Jumat, 16 November 2018

Teologi Kontekstual (oleh Sepson Sambara)


BAB I
PENDAHULUAN
Membahas ilmu teologi, bukanlah membahas sesuatu yang abstrak dan tanpa objek yang tidak dapat dilihat. Mengapa? Karena ilmu teologi tidak hanya membahas tentang eksistensi Sang Pencipta, melainkan lebih banyak membahas tentang eksistensi ciptaanNya. Justru, menurut Gerrit Singgih, objek utama ilmu teologi adalah manusia yang bermasalah. Pokok utama teologi menurut penulis, bukan membahas tentang keakanan, melainkan baiknya membahas tentang segala sesuatu kini dan di sini (meskipun tujuan akhir hidup manusia adalah keakanan). Wacana-wacana teologi, sebaiknya berbicara tentang persoalan atau masalah-masalah diseputar kehidupan manusia.
Cakupan ilmu teologi dapat dikatakan sangatlah luas karena membahas berbagai aspek kehidupan manusia. Ilmu teologi tidak hanya membahas spiritual tetapi juga moral dan sikap hidup manusia dalam perjumpaan dengan realitas konkret disekitarnya. Untuk menjawab kebutuhan aspek-aspek itu, maka ilmu teologi dibagi menjadi beberapa bidang teologi, seperti: teologi historika, teologi praktika, teologi sistematika, teologi biblika dan ilmu umum. Kemudian dalam pembagian bidang teologi itu, terdapat beberapa konsentrasi bidang di dalamnya, salah satunya Teologi kontekstual yang merupakan salah satu konsentrasi bidang dari teologi sistematika.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    DEVINISI TEOLOGI KONTEKSTUAL
Sebelum membahas lebih dalam tentang devinisi teologi kontekstual, akan dibahas terlebih dahulu apa pengertian kontekstual. Hal ini dilakukan agar penilaian terhadap teologi kontekstual dapat lebih objektif.
Kata kontekstual terdiri dari dua kata yaitu konteks dan aktual. Istilah konteks (context) digunakan dengan arti yang berbeda-beda. Dalam Hermeneutika, konteks mengacu pada kalimat yang meyertai suatu bagian alkitab sebelumnya atau sesudahnya yang dikenal dengan istilah konteks dekat dan konteks jauh. Selain itu, dalam bidang Hermeneutik, konteks juga dipakai dengan arti kiasan, seperti konteks historis. Konteks historis mengacu kepada situasi kondisi tertentu yang didalamnya suatu kitab disusun. Kemudian, konteks dengan arti umum yaitu mengacu kepada seluruh situasi atau kondisi dunia yang dihadapi manusia. Jadi konteks sekarang ini mencakup segala segi kehidupan di sekitar dan di dalam diri manusia atau makhluk hidup secara umum. Sedangkan aktual menunjuk pada peristiwa yang benar dan baru terjadi atau terkini, yang menjadi pembicaraan orang-orang.[1] Dari kedua pengertian kata ini, maka dapat disimpulkan bahwa kontekstual berarti seluruh situasi dan kondisi yang mencakup segala segi kehidupan di sekitar dan di dalam diri makhluk yang hidup, yang terjadi dalam waktu kurun waktu dekat atau baru saja dan menjadi pembicaraan atau issue yang hangat. Berdasarkan pengertian ini, ditemukan apa arti teologi kontekstual. Teologi kontekstual adalah teologi yang lahir sebagai reaksi dan keprihatinan dari seluruh kondisi atau situasi hidup manusia dari segala segi kehidupan yang menjadi kegelisahan atau menjadi pembicaraan yang hangat.
Kontekstualisasi dalam ilmu teologi berarti kegiatan atau proses penggabungan amanat Alkitab dengan situasi hidup manusia dan makhluk hidup. Secara sederhana dapat dikatakan teks Alkitab diperjumpakan dengan realitas dalam hidup manusia atau makhluk hidup lainnya. Kontekstualisasi merupakan usaha penerjemahan teks ke dalam konteks yang nyata. Sampai tahun 1970an, ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk kegiatan atau usaha kontekstualisasi. Istilah-istilah lain yang sering dipakai untuk menyebutkan usaha penggabungan amanat alkitab dengan konteks dalam hal ini kebudayaan tertentu yaitu: pempribumian, indigenisasi[2] dan inkulturasi[3].[4]
Merujuk pada pengertian kontekstual dan kontekstualisasi, maka ditemukan perbedaan antara teologi kontekstual dan kontekstualisasi secara prinsipil. Prinsip Teologi kontekstual  bermula dari konteks tertentu yang menimbulkan kegelisahan untuk dikaji dari perspektif teologi. Sedangkan prinsip kontekstualisasi bermula dari teks kemudian merujuk kepada konteks tertentu yang memiliki kesejajaran dengan amanat teks. Senada dengan itu, Richard A.D. Siwu menyatakan bahwa teologi kontekstual merupakan pendekatan analisis dan refleksi teologis yang berangkat dari konteks sosial budaya tertentu masa kini (dalam bahasa metodologi dikategorikan pada pendekatan deduktif), sedangkan kontekstualisasi atau yang disebutnya teologi tekstual merupakan refleksi teologis yang berangkat dari teks kitab suci (dalam bahasa metodologi dikategorikan pada pendekatan induktif).[5]

B.     SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEOLOGI KONTEKSTUAL
Sebelum istilah kontekstualisasi pada tahun 1970-an, terlebih dahulu dikenal istilah indigenisasi yang lahir sekitar tahun 1910 oleh Azariah saat konferensi misi dunia di Edinburgh. Istilah Indigenisasi digunakan untuk menjelaskan hubungan antara badan-badan misi asing di Asia dengan gereja-gereja local dan gereja universal. Shoki Coe, seorang teolog dari Taiwan memberi kritik terhadap istilah indigenisasi. Ia berpandangan bahwa istilah indigenisasi merupakan pendekatan berteologi yang metafora. Istilah indigenisasi hanya relevan bagi gereja-gereja muda dalam usaha pencarian identitas. Oleh sebab itu, menurutnya, pendekatan yang relevan untuk berteologi masa kini adalah kontekstualisasi.[6]
Dalam Consultation on Confessional Families and the Churches in Asia pada tahun 1965, istilah kontekstualisasi dipandang dalam kaitannya dengan pemahaman iman tentang hubungan gereja dan dunia. Disimpulkan bahwa teologi kontekstual adalah teologi yang lahir dari perjumpaan gereja dengan dunia sekitarnya. Kritik para teolog Asia (Ecumenical Association of Third World Theologians) terhadap indigenisasi inilah yang menjadi pendorong munculnya teologi kontekstual (teologi kontekstualisasi). Dalam perkembangan selanjutnya, konsultasi teologi dari South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST) yang dilaksanakan di Bangkok pada tahun 1972, dicetuskan the critical Asian principles, yakni suatu teologi yang berangkat dari konteks Asia.[7] Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat teologi kontekstualisasi tidak lain adalah suatu metode berteologi yang berangkat dari permasalahan konteks sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama, di mana gereja hidup dan bersaksi. Tujuan berteologi dengan pendekatan kontekstual salah satunya agar teologi menjadi sesuatu yang dekat dengan kehidupan gereja atau dengan kata lain teologi tidak menjadi asing bagi gereja. Pandangan inilah yang kemudian disebut sebagai teologi in loco.

C.    MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
Beberapa teolog masa kini telah berhasil memetakan kategori model-model kontekstualisasi yang ada. Misalnya, D. Hesselgrave mengusulkan empat kategori:
1.      liberal,
2.      neo-liberal,
3.      neo-ortodoksi,
4.      ortodoksi.[8]
Selain itu, S. Bevans mengusulkan enam kategori:
1.      anthropologis,
2.      penerjemahan,
3.      praksis,
4.      sintetik,
5.      semiotic,
6.      transendental.[9]
Dalam penerapannya, teologi kontekstual memiliki beberapa model pendekatan[10]
1.      Model Akomodasi
Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli. Sikap ini dinyatakan dalam bentuk kelakuan, perbuatan, dan perkataan, baik dalam ranah ilmiah maupun praktis. Objek akomodasi adalah kehidupan busaya yang menyeluruh dari suatu bangsa, baik dari segi fisik, sosial, dan ideal. Dalam pendekatan ini, terjadi sebuah pengambilalihan nilai-nilai budaya dan dipadukan dengan nilai-nilai Kristiani. Dengan demikian, terdapat pandangan positif bagi Alkitab. Selama ini, Alkitab dipandang menghancurkan nilai-nilai dalam suatu budaya.
2.      Model Adaptasi
Model ini berbeda dengan model akomodasi. Model ini tidak mengasimilasikan unsur budaya dalam nilai-nilai Kristiani. Model ini menggunakan bentuk atau pemahaman yang ada dalam suatu budaya untuk menjelaskan suatu pemahaman dalam kekristenan. Tujuan dari model ini adalah untuk mengekspresikan dan menerjemahkan Alkitab dalam istilah setempat (indigenous terms). Hal ini dilakukan agar istilah Kristiani tersenut dapat dipahami oleh suatu masyarakat dengan konteks yang berbeda.
 3.      Model Prossesio
Prossesio adalah sikap yang menanggapi budaya secara negatif. Proses prossesio terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi, dan rededikasi. Kelompok yang menganut model ini memahami bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang telah dirusak oleh dosa. Tidak ada kebaikan di dalam kebudayaan. Model ini juga memahami bahwa hanya Kekristenan dan Alkitab yang kudus dan tidak berdosa.
4.      Model Transformasi
Model ini berakar pada pemahaman Richard Niebuhr mengenai Allah dan kebudayaan. Allah dipahami berada di atas kebudayaan. Melalui kebudayaan, Allah berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang dibaharui oleh Allah, maka kebudayaan tersebut juga ikut dibaharui.
5.      Model Dialektis
Model ini menekankan interkasi yang dinamis antara teks dan konteks. Konsep ini didukung oleh pemahaman yang kuat bahwa kebudayaan juga membawa perubahan. Tidak hanya Kekristenan yang membawa perubahan bagi konteks, tetapi konteks juga memberi perubahan bagi Kekristenan. Contohnya dalam teologi, kebudayaan memberi warna baru bagi teologi dalam usahanya menghadirkan Kekristenan di tengah konteks yang ada.

D.    MAKNA DAN HAKIKAT TEOLOGI KONTEKSTUAL
Makna teologi kontekstual yaitu dengan sungguh-sungguh sangat memperhatikan konteks sejarah dan budaya di mana seorang hidup dan berkarya. Teologi kontekstual harus mampu menafsir dan membangun, artinya bahwa tidak hanya ada jawaban-jawaban teologis yang tradisional yang dapat dipahami dengan cara yang berbeda, tetapi ada berbagai pertanyaan yang berbeda dalam setiap budaya.[11]
Hakikat teologi kontekstual[12] yaitu menekankan keprihatinan menurut tempat dan situasinya masing-masing, memperoleh kekuatan dasarnya dari Injil yang dimaksudkan bagi semua orang. Jadi, kontekstualisasi pada akhirnya membantu solidaritas semua orang dalam ketaatan kepada Tuhan yang sama. Dalam hal ini, kontekstualisasi mencegah agar amanat Alkitab tidak dibelenggu dan ditaklukkan oleh konteks.

E.     TEOLOGI KONTEKSTUAL
Berikut ini akan dipaparkan beberapa contoh teologi yang lahir dari kegelisahan dan pergumulan konteks tertentu.
1.      Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan lahir di daerah Amerika Latin yang dilatarbelakangi oleh situasi saat itu di mana terjadi pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Para kaum tak bermodal atau para petani miskin[13], menjadi sasaran penindasan. Gereja pada saat itu bergabung dengan golongan kaya dan militer.[14] Beberapa teolog prihatin dan mengusahakan sebuah teologi yang dapat membebaskan kaum golongan terendah dari keterpurukan sosial namun usaha itu selalu gagal. Nanti pada tahun 1973, Gustavo Gutieres menerbitkan sebuah buku yang berjudul “A Theology of Liberation” yang menjadi langkah awal dan pencetusan Teologi Pembebasan. Teologi-teologi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap ‘Sang Teologi’[15].
2.      Teologi Kerbau
Koyama menggunakan simbol kerbau karena dengan kerbau, Koyama diingatkan kepada para petani, dimana haruslah berbicara atau berteologi berdasarkan konteks gumul masyarakat dalam tradisi dan budaya masyarakat setempat. Dalam mengemukakan teologi Kerbau, Koyama mendasarkan teologinya pada konteks pergumulan masyarakat Muangthai (Thailand). Konteks Muangthai saat Koyama ada yakni adanya pengaruh budaya Budha dengan konsep penderitaan dan penderitaan yang dialami akibat penjajahan yang baru berakhir. Menurut Koyama, tidak hanya ada satu Mungthai, namun ada dua Mungthai dalam masyarakat. Muangthai satu berarti Muangthai dengan nilai-nilai tradisional yang dibentuk oleh berbagai pengaruh nilai-nilai agama Budha Teravada yang berasal dari India dan Sri Lanka. Muangthai dua adalah dihasilkan oleh kolonialisme Barat dengan senjata dan obatnya. Kekuasaan kolonial menyebabkan luka, namun juga membawa modernitas dan kekristenan. Koyama berteologi dalam konteks masyarakat Thailand yang penuh dengan penderitaan. Penderitaan itu dilihat dari dua sisi yaitu Konsep Penderitaan menurut ajaran Budha dan penderitaan pasca kolonial. Kedua realitas ini adalah suatu pengalaman masyarakat Thailand yang tidak bisa di lepaskan dalam konteks pergumulan umat saat itu. Untuk itu kehadiran koyama untuk menjelaskan dasar teologi tentang siapa itu Yesus dalam kehidupan umat sesuai budayanya. Pengikut Kristus harus mampu dan tahan terhadap penderitaan bak seorang petani yang tetap sabar menggarap sawah bersama kerbaunya.[16]
3.      Teologi Hitam
Teologi Hitam adalah teologi yang dikembangkan oleh para teolog berkulit hitam dari gereja-gereja Kristen Protestan di Amerika Serikat. James Hal Cone adalah teolog kulit hitam yang memperkenalkan teologi hitam pertama kali.[17] Para teolog hitam mencoba membaca Alkitab dengan memakai perspektif lain yaitu menekankan pada pembebasan orang-orang negro (orang berkulit hitam) dari diskriminasi orang-orang berkulit putih. Menurut mereka, orang kulit hitam telah banyak merasakan pengalaman pahit yang seharusnya diperhatikan dalam proses berteologi. Pada waktu itu, yang mendominasi bidang teologi adalah teolog-teolog berkulit putih. Teologi hitam meyakini Yesus sebagai sahabat setia bagi semua manusia yang mengalami penindasan, penderitaan dan penghinaan tanpa memandang ras atau bangsa.[18] Yesus dalam pandangan mereka datang untuk mengangkat dan meneguhkan martabat serta identitas orang hitam sebagai orang hitam. James Hal Cone dalam bukunya A Black Theology of Liberation yang ditulis tahun 1970, menyatakan bahwa Allah telah menggabungkan diri-Nya dalam perjuangan orang-orang berkulit hitam. Dengan demikian, Yesus dapat dikatakan sebagai Mesias Kulit Hitam (Black Messiah).[19]


BAB III
KESIMPULAN
            Berdasarkan pemaparan di atas maka ditemukan pemahaman bahwa Teologi Kontekstual atau teologi kontekstualisasi adalah wacana teologi dan kemudia menjadi sebuah teologi yang bertitik tolok dari kenyataan-kenyataan di dalam dan di sekitar hidup manusia yang memprihatinkan dan perlu untuk dikaji secara teologis. Sedangkan, kontekstualisasi adalah proses atau usaha menerjemahkan teologi ke dalam realitas hidup yang konkret. Dari pemahaman ini maka dapat diberi penilaian bahwa tidak benar jika dikatakan semua teologi di manapun dan kapanpun adalah teologi kontekstual, sebab konteks teologi bersifat dinamis sehingga diperlukan usaha terus menerus untuk mengkonteskstualkan teologi. Usaha inilah yang kemudian dapat dikatakan berteologi. Secara sederhana, tidak semua teologi merupakan teologi kontekstual, tetapi semua teologi harus dikontekstualkan. Jika teologi tidak dikontekstualkan, maka akan sulit untuk memahami pesan teologis dan pesan alkitabiah.



DAFTAR PUSTAKA
Adams Daniel J.  Teologi Lintas Budaya- Refleksi Barat Di Asia, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
Bevans Stephen B. 1996. Models of Contextual Theology. New York: Orbis Books.
Drewes B. F.  Apa itu Teologi-pengantar ke dalam Ilmu Teologi, jakarta: BPK. Gunung Mulia.
Drewes B.F, Mojau Julianus. 2006. Apa itu Teologi. Jakarta:BPK Gunung Mulia.
Hesselgrave David J. dan Rommen Edward. 2015. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
KBBI
Soleiman Yusak, dkk (ed). 2014. Vivat Crescat Floreat: Belajar dan Bertumbuh Bersama, Refleksi atas Setengah Abad PERSETIA. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Tomatala Y. 1993. Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar. Malang: Gandum Mas.
Wessel Anton. 2001. Memandang Yesus: Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya. Jakarta:BPK Gunung Mulia.


[1] KBBI
[2] Indigenisasi “indigenization” terbentuk dari kata Indigenous ‘asli, ‘pribumi atau pempribumian mengacu pada usaha untuk menempatkan Injil ditengah suatu kebudayaan tradisional. Jadi orientasinya terutama tertuju pandangan hidup tradisional. Dalam kontekstualisasi aspek particular dalam kebudayan local dan suku juga dilihat dalam perspektif universal.Sebab mau tidak mau kebudayaan-kebudayaan di dunia ini berkembang di bawah pengaruh kebudayaan-kebudayaan lain (globalisasi)
[3] Inkulturasi (Kata Cult = Kebudayaan) lebih sering digunakan oleh kalangan teolog Kahtolik Roma dalam arti sebagai usaha menanam amanat Alkitab kedalam kebudayaan tertentu. Memang dalam kontekstualisasi mutlak diperlukan adanya kesadaran mengenai kekayaan tradisi budaya, tetapi kontekstualisasi juga menekankan pengaruh modernitas serta hubungan-hubungan antar budaya dalam kerangka perjuanagn mewujudkan keadilan dan damai sejahtera
[5] Yusak Soleiman, dkk (ed), Vivat Crescat Floreat: Belajar dan Bertumbuh Bersama, Refleksi atas Setengah Abad PERSETIA, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), hlm. 77.
[6] Ibid.,hlm. 85.
[7] Ibid., hlm. 84.
[9] Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology, (New York: Orbis Books, 1996), hlm. 27.
[10] Y. Tomatala, Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar, (Malang: Gandum Mas, 1993), hlm. 2.
[11] Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya- Refleksi Barat Di Asia, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 6, 2010, hlm. 92.
[12] B. F. Drewes, Apa itu Teologi-pengantar ke dalam Ilmu Teologi, jakarta: BPK. Gunung Mulia, cet. 7, 2011, hal. 156, 159.
[13] Dalam buku David J. Hesselgrave dan Edward Rommen yang berjudul “Kontekstualisasi” dalam halaman 111, dikatakan bahwa ada empat golongan dalam masyarakat pada saat itu. Golongan yang paling rendah adalah para petani miskin yang dalam bahasa aslinya disebut Campesinos.
[14] David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 111.
[15] Teologi-teologi kristen, lahir dan tumbuh di daerah Barat. Sebagian besar bahkan hampir semua misionaris (orang Belanda memakai kata Zending) berasal dari Barat. Oleh karena itu, para misionaris ini menganut teologi Barat. Teologi inilah yang biasa disebut “the Theolgy” (Sang Teologi) yang disebarkan ke berbagai negara-negara di mana para misionaris melangsungkan misi.
[17] Anton Wessel, Memandang Yesus: Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya. (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 83.
[18] Ibid., hlm.
[19] B.F Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi. (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19 PANDEMIK COVID-19 Sejak World Health Or...