ke dalam
Ilmu Teologi, jakarta: BPK.
Gunung Mulia.
Drewes B.F, Mojau Julianus. 2006. Apa itu Teologi.
Jakarta:BPK Gunung Mulia.
Hesselgrave David J. dan Rommen Edward. 2015. Kontekstualisasi:
Makna, Metode dan Model. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
KBBI
Soleiman Yusak, dkk (ed). 2014. Vivat Crescat Floreat: Belajar dan Bertumbuh Bersama, Refleksi atas
Setengah Abad PERSETIA. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Tomatala Y. 1993. Teologi
Kontekstual: Suatu Pengantar. Malang: Gandum Mas.
Wessel Anton. 2001. Memandang
Yesus: Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya. Jakarta:BPK Gunung Mulia.
[1]
KBBI
[2]
Indigenisasi “indigenization”
terbentuk dari kata Indigenous ‘asli, ‘pribumi atau pempribumian mengacu pada
usaha untuk menempatkan Injil ditengah suatu kebudayaan tradisional. Jadi
orientasinya terutama tertuju pandangan hidup tradisional. Dalam
kontekstualisasi aspek particular dalam kebudayan local dan suku juga dilihat
dalam perspektif universal.Sebab mau tidak mau kebudayaan-kebudayaan di dunia
ini berkembang di bawah pengaruh kebudayaan-kebudayaan lain (globalisasi)
[3]
Inkulturasi (Kata Cult =
Kebudayaan) lebih sering digunakan oleh kalangan teolog Kahtolik Roma dalam
arti sebagai usaha menanam amanat Alkitab kedalam kebudayaan tertentu. Memang
dalam kontekstualisasi mutlak diperlukan adanya kesadaran mengenai kekayaan
tradisi budaya, tetapi kontekstualisasi juga menekankan pengaruh modernitas
serta hubungan-hubungan antar budaya dalam kerangka perjuanagn mewujudkan
keadilan dan damai sejahtera
[4] http://teologikontekstualpapua.blogspot.com/2014/02/pengertian-kontekstual.html. Diunduh
pada tanggal 17 Agustus 2018.
[5]
Yusak Soleiman, dkk (ed), Vivat Crescat
Floreat: Belajar dan Bertumbuh Bersama, Refleksi atas Setengah Abad PERSETIA, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2014), hlm. 77.
[6]
Ibid.,hlm. 85.
[7]
Ibid., hlm. 84.
[8] http://teologikontekstualpapua.blogspot.com/2014/02/pengertian-kontekstual.html. Diunduh
pada tanggal 17 Agustus 2018
[9]
Stephen B. Bevans, Models of Contextual
Theology, (New York: Orbis Books, 1996), hlm. 27.
[10]
Y. Tomatala, Teologi Kontekstual:
Suatu Pengantar, (Malang: Gandum Mas, 1993), hlm. 2.
[11] Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya- Refleksi Barat Di
Asia, Jakarta:
BPK. Gunung Mulia, cet. 6, 2010, hlm. 92.
[12]
B. F. Drewes, Apa itu Teologi-pengantar ke dalam Ilmu Teologi, jakarta: BPK.
Gunung Mulia, cet. 7, 2011, hal. 156, 159.
[13]
Dalam buku David J. Hesselgrave dan Edward Rommen yang berjudul
“Kontekstualisasi” dalam halaman 111, dikatakan bahwa ada empat golongan dalam
masyarakat pada saat itu. Golongan yang paling rendah adalah para petani miskin
yang dalam bahasa aslinya disebut Campesinos.
[14]
David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna,
Metode dan Model. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 111.
[15]
Teologi-teologi
kristen, lahir dan tumbuh di daerah Barat. Sebagian besar bahkan hampir semua
misionaris (orang Belanda memakai kata Zending) berasal dari Barat. Oleh karena
itu, para misionaris ini menganut teologi Barat. Teologi inilah yang biasa
disebut “the Theolgy” (Sang Teologi) yang disebarkan ke berbagai
negara-negara di mana para misionaris melangsungkan misi.
[16]
https://inamoalaitanpati.wordpress.com/2013/02/08/teologi-kerbau-ala-koyama/.
Diunduh pada tanggal 17 Agustus 2018.
[17]
Anton Wessel, Memandang Yesus: Gambar Yesus dalam
Berbagai Budaya. (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 83.
[18]
Ibid., hlm.
[19]
B.F Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi.
(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar