BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan Islam di Indonesia
merupakan proses yang berkaitan erat dengan berbagai sektor kehidupan lainnya
yang sangat kompleks. Untuk sebagian dapat dijelaskan melalui keterlibatan kegiatan perdagangan
yang berkembang sejak abad XI. Intensitas kontak-kontak perdagangan itu
selanjutnya menghasilkan tumbuhnya pemukiman masyarakat muslim di pesisir
kepulauan Nusantara. Melalui proses sejarah yang sangat panjang, cukup alasan
untuk menyimpulkan bahwa lambat laun Islam telah menjadi bagian yang begitu
dalam menguasai batin masyarakat Indonesia.[1]
Namun, keberhasilan Islam bukan berarti dapat mematikan akar yang telah lama
tumbuh di Indonesia yaitu budaya serta tradisi-tradisi setempat. Islam mau
tidak mau harus terus berkontekstualisasi dengan tidak melupakan identitas
dirinya. Dengan keragaman budaya dan akibat dari tuntutan ajarannya yang
universal maka terjadilah keragaman dalam Islam.
Nahdlatul Ulama yang sering disingkat NU adalah
sebuah gejala ataupun gerakan yang unik, bukan hanya di Indonesia tetapi juga
di seluruh Dunia Muslim.[2] Dikatakan unik karena
banyak cendekiawan-cendekiawan baik muslim maupun non-muslim yang berasal dari
berbagai Negara, tertarik untuk meneliti dan mengetahui bagaimana sejarah dan
perkembangan serta paham dari organisasi ini. NU adalah sebuah organisasi ulama
tradisional. Organisasi ini memiliki jumlah anggota yang cukup banyak bahkan NU
merupakan organisasi non-pemerintah yang paling besar di Indonesia.[3] Organisasi ini masih
bertahan dan mengakar di kalangan bawah atau biasa disebut kalangan akar
rumput.
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi resmi
berdiri di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Ada beberapa alasan yang
menjadi penyebab lahirnya organisasi ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa
pemicu lahirnya organisasi atau gerakan ini merupakan sebuah bentuk reaksi
terhadap kenyataan hidup dan sistem dalam tubuh Islam sendiri. Jadi, organisasi
ini merupakan reaksi kritis dari para ulama-ulama yang berpusat di
pesantren-pesantren. Untuk alasan-asalan ini, akan lebih rinci dijelaskan pada
Bab berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
- Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama
Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa NU lahir
sebagai sebuah organisasi secara resmi di Surabaya pada tanggal 31 Januari
1926. NU dalam perjalanan sejarahnya biasanya bersikap sangat akomodatif
terhadap pemerintah dan para pemimpin NU seringkali dituduh sebagai orang-orang
yang sangat oportunis. Pendiri resmi Jam'iyah Nahdlatul Ulama sendiri tak lain adalah Hadratus
Syeikh K.H.M. Hasyim Asy'ari, satu-satunya pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek sekaligus motor
penggerak yaitu K.H. Abdul Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul
Ulum Tambakberas, Jombang. Kiai Wahab ini adalah salah satu santri utama Kiai
Hasyim. Ia sangat lincah dalam melakukan segala hal, energik, banyak akal
ditambah ia sangat mahir dalam ilmu seni bela diri (pencak silat).[4]
Latar belakang
berdirinya Nahdlatul Ulama memang sangat berkaitan erat dengan perkembangan
pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam waktu itu. Di tahun 1924, Syarif
Husein yaitu seorang Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh
Abdul Aziz bin Saud yang bermadzhab Wahabi. Pasca peristiwa itu, tersebarlah
berita penguasa baru yang akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum
Sunni yang pada saat itu memang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah
Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengalaman agama sistem
bermadzhab, ziarah kubur, tawasul, maulid nabi dan sebagainya secepatnya akan
segera dilarang.[5]
Tidak hanya itu saja,
Raja Ibnu Saud juga menginginkan supaya melebarkan daerah kekuasaannya sampai
ke seluruh dunia Islam. Dengan dalil demi kejayaan Islam, ia berencana untuk
meneruskan kekhilafahan Islam yang telah terputus di Turki pasca runtuhnya
Daulah Usmaniyah (Kekaisaran Ottoman) oleh pemimpin nasionalis Turki Musthafa
Kamal.[6] Untuk itu, Raja Ibnu Saud
berencana menggelar Muktamar Khilafah yang ada di Kota Suci Makkah sebagai
penerus Khilafah yang terputus itu.
Semua negara Islam di
dunia akan diundang untuk menghadiri acara muktamar tersebut, termasuk juga
Indonesia. Awalnya, utusan yang di
percaya yaitu HOS Cokroaminoto (SI), K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) serta K.H.
Abdul Wahab hasbullah (pesantren). Akan tetapi, rupanya ada sedikit permainan
licik di antara kelompok yang mengusung para calon utusan Indonesia.[7] Sebab Kiai Wahab tidak
mewakili organisasi resmi, maka nama beliau kemudian dicoret dari daftar calon
utusan.
Peristiwa tersebut
akhirnya menyadarkan para ulama pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah
organisasi. Sekaligus menyisakan sakit hati yang mendalam, sebab mereka takut
bahwa tidak ada lagi yang bisa dititipi sikap keberatan akan semua rencana Raja
Ibnu Saud yang bertujuan akan mengubah model beragama di Makkah. Para ulama
pesantren tentu tidak terima akan kebijakan raja yang anti kebebasan
bermadzhab, anti ziarah makam, anti maulid nabi dan lain sebagainya. Bahkan,
sempat terdengar pula berita bahwa makam Nabi Agung Muhammad saw berencana untuk
digusur. Menurut para kiai pesantren, pembaruan adalah suatu keharusan. K.H.
Hasyim Asy'ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan para kaum
modernis supaya menghimbau umat Islam kembali pada ajaran yang 'murni'. Namun,
Kiai Hasyim tidak bisa menerima jika pemikiran mereka meminta umat Islam
melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Di samping itu, sebab ide pembaruan
yang dilakukan dengan cara melecehkan, merendahkan serta membodoh-bodohkan,
maka para ulama pesantren kemudian menolaknya. Menurut mereka, pembaruan akan
tetap dibutuhkan, namun tidak dengan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih
bersangkutan. Karena kondisi itulah maka Jam'iyah Nahdlatul Ulama' didirikan.
Ternyata ketakutan
mereka ditanggapi secara positif sehingga NU mengirim utusan ke Mekkah (karena
delegasi gagal berangkat) untuk menyampaikan 4 pesan NU kepada Raja Saudi,
yaitu:
1.
Jaminan kebebasan menjalankan praktek
keagamaan menurut salah satu mazhab empat dan izin masuk buku-buku mereka masuk
ke Arab Saudi,
2.
Perawatan tempat-tempat bersejarah yang
merupakan tanah wakaf untuk masjid,
3.
Perbaikan penyelenggaraan ibadah haji dan
penentuan tarif resmi untuk semua kegiatan haji, dan
4.
Jaminan hukum berupa undang-undang untuk
mengatasi perselisihan yang mungkin timbul di Hijaz.
Surat ini tidak dibalas sehingga pada
musim haji ke 1928, utusan NU (Kiai Wahab Asbullah dan Syekh Ahmad Ghana’im)
berangkat ke Mekkah dan bertemu langsung dengan Raja Saudi. Usulan-usulan NU
mendapat respon yang baik meskipun usulan kedua beberapa terlanjur dieksekusi
dan yang lain akhirnya dipertahakan.[8]
II.
Perkembangan Nahdlatul Ulama
Setelah usulan mereka
dinyatakan, NU lalu memusatkan perhatian pada pengembangan organisasi dan upaya
memperluas kiprahnya sebagai organisasi sosial-keagamaan. Untuk kepentingan ini
dapat diajukan periodesasi sebagai berikut:
1.
Periode konsolidasi internal NU dan
kalangan tradisional Islam (1926-1936).
2.
Periode atau masa doalog NU dengan
pihak-pihak di luarnya (1936-1942). Pada periode ini NU mengambil sikap abstain
dari politik, namun bergumul dengan pendefinisian nusa-bangsa.
3.
Periode masa pendudukan Jepang
(1942-1945). Pada periode ini para kiai mulai terlibat dalam politik maupun
perdebatan tentang negara Indonesia merdeka.
4.
Periode atau masa revolusi (1945-1949).
Pada periode ini, NU terlibat aktif bahkan radikal dalam politik namun tetap
menunjukkan kejelasan sikapnya atas negara.[9]
Pada tahun 1945, NU menggabungkan diri ke dalam partai politik Masyumi.
Pada tahun 1952, NU menarik diri dari Masyumi dan tampil menjadi partai politik
karena kecewa terhadap sikap kelompok reformis yang ada di Masyumi. Pada
pertengahan tahun 1970-an hingga awal 1984 NU ikut berfusi ke PPP (Partai
Persatuan Pembangunan). Namun, pada tahun 1984 NU keluar dari politik partai
(kembali ke khittah), karena kelompok modernis yang ada di PPP. Selain alasan
itu, alasan lainnya juga adalah banyak kiai merasa bahwa konsentrasi kepada
berbagai kegiatan politik telah mengorbankan kualitas pendidikan pesantren dan
juga yang lain merasa bahwa kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan
yang menjadi massa pendukung NU telah terabaikan.[10]
Pada era pasca Orde Baru, NU tidak tampil sebagai partai, tetapi menitipkan
suaranya di PKB, partai yang difasilitasi PBNU.[11] NU menyatakan niatnya
menjadi sebuah organisasi keagamaan non-politiik sebagaimana di masa lalu, dan
pada saat yang sama menyatakan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari
keprihatinannya.
Pada tahun 1980, satu-satunya bapak pendiri NU yang masih hidup akhirnya
meninggal dan pada tahun 1984, kiai Achmad siddiq, Rois Aam (badan legislatif)
dan Abdurrahman Wahid, Ketua Umum badan eksekutif, terpilih menjadi pimpinan
NU. Mereka memberikan wajah baru kepada NU. Mereka memberi gagasan-gagasan yang
agak berbeda dengan gagasan para pendahulu mereka. NU menjadi lebih akomodatif
dan patuh terhadap pemerintah.[12]
III.
Visi dan Misi
Nahdlatul Ulama
Ketika Nahdlatul Ulama hidup di dunia modern, mau tidak mau
organisasi ini juga harus ikut mengembangkan diri. Guna untuk menyesuaikan
perkembangan zaman saat ini, maka AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga) NU juga harus ikut berkembang, paling tidak setiap
lima tahun sekali. Berdasarkan keputusan Muktamar tahun 2004 di Donohudan,
Boyolali disebutkan:
“Tujuan
Nahdlatul Ulama didirikan yaitu berlakunya ajaran Islam yang menganut paham
Ahlussunnah Wal Jama’ah serta menurut pada salah satu dari keempat madzhab
besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) untuk mewujudkan tatanan masyarakat
yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.”[13]
Untuk mewujudkan tujuan
sebagaimana penjelasan di atas, maka NU hendaknya menjalankan usaha-usaha
sebagai berikut:
·
Di sektor agama, NU harus berupaya
melaksanakan ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jamaah dan
menurut di salah satu madzhab dalam masyarakat.
·
Di sektor pendidikan, kebudayaan dan
pengajaran, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.
Di samping itu, NU juga harus berupaya mengembangkan kebudayaan yang sesuai
dengan ajaran Islam guna untuk membina umat agar menjadi Muslim yang takwa,
berbudi luhur, berpengalaman luas serta berguna bagi nusa dan bangsa.
·
Di sektor sosial, Nu setidaknya
mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi penduduk Indonesia.
·
Di sektor ekonomi, NU setidaknya
mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi untuk pemerataan kesempatan
berusaha dan hasilnya lebih diutamakan kepada ekonomi kerakyatan.
·
Mengembangkan usaha-usaha yang bersifat
positif dan juga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat banyak guna
terwujudnya Khaira Ummah.
Visi
Nahdlatul Ulama adalah Maju dalam Presentasi Santun dalam Pekerti. Terwujudnya
generasi muslim Ahlussunnah Wal Jama'ah, cerdas, berkarakter, mandiri dan
berakhlaqul karimah.
Misi Nahdlatul
Ulama adalah:
·
Membentuk pribadi muslim Ahlussunnah Wal
Jama'ah yang beriman dan bertaqwa.
·
Membentuk generasi yang memiliki jiwa
nasionalisme yang tinggi.
·
Membentuk pribadi berkarakter dan
berakhlaqul karimah.
·
Mengintensifkan pembelajaran
intrakurikuler dan memiliki keunggulan di bidang akademik.
·
Menggiatkan pembelajaran ekstrakurikuler
dan meningkatkan prestasi nonakademik.
· Mampu mengimplementasikan teknologi
informasi dan komunikasi untuk meningkatkan potensi akademik dan nonakademik.
·
Mampu bersaing melanjutkan studi di
perguruan tinggi.
·
Mampu berkiprah dalam kegiatan keagamaan
dan kemasyarakatan.
·
Memiliki bekal kemampuan untuk terjun di
dunia kerja.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari materi ini maka dengan jelas kita
melihat bahwa Nahdlatul Ulama ini didirikan karena terjadi permasalah di dalam
Islam baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri khususnya pusat Islam dii
Arab Saudi. Nahdlatul ulama, memiliki corak yang unik karena lebih
memperhatikan pendidikan dan kehisupan sosial masyarakat. Ada banyak
cendekiawan di dalam NU yang membuat cakrawala NU sangat luas dan tidak
terkurung pada ajaran semata dan mengabaikan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai
praktis. Sangat jelas juga kita melihat bahwa beberapa kali NU dikecewakan.
Namun, penulis berkesimpulan bahwa terjadinya kekecewaan itu tidak meruntuhkan
pendirian NU terhadap jati dirinya. Ketika yang lain keluar dari jalur dan
melenceng dari keputusan-keputusan, mereka memilih memisahkan diri ketimbang
mengikuti arus. Inilah yang meyakinkan penulis bahwa NU berpegang teguh kepada
jati diri dan corak khas pahamnya. Menarik bahwa di kepemimpinan Gus Dur, NU
lebih terbuka dan bersifat lebih akomodatif daripada sebelumnya. NU mampu
memposisikan dirinya dengan baik diantara kaum beriman lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bruinesse Martin van, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana
Baru, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 1999.
Feillard Andree, dkk (edit: Dharwis Ellyasa KH.), Gus Dur, NU dan
Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 1994.
Feillard Andree, NU, Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta:
LkiS Yogyakarta, 1999.
M. Ali Haidar, Nahdatul
Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikif dalam Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1994.
http://www.arifsetiawan.info/2016/03/visi-dan-misi-utama-organisasi-nahdlatul-ulama.html.
Diunduh rabu, 5 April 2017.
http://www.arifsetiawan.info/2016/08/sejarah-lengkap-kelahiran-berdirinya-nahdlatul-ulama-nu.html.
Diunduh rabu, 5 April 2017.
[1]
M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikif dalam Politik, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 1.
[2]Martin
van Bruinessan, NU: Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
1999), hlm. 3.
[3]
Ibid., hlm. 3. Menurut Martin van Bruinessan, NU memiliki 20 juta anggota
muslim. Menurut Andree Feillard dalam bukunya “NU vis-à-vis Negara” menuliskan
bahwa NU memiliki 30 juta anggota simpatisan.
[4] http://www.arifsetiawan.info/2016/08/sejarah-lengkap-kelahiran-berdirinya-nahdlatul-ulama-nu.html.
Diunduh rabu, 5 April 2017.
[5] Ibid.,
[6] Mohammad
Fajrul Falaakh, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil: Jam’iyyah Nahdlatul Ulama:
Kini, Lampau dan Datang, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 1994), h. 175.
[7] Tidak
diketahui dengan pasti mengapa ada permainan licik saat itu. Namun, menurut
penulis, hal itu terjadi karena terdapat beberapa perbedaan paham ajaran dan
penerapannya antara kaum Muhammadiyah dengan para ulama pesantren.
[8] Mohammad
Fajrul Falaakh, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil: Jam’iyyah Nahdlatul Ulama:
Kini, Lampau dan Datang, h. 177.
[9]
Ibid., h.178.
[10] Martin
van Bruinessan, NU: Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, h. 6.
[11] Andree
Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta:
LkiS Yogyakarta, 1999), h. v-vi.
[12]
Ibid., h. 6.
[13] http://www.arifsetiawan.info/2016/03/visi-dan-misi-utama-organisasi-nahdlatul-ulama.html.
Diunduh rabu, 5 April 2017.
[14]
http://www.arifsetiawan.info/2016/03/visi-dan-misi-utama-organisasi-nahdlatul-ulama.html.
Diunduh rabu, 5 April 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar