Jumat, 16 November 2018

Nahdlatul Ulama (oleh Sepson Sambara)


BAB I
PENDAHULUAN
            Perkembangan Islam di Indonesia merupakan proses yang berkaitan erat dengan berbagai sektor kehidupan lainnya yang sangat kompleks. Untuk sebagian dapat dijelaskan  melalui keterlibatan kegiatan perdagangan yang berkembang sejak abad XI. Intensitas kontak-kontak perdagangan itu selanjutnya menghasilkan tumbuhnya pemukiman masyarakat muslim di pesisir kepulauan Nusantara. Melalui proses sejarah yang sangat panjang, cukup alasan untuk menyimpulkan bahwa lambat laun Islam telah menjadi bagian yang begitu dalam menguasai batin masyarakat Indonesia.[1] Namun, keberhasilan Islam bukan berarti dapat mematikan akar yang telah lama tumbuh di Indonesia yaitu budaya serta tradisi-tradisi setempat. Islam mau tidak mau harus terus berkontekstualisasi dengan tidak melupakan identitas dirinya. Dengan keragaman budaya dan akibat dari tuntutan ajarannya yang universal maka terjadilah keragaman dalam Islam.
Nahdlatul Ulama yang sering disingkat NU adalah sebuah gejala ataupun gerakan yang unik, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh Dunia Muslim.[2] Dikatakan unik karena banyak cendekiawan-cendekiawan baik muslim maupun non-muslim yang berasal dari berbagai Negara, tertarik untuk meneliti dan mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan serta paham dari organisasi ini. NU adalah sebuah organisasi ulama tradisional. Organisasi ini memiliki jumlah anggota yang cukup banyak bahkan NU merupakan organisasi non-pemerintah yang paling besar di Indonesia.[3] Organisasi ini masih bertahan dan mengakar di kalangan bawah atau biasa disebut kalangan akar rumput.
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi resmi berdiri di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab lahirnya organisasi ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemicu lahirnya organisasi atau gerakan ini merupakan sebuah bentuk reaksi terhadap kenyataan hidup dan sistem dalam tubuh Islam sendiri. Jadi, organisasi ini merupakan reaksi kritis dari para ulama-ulama yang berpusat di pesantren-pesantren. Untuk alasan-asalan ini, akan lebih rinci dijelaskan pada Bab berikutnya.

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama
Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa NU lahir sebagai sebuah organisasi secara resmi di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. NU dalam perjalanan sejarahnya biasanya bersikap sangat akomodatif terhadap pemerintah dan para pemimpin NU seringkali dituduh sebagai orang-orang yang sangat oportunis. Pendiri resmi Jam'iyah Nahdlatul Ulama sendiri tak lain adalah Hadratus Syeikh K.H.M. Hasyim Asy'ari, satu-satunya pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek sekaligus motor penggerak yaitu K.H. Abdul Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang. Kiai Wahab ini adalah salah satu santri utama Kiai Hasyim. Ia sangat lincah dalam melakukan segala hal, energik, banyak akal ditambah ia sangat mahir dalam ilmu seni bela diri (pencak silat).[4]
 Latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama memang sangat berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam waktu itu. Di tahun 1924, Syarif Husein yaitu seorang Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang bermadzhab Wahabi. Pasca peristiwa itu, tersebarlah berita penguasa baru yang akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni yang pada saat itu memang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengalaman agama sistem bermadzhab, ziarah kubur, tawasul, maulid nabi dan sebagainya secepatnya akan segera dilarang.[5]
Tidak hanya itu saja, Raja Ibnu Saud juga menginginkan supaya melebarkan daerah kekuasaannya sampai ke seluruh dunia Islam. Dengan dalil demi kejayaan Islam, ia berencana untuk meneruskan kekhilafahan Islam yang telah terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyah (Kekaisaran Ottoman) oleh pemimpin nasionalis Turki Musthafa Kamal.[6] Untuk itu, Raja Ibnu Saud berencana menggelar Muktamar Khilafah yang ada di Kota Suci Makkah sebagai penerus Khilafah yang terputus itu.
Semua negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri acara muktamar tersebut, termasuk juga Indonesia.  Awalnya, utusan yang di percaya yaitu HOS Cokroaminoto (SI), K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) serta K.H. Abdul Wahab hasbullah (pesantren). Akan tetapi, rupanya ada sedikit permainan licik di antara kelompok yang mengusung para calon utusan Indonesia.[7] Sebab Kiai Wahab tidak mewakili organisasi resmi, maka nama beliau kemudian dicoret dari daftar calon utusan.
Peristiwa tersebut akhirnya menyadarkan para ulama pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah organisasi. Sekaligus menyisakan sakit hati yang mendalam, sebab mereka takut bahwa tidak ada lagi yang bisa dititipi sikap keberatan akan semua rencana Raja Ibnu Saud yang bertujuan akan mengubah model beragama di Makkah. Para ulama pesantren tentu tidak terima akan kebijakan raja yang anti kebebasan bermadzhab, anti ziarah makam, anti maulid nabi dan lain sebagainya. Bahkan, sempat terdengar pula berita bahwa makam Nabi Agung Muhammad saw berencana untuk digusur. Menurut para kiai pesantren, pembaruan adalah suatu keharusan. K.H. Hasyim Asy'ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan para kaum modernis supaya menghimbau umat Islam kembali pada ajaran yang 'murni'. Namun, Kiai Hasyim tidak bisa menerima jika pemikiran mereka meminta umat Islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Di samping itu, sebab ide pembaruan yang dilakukan dengan cara melecehkan, merendahkan serta membodoh-bodohkan, maka para ulama pesantren kemudian menolaknya. Menurut mereka, pembaruan akan tetap dibutuhkan, namun tidak dengan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih bersangkutan. Karena kondisi itulah maka Jam'iyah Nahdlatul Ulama' didirikan.
Ternyata ketakutan mereka ditanggapi secara positif sehingga NU mengirim utusan ke Mekkah (karena delegasi gagal berangkat) untuk menyampaikan 4 pesan NU kepada Raja Saudi, yaitu:
1.      Jaminan kebebasan menjalankan praktek keagamaan menurut salah satu mazhab empat dan izin masuk buku-buku mereka masuk ke Arab Saudi,
2.      Perawatan tempat-tempat bersejarah yang merupakan tanah wakaf untuk masjid,
3.      Perbaikan penyelenggaraan ibadah haji dan penentuan tarif resmi untuk semua kegiatan haji, dan
4.      Jaminan hukum berupa undang-undang untuk mengatasi perselisihan yang mungkin timbul di Hijaz.
Surat ini tidak dibalas sehingga pada musim haji ke 1928, utusan NU (Kiai Wahab Asbullah dan Syekh Ahmad Ghana’im) berangkat ke Mekkah dan bertemu langsung dengan Raja Saudi. Usulan-usulan NU mendapat respon yang baik meskipun usulan kedua beberapa terlanjur dieksekusi dan yang lain akhirnya dipertahakan.[8]

 II.               Perkembangan Nahdlatul Ulama
Setelah usulan mereka dinyatakan, NU lalu memusatkan perhatian pada pengembangan organisasi dan upaya memperluas kiprahnya sebagai organisasi sosial-keagamaan. Untuk kepentingan ini dapat diajukan periodesasi sebagai berikut:
1.      Periode konsolidasi internal NU dan kalangan tradisional Islam (1926-1936).
2.      Periode atau masa doalog NU dengan pihak-pihak di luarnya (1936-1942). Pada periode ini NU mengambil sikap abstain dari politik, namun bergumul dengan pendefinisian nusa-bangsa.
3.      Periode masa pendudukan Jepang (1942-1945). Pada periode ini para kiai mulai terlibat dalam politik maupun perdebatan tentang negara Indonesia merdeka.
4.      Periode atau masa revolusi (1945-1949). Pada periode ini, NU terlibat aktif bahkan radikal dalam politik namun tetap menunjukkan kejelasan sikapnya atas negara.[9] 

Pada tahun 1945, NU menggabungkan diri ke dalam partai politik Masyumi. Pada tahun 1952, NU menarik diri dari Masyumi dan tampil menjadi partai politik karena kecewa terhadap sikap kelompok reformis yang ada di Masyumi. Pada pertengahan tahun 1970-an hingga awal 1984 NU ikut berfusi ke PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Namun, pada tahun 1984 NU keluar dari politik partai (kembali ke khittah), karena kelompok modernis yang ada di PPP. Selain alasan itu, alasan lainnya juga adalah banyak kiai merasa bahwa konsentrasi kepada berbagai kegiatan politik telah mengorbankan kualitas pendidikan pesantren dan juga yang lain merasa bahwa kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan yang menjadi massa pendukung NU telah terabaikan.[10]
Pada era pasca Orde Baru, NU tidak tampil sebagai partai, tetapi menitipkan suaranya di PKB, partai yang difasilitasi PBNU.[11] NU menyatakan niatnya menjadi sebuah organisasi keagamaan non-politiik sebagaimana di masa lalu, dan pada saat yang sama menyatakan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari keprihatinannya.
Pada tahun 1980, satu-satunya bapak pendiri NU yang masih hidup akhirnya meninggal dan pada tahun 1984, kiai Achmad siddiq, Rois Aam (badan legislatif) dan Abdurrahman Wahid, Ketua Umum badan eksekutif, terpilih menjadi pimpinan NU. Mereka memberikan wajah baru kepada NU. Mereka memberi gagasan-gagasan yang agak berbeda dengan gagasan para pendahulu mereka. NU menjadi lebih akomodatif dan patuh terhadap pemerintah.[12]

 III.            Visi dan Misi Nahdlatul Ulama
Ketika Nahdlatul Ulama hidup di dunia modern, mau tidak mau organisasi ini juga harus ikut mengembangkan diri. Guna untuk menyesuaikan perkembangan zaman saat ini, maka AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) NU juga harus ikut berkembang, paling tidak setiap lima tahun sekali. Berdasarkan keputusan Muktamar tahun 2004 di Donohudan, Boyolali disebutkan:
“Tujuan Nahdlatul Ulama didirikan yaitu berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah serta menurut pada salah satu dari keempat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.”[13]

Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana penjelasan di atas, maka NU hendaknya menjalankan usaha-usaha sebagai berikut:
·         Di sektor agama, NU harus berupaya melaksanakan ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jamaah dan menurut di salah satu madzhab dalam masyarakat.
·         Di sektor pendidikan, kebudayaan dan pengajaran, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Di samping itu, NU juga harus berupaya mengembangkan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam guna untuk membina umat agar menjadi Muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengalaman luas serta berguna bagi nusa dan bangsa.
·         Di sektor sosial, Nu setidaknya mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi penduduk Indonesia.
·         Di sektor ekonomi, NU setidaknya mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi untuk pemerataan kesempatan berusaha dan hasilnya lebih diutamakan kepada ekonomi kerakyatan.
·         Mengembangkan usaha-usaha yang bersifat positif dan juga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat banyak guna terwujudnya Khaira Ummah.

Visi 
Nahdlatul Ulama adalah Maju dalam Presentasi Santun dalam Pekerti. Terwujudnya generasi muslim Ahlussunnah Wal Jama'ah, cerdas, berkarakter, mandiri dan berakhlaqul karimah.

Misi Nahdlatul Ulama adalah:
·         Membentuk pribadi muslim Ahlussunnah Wal Jama'ah yang beriman dan bertaqwa.
·         Membentuk generasi yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
·         Membentuk pribadi berkarakter dan berakhlaqul karimah.
·         Mengintensifkan pembelajaran intrakurikuler dan memiliki keunggulan di bidang akademik.
·         Menggiatkan pembelajaran ekstrakurikuler dan meningkatkan prestasi nonakademik.
·     Mampu mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan potensi  akademik dan nonakademik.
·         Mampu bersaing melanjutkan studi di perguruan tinggi.
·         Mampu berkiprah dalam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan.
·         Memiliki bekal kemampuan untuk terjun di dunia kerja.[14]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari materi ini maka dengan jelas kita melihat bahwa Nahdlatul Ulama ini didirikan karena terjadi permasalah di dalam Islam baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri khususnya pusat Islam dii Arab Saudi. Nahdlatul ulama, memiliki corak yang unik karena lebih memperhatikan pendidikan dan kehisupan sosial masyarakat. Ada banyak cendekiawan di dalam NU yang membuat cakrawala NU sangat luas dan tidak terkurung pada ajaran semata dan mengabaikan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai praktis. Sangat jelas juga kita melihat bahwa beberapa kali NU dikecewakan. Namun, penulis berkesimpulan bahwa terjadinya kekecewaan itu tidak meruntuhkan pendirian NU terhadap jati dirinya. Ketika yang lain keluar dari jalur dan melenceng dari keputusan-keputusan, mereka memilih memisahkan diri ketimbang mengikuti arus. Inilah yang meyakinkan penulis bahwa NU berpegang teguh kepada jati diri dan corak khas pahamnya. Menarik bahwa di kepemimpinan Gus Dur, NU lebih terbuka dan bersifat lebih akomodatif daripada sebelumnya. NU mampu memposisikan dirinya dengan baik diantara kaum beriman lainnya.


DAFTAR PUSTAKA
Bruinesse Martin van, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 1999.
Feillard Andree, dkk (edit: Dharwis Ellyasa KH.), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 1994.
Feillard Andree, NU, Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 1999.
M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikif dalam Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.



[1] M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikif dalam Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 1.
[2]Martin van Bruinessan, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1999), hlm. 3.
[3] Ibid., hlm. 3. Menurut Martin van Bruinessan, NU memiliki 20 juta anggota muslim. Menurut Andree Feillard dalam bukunya “NU vis-à-vis Negara” menuliskan bahwa NU memiliki 30 juta anggota simpatisan.
[5] Ibid.,
[6] Mohammad Fajrul Falaakh, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil: Jam’iyyah Nahdlatul Ulama: Kini, Lampau dan Datang, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 1994), h. 175.
[7] Tidak diketahui dengan pasti mengapa ada permainan licik saat itu. Namun, menurut penulis, hal itu terjadi karena terdapat beberapa perbedaan paham ajaran dan penerapannya antara kaum Muhammadiyah dengan para ulama pesantren.
[8] Mohammad Fajrul Falaakh, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil: Jam’iyyah Nahdlatul Ulama: Kini, Lampau dan Datang, h. 177.
[9] Ibid., h.178.
[10] Martin van Bruinessan, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, h. 6.
[11] Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 1999), h. v-vi.
[12] Ibid., h. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19

DENGARKANLAH JERITANNYA: Sebuah Perspektif Ekologi Aluk Todolo terhadap Pandemik Covid-19 PANDEMIK COVID-19 Sejak World Health Or...